5 PERISTIWA SEJARAH ACEH
Aceh (bahasa
Belanda: Atchin atau Acheh, bahasa Inggris: Achin, bahasa Perancis:
Achen atau Acheh, bahasa Arab: Asyi, bahasa Portugis: Achen atau Achem,
bahasa Tionghoa: A-tsi atau Ache) yang sekarang dikenal sebagai provinsi
Aceh memiliki akar budaya bahasa dari keluarga bahasa Monk Khmer proto
bahasa Melayu dengan pembagian daerah bahasa lain seperti bagian selatan
menggunakan bahasa Aneuk Jame.
Sedangkan bagian Tengah, Tenggara, dan Timur menggunakan bahasa Gayo untuk bagian tenggara menggunakan bahasa Alas seterusnya bagian timur lebih ke timur lagi menggunakan bahasa Tamiang demikian dengan kelompok etnis Klut yang berada bagian selatan menggunakan bahasa Klut sedangkan di Simeulue menggunakan bahasa Simeulue akan tetapi masing-masing bahasa setempat tersebut dapat dibagi pula menjadi dialek.
Bahasa Aceh, misalnya, adalah berbicara dengan sedikit perbedaan di Aceh Besar, di Pidie, dan di Aceh Utara. Demikian pula, dalam bahasa Gayo ada Gayo Lut, Gayo Deret, dan dialek Gayo Lues dan kelompok etnis lainnya Singkil yang berada bagian tenggara (Tanoh Alas) menggunakan bahasa Singkil.
Sumber sejarah lainnya dapat diperoleh antara lain seperti dari hikayat Aceh,
hikayat rajah Aceh dan hikayat prang sabii yang berasal dari sejarah
narasi yang kemudian umumnya ditulis dalam naskah-naskah aksara Jawi
(Jawoe).
Namun sebagaimana kelemahan dari sejarah narasi yang berdasarkan pinutur ternyata menurut Prof. Ibrahim Alfian bahwa naskah Hikayat Perang Sabil mempunyai banyak versi dan satu dengan yang lain terdapat perbedaan demikian pula dengan naskah Hikayat Perang Sabil versi tahun 1710 yang berada di perpustakaan Universitas Leiden di negeri Belanda.
G.C.E van Daalen |
Latar belakang dari terjadinya pembantaian ini diawali Pada bulan Desember 1903, pemerintah Tanah Gayo, Alas, dan Batak mengadakan lawatan dinas dari Teluk Aru dan Salahaji ke Kuala Simpang untuk menyelidiki beberapa sengketa yang timbul antara Kejurun Karang, wilayah utama Tamiang, yang berbatasan langsung dengan permukiman Gayo, yang terletak di Krueng Tamiang.
Meskipun sudah diketahui sebelumnya banyak orang Gayo - terutama dari Gayo Lues, Serbejadi, dan Linge - turun ke Tamiang untuk menjual hasil hutan dan ternaknya dan mereka sendiri perlu membeli barang impor, kunjungan itu benar-benar menunjukkan bahwa kontak penduduk asli dengan pemerintahan Hindia-Belanda jauh lebih besar ketika pegawai Belanda tidak mencatat semua kontak dengan urusan dalam suku-suku independen itu secara sistematis.
Oleh karena itu diputuskan bahwa pemerintah sipil dan militer memerintahkan penguasa Tanah Gayo dan Alas (yang ke arah merekalah konvoi diarahkan) untuk merancang instruksi untuk komandan pasukan yang disebutkan tadi dari Kuala Simpang; setelah instruksi ini disetujui oleh komandan militer Sumatera Timur, konvoi Tamiang ditarik ke Pedeng untuk mencapai sasaran dalam waktu yang mencukupi untuk mengantisipasi tugas berikutnya.
Overste Van Daalen mengumpulkan semua tetua Gayo-Lues. |
Yang luka-luka berat dan ringan sebanyak 51 orang, di antaranya 2 orang pria, 17 orang wanita dan 32 orang anak--anak, yang tertangkap hidup-hidup hanya anak-anak sebanyak 7 orang. Dengan jatuhnya kubu pertahanan tersebut, perlawanan di Krueng Bambel dipatahkan, sementara Kejuron Batu Mbulan - di mana terdapat 2 kubu, Batu Mbulan dan Tanjung yang telah ditinggalkan tepat pada waktunya - tetap tenang dengan pimpinan Berakan, putera Reje Mbulan, tanpa sikap permusuhan apapun. Pada tanggal 29 Juni, tetua Bambel dan Batu Mbulan muncul bersama rombongannya, yang setelah itu ditahan oleh komandan barisan.
Kerkoff Peucut . Sumber Wikipedia |
Gerbang Kerkoff Peucut (1890-1910) ( Wikipedia ) |
Serangan Belanda ke Pantai Barat Sumatera. Dalam gambar itu tampak Let. Bisschoff. Sumber : Wikipedia |
Operasi ini merupakan operasi militer terbesar yang dilakukan Indonesia sejak Operasi Seroja (1975), dan pemerintah mengumumkan terjadinya kemajuan yang berarti, dengan ribuan anggota GAM terbunuh, tertangkap, atau menyerahkan diri. Operasi ini berakibat lumpuhnya sebagian besar militer GAM, dan bersama dengan gempa bumi dan tsunami di tahun 2004 menyebabkan berakhirnya konflik 30 tahun di Aceh
Yang bewarna Hijau Adalah Lokasi Aceh Indonesia Lokasi Operasi Meliter 2003-2004 Tepatnya pada Tanggal 19 Mei 2003 – 13 Mei 2004 |
Acehnese rebels agree to peace deal
Pemerintah Indonesia dan pemberontak telah mencapai kesepakatan terobosan untuk mengakhiri 30 tahun pertempuran di provinsi Aceh dan nota kesepahaman akan ditandatangani secara resmi bulan depan, kedua belah pihak mengatakan hari ini."Akan ada perdamaian," kata Indonesia Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaluddin Menteri wartawan pada akhir putaran kelima perundingan antara pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).Perjanjian ini adalah untuk membawa "damai, solusi yang komprehensif dan berkelanjutan" untuk mengakhiri konflik yang telah berkecamuk sejak 1976 dan biaya hampir 15.000 jiwa.Kedua belah pihak sepakat "tidak ada perubahan substantif" akan diperkenalkan kepada memorandum delapan halaman diparaf sebelum ditandatangani pada tanggal 15 Agustus di Finlandia."Kita dapat menambahkan koma atau memperbaiki kesalahan ejaan," kata mediator perundingan damai Martti Ahtisaari wartawan, namun untuk menolak mengungkapkan rincian.Dia hanya mengatakan kesepakatan itu menutupi Pemerintahan Aceh, termasuk partisipasi politik, serta pertanyaan-pertanyaan hak asasi manusia, amnesti dan reintegrasi ke dalam masyarakat, pengaturan keamanan, dan penyelesaian sengketa.AdvertisementAdvertisementDia juga menyerukan untuk segera mengakhiri pertumpahan darah yang sedang berlangsung di provinsi tersebut."Tentu saja semua permusuhan harus berakhir dengan penandatanganan nota kesepahaman pada tanggal 15 Agustus," katanya.Kedua belah pihak juga sepakat untuk membentuk sebuah misi pemantauan di Aceh yang mereka harapkan akan dijalankan oleh Uni Eropa dan negara-negara Asia.Ahtisaari mengatakan Uni Eropa tidak secara resmi menjawab undangan, tetapi akan mengirimkan para ahli ke Indonesia pada akhir bulan ini untuk mempersiapkan keputusan.Putaran pembicaraan yang sedang berlangsung, yang dimulai pada hari Selasa dan kelima diselenggarakan di ibukota Finlandia tahun ini, telah dianggap sebagai kesempatan terakhir untuk mengakhiri pertumpahan darah segera.Pembicaraan menyerupai rollercoaster-laporan kemajuan secara bergantian baik dan bencana sepanjang minggu dan keberhasilan dipastikan hanya ketika masalah pelik partisipasi politik lokal di Aceh diselesaikan kemarin.GAM menuntut hak untuk membuat partai politik lokal yang tidak dikendalikan secara terpusat dari ibukota, sesuatu yang ilegal di Indonesia.Juru bicara GAM Bakhtiar Abdullah menegaskan sebelum pembicaraan selesai bahwa Jakarta telah menyatakan akan mengizinkan pembentukan partai politik lokal di Aceh untuk masa percobaan satu tahun, namun menolak Ahtisaari hari ini untuk mengkonfirmasi apakah ini adalah rencana."Idenya adalah bahwa ... harus ada kesempatan bagi siapa pun untuk dapat berpartisipasi dalam proses politik," katanya.GAM menyerah permintaan untuk kemerdekaan penuh dan mengatakan akan melucuti, sementara pemerintah telah mengumumkan akan menarik pasukannya dari provinsi setelah tangan pemberontak senjata mereka.GAM menunjukkan itu tidak sepenuhnya nyaman dengan peran garis keras dalam militer Indonesia dapat bermain, tetapi mengatakan pihaknya bersedia untuk mengambil risiko."Kesepakatan ini merupakan lompatan iman untuk GAM ... tapi ini lompatan iman bukan tanpa risiko, dan kita sekarang memerlukan pemerintah Indonesia untuk melaksanakan kewenangan penuh atas militer Indonesia (TNI) untuk memungkinkan proses ini untuk berhasil, "GAM mengatakan dalam sebuah pernyataan."Kami merasa bahwa proses perdamaian ... akan berhasil," tambah juru bicara pemberontak Bakhtiar Abdullah.Nur Djuli, negosiator di sisi GAM, mengatakan ia melihat tidak ada masalah dengan pimpinan GAM, yang untuk sebagian besar diasingkan di Swedia, pulang."Tidak akan ada perbedaan lagi antara orang-orang GAM dan non-GAM, jadi jika mereka ingin kembali mereka akan kembali," katanya.Peserta sepakat bahwa kesepakatan damai telah tampak terpikirkan setelah Jakarta mengumumkan keadaan darurat dan melancarkan serangan militer besar di Aceh dua tahun lalu.Tetapi upaya baru untuk membuat perdamaian diminta oleh kebutuhan untuk bantuan internasional untuk mencapai Aceh, yang menanggung beban tsunami bulan Desember yang menewaskan lebih dari 131.000 orang di provinsi tersebut.- AFP, AAP
Penyerangan Sultan Iskandar Muda Terhadap Portugis di Malaka
Adanya penyerangan Aceh terhadap Portugis di Malaka adalah kenyataan sejarah, baik sebelum masa Sultan Iskandar Muda maupun disaat beliau berkuasa. Dalam disertasi sejarawan Perancis Denys Lombard; yang telah diterjemahkan,”Kerajaan Aceh -Jaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636) juga dimuat daftar penyerangan Aceh ke Malaka, yaitu pada tahun : 1537, 1547, 1568, 1573, 1575, 1582, 1587, 1606-Portugis menyerang Aceh dan benteng-benteng mereka masih bersisa di Krueng Raya-,1613,1615 – Aceh menyerang Johor, karena membantu Portugis-,1617- Aceh menyerang Pahang,karena bersekutu dengan Portugis,1623,dan tahun 1629 Masehi. Fakta sejarah ini amat sedikit disinggung dalam sumber-sumber tertulis Aceh sendiri. Diantara yang secuil itu, Hikayat Malem Dagang-lah satu-satunya, walaupun sebutan Portugis tidak satu kali pun dicantumkan di dalamnya. Sementara dalam Hikayat Prang Peringgi(artinya, Hikayat Perang Portugis); sama sekali tidak menyinggung data-data sejarahnya,kecuali semangat jihad saja. Karena Hikayat Malem Dagang (buat selanjutnya disingkat dengan HMD) bukanlah kitab/buku sejarah, maka muncullah beragam hasil analisis tentang para pelaku dalam kisah itu. Begitu pula mengenai waktu dan lokasi dalam cerita tersebut. Masalah pendapat-pendapat para pengkaji hikayat itulah yang diperbincangkan dalam tulisan ini. Sejauh yang saya ketahui, bahwa Dr. Snouck Horgronje adalah pengkaji paling awal mengenai HMD. Dalam bukunya yang sudah diterjemahkan “Aceh di Mata Kolonialis, jilid II; Snouck Hurgronje mengatakan HMD disusun tidak lama setelah peristiwa itu terjadi, yakni masih di abad ke 17 M. Agaknya, naskah yang dikaji Snouck Hurgronje merupakan salinan-ulang yang oleh penyalinnya telah disesuaikan isinya dengan kondisi Aceh saat itu. Kata Snouck: diseluruh hikayat disebutkan bahwa Raja Si Ujud yang dilawan Sultan Iskandar Muda adalah raja Belanda. Pengkaji kedua juga bangsa Belanda,yakni DR.H.K.J.Cowan dengan bukunya “De Hikajat Malem Dagang” diterbitkan tahun 1933. Cowan juga menegaskan bahwa HMD dikarang pada abad ke 17. Nampaknya, naskah yang dikaji Cowan lebih tua, sehingga “Raja Si Ujud sebagai raja Belanda belum dijumpai di dalam naskah itu. Tahun 2006 naskah HMD yang dimuat dalam buku “De Hikajat Malem Dagang” telah saya salin ke huruf Latin ejaan EYD, yang sebelumnya dalam ejaan Belanda. Tetapi sampai hari ini hasil transliterasi saya itu belum diterbitkan. Penulisan oleh H.K.J.Cowan akan buku ini terkesan amat serius, sehingga semua isi hikayat yang dalam bahasa Aceh telah diterjemahkan ke bahasa Belanda, disamping pembahasan isinya yang panjang lebar pula. Kajian H.K.J.Cowan inilah yang saya pakai sebagai bahan utama tulisan ini. Lantaran saya tidak bisa bahasa Belanda, karena itu saya mintalah bantuan penterjemahannya kepada sahabat saya Drs. Agus Supriyono,MA; Dosen Fakultas Sastra,Undip-Semarang. Pengkaji ketiga HMD adalah Prof.A.Hasjmy. Beliaulah yang memperkenalkan kembali HMD secara lebih meluas.Dengan merujuk dua buku Sejarah Johor dan Sejarah Pahang karya HajI Buyung Adil yang diterbitkan di Malaysia; A.Hasjmy berkali-kali menulis tentang HMD. Diantara karya A.Hasjmy mengenaI HMD yang telah dimuat dalam berbagai buku/makalah ialah yang dimuat dalam buku “Seulawah Antologi Sastra Aceh-Sekilas Pintas” halaman 524-541; terbitan Yayasan Nusantara tahun 1995.Berbeda dengan dua pengkaji bangsa Belanda sebelumnya. A.Hasjmy berpendapat HMD dikarang Teungku Ismail bin Ya’kub alias Teungku Chik Pante Geulima pada tahun 1309 H. Pada pentup HMD dalam buku “De Hikajat Malem Dagang” yang ditulis/disalin H.K.J.Cowan memang tercantum tahun 1309 H, tetapi saya lebih yakin tahun itu adalah tahun penyalinan ulang. Sebab, menyimak gaya penulisannya, maka saat penyusunan pertama HMD lebih tua dari tahun itu. Prof.A.Hasjmy juga mangikuti pendapat Hoesein Djajadiningrat; walaupun masih dengan nada ragu, bahwa yang disebut Raja Si Ujud dalam HMD adalah Sultan Alauddin Riayat Syah III, sultan Johor; sedangkan Raja Raden ,yaitu Raja Abdullah alias Raja Seberang atau Raja Bungsu. Dalam buku antologi tersebut di atas A.Hasjmy menulis begini :“Mungkin sekali yang dimaksud dengan Raja Si Ujud dan Raja Raden dalam Hikayat Malem Dagang adalah Sultan Alauddin Riayat Syah III dan Raja Abdullah” Mengenai asal nama Raja Si Ujud, A.Hasjmy pada antologi yang sama juga menulis:” Dalam sejarah Aceh, beliaulah yang dimaksud dengan “Raja Si Ujud“, mungkin sekali berasal dari “Raja Selayut“… karena pernah tinggal di Selayut. Menurut saya, nama Raja Si Ujud , Raja Raden dan Putroe Beureuhut-isteri Si Ujud adalam nama-nama khayalan sipengarang HMD. Dalam bahasa Arab, “Wujud” artinya ada. Karena “raja” Portugis di Malaka tidak dikenal lagi, maka disebut saja “Raja itu memang ada alias Raja Si Ujud”. Begitu pula dengan Raja Raden. Akibat nama abang Raja Si Ujud tidak diketahui yang sebenarnya, maka digantikan saja dengan Raja Raden, suatu gelar kehromatan karena Raja Raden memihak Aceh, yakni gelar seorang bangsawan. Sementara nama Putroe Beurehut, malah diberi nama yang menjelekkan. Beureuhut adalah lobang neraka di dunia. Mon Beureuhut(sumur beruhut) , menurut kitab Tambeh/nadham Aceh terdapat di wilayah Syam/. Irak.
Isi ringkas Hikayat Malem Dagang adalah sebagai berikut :
Seorang raja yang bernama Raja Raden alias Raja Meulaka alias Raja Seberang alias Raja Bungsu bersama dengan isterinya Puteri Pahang datang ke Aceh untuk memeluk agama Islam. Selanjutnya, diceritakan Raja Raden memberikan isterinya Puteri Pahang kepada Sultan Iskandar Muda sebagai hadiah. Sebaliknya, Sultan Iskandar Muda memberikan adiknya buat isteri Raja Raden. Tidak berapa lama kemudian, datang pula Raja Si Ujud alias Raja Johor alias Raja Banang alias Raja Guha alias Raja Meulaka ke Aceh. Ia adalah adik kandung Raja Raden. Sultan Iskandar Muda membuat pesta besar-besaran menyambut tamu agungnya itu.
Sebuah istana khusus dibuatkan di Ladong-Krueng Raya bagi Raja Si Ujud. Tetapi tamu itu ternyata curang. Raja Si Ujud méngajak abangnya pulang ke Meulaka serta mengambil kembali Puteri Pahang dan menceraikan isterinya, yang adik Sultan Iskandar Muda itu. Karena rencana jahatnya tidak direstui abangnya Raja Raden, maka ia melakukan keonaran di Aceh. Bersama para pengikutnya, Raja Siujud melakukan perampokan beberapa kampung di pantai, membakar Ladong dan Krueng Raya serta menawan puluhan nelayan. Setelah melampiaskan berbagai penyiksaan – seperti mengail orang di kelopak mata dan kerongkongan -; akhirnya berlayarlah Raja Si Ujud pulang ke negerinya.
Tetapi Raja Raden tetap percaya/setia kepada Sultan Iskandar Muda dan ekspedisi untuk menghadapi Si Ujud dipersiapkan. Armadanya menyusuri sepanjang pantai utara dan timur Aceh, dimana-mana disiapkan bala bantuan, untuk akhirnya menyeberang ke Semenanjung Malaka. Sementara itu, dalam perjalanan terjadi pemilihan seorang yang bernama Malem Dagang menjadi Panglima Perang. Sesudah merebut Asahan dan mengunjungi Pahang, Sultan dengan sebagian orang (prajurit) Aceh berangkat ke Johor Lama, dan sementara itu dari sana si Ujud telah berangkat ke Johor Bali.
Di Johor Lama tanpa menemui adanya perlawanan sedikitpun, dilakukan konsolidasi kekuatan dalam rangka menunggu kedatangan musuh, akan tetapi ternyata musuh tidak muncul. Malem Dagang dan armadanya tetap berada di laut sampai ia bertemu dengan armada musuh yang besar di Laut Banang, dimana ia melakukan perlawanan (pertempuran). Saat itu Sultan Iskandar Muda di Johor, 7 hari perjalanan kapal, dipanggil untuk ambil bagian dalam pertempuran. Dalam pertempuran gugurlah panglima musuh,yaitu , ayah dari isteri Si Ujud, sehingga musuh melarikan diri. Si Ujud sendiri pada waktu itu masih di Guha. Ia memutuskan mundur dari pertempuran, tetapi isterinya mengobarkan semangat untuk membalas dendam atas kematian ayahnya..
Demikian juga penggambaran orang Aceh tidak benar, antara syair dengan kenyataan adalah berbeda. Pada satu sisi perundingan-perundingan berlangsung di Aceh sebelum kembali ke Johor,sedangkan pada sisi yang lain perundingan-perundingan terjadi di Johor sesudah kepulangan ke Johor itu. Akan tetapi tidak boleh diabaikan bahwa dalam syair kepahlawanan yang setengah lagendaris itu; kenyataan-kenyataan historis telah kehilangan bentuk yang seharusnya. Kesesuaian secara keseluruhan atau bahkan pada bagian yang khusus/ penting saja tidak diperjelaskan..
Sejarah Pengkhianatan Panglima Tibang
Ramasamy, seorang pemuda dari India selatan, suatu ketika singgah di pelabuhan kerajaan Aceh. Ia hanya seorang perantau yang punya keahlian sebagai pesulap. Berbekal keahliannya itu pula, ia mampu menarik simpati masyarakat Aceh di pelabuhan. Keahliannya main sulap akhirnya sampai juga ke istana kerajaan Aceh Darussalam. Dalam sebuah perhelatan ia pun diundang untuk menunjukkan kebolehannya itu.
Pemuda pengembara itu pun tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Melalui pertunjukan sulapnya, ia berhasil masuk istana. Kesempatan itu pula yang digunakannya untuk menarik simpati raja Aceh. Hal itu pun dituainya, setelah ia memeluk agama Islam dan mengganti namanya menjadi Muhammad. Sebagai mualaf, biaya hidupnya ditanggung kerajaan.
Ia pun semakin mantap menancapkan pengaruhnya di istana, setelah Sultan Mahmud Alauddin Syah (1871-1874) mengangkatnya sebagai syahbandar di pelabuhan Aceh. Karena jabatan itu, ia pun diberi gelar kehormatan, layaknya seorang bangsawan, Teuku Panglima Maha Raja Tibang Muhammad, yang sepanjang masa dikenang oleh bangsa Aceh sebagai pengkhianat, yang menggunting dalam lipatan.
Pengkhianatan Panglima Tibang, bermula ketika ia ditunjuk oleh Sultan Aceh, untuk memimpin utusan kerajaan Aceh yang akan berunding dengan Belanda di Riau, agar pihak Belanda sebaiknya datang ke Aceh pada Desember 1872. Hal itu merupakan upaya kerajaan Aceh untuk mengulur-ngulur waktu, sambil mempersiapkan kerja sama dengan Amerika dan Italia dalam menghadapi Belanda.
Setelah utusan sultan pulang dari Turki di bawah pimpinan Perdana Menteri Kerajaan Aceh merangkap Mangkubumi Habib Abdurrahman el Zahir. Persaingan politik pun terjadi. Panglima Tibang bermaksud menancapkan pengaruhnya kepada sultan untuk mengalahkan Habib. Untuk itu ia menuju Singapura. Dalam perjalanan pulang, ia menghubungi utusan Amerika dan Italia, guna memperoleh bantuan untuk menghadapi peperangan melawan Belanda. Armada Amerika yang berada di Hongkong, di bawah pimpinan Laksamana Jenkis pun setuju untuk membantu Aceh berperang dengan Belanda.
Namun informasi itu akhirnya diketahui oleh pihak Belanda. Memahami akibat yang lebih jauh andaikata perjanjian antara Aceh dengan Amerika dan Italia terwujud, maka Belanda pun mendahuluinya. Gubernur Jenderal Hindia Belanda, James Loudon, pada Pertengahan Februari 1873 pun mengirimkan armadanya ke Aceh. Apalagi setelah Belanda mendapat informasi bahwa armada Amerika di bawah pimpinan Laksamana Jenkins akan berangkat dari Hongkong menuju Aceh pada Maret 1873.
Menghadapi situasi seperti itu, para diplomat Aceh di Pulau Penang, Malaysia pun membentuk Dewan Delapan, yang terdiri dari empat orang bangsawan Aceh, dua orang Arab dan dua orang keling kelahiran Pulau Pinang. Dewan Delapan tersebut bertindak mewakili kepentingan Aceh di luar negeri. Di antaranya, menjalin diplomasi dengan negara-negara asing, mencari perbekalan perang dan mengangkutnya ke Aceh dengan menembus blokade angkatan laut Belanda yang sudah menguasai Selat Malaka.
Akhirnya pada Rabu 26 Maret 1873, bertepatan dengan 26 Muharam 1290 Hijriah, dari geladak kapal perang Citadel van Antwerpen, yang berlabuh antara Pulau Sabang dan daratan Aceh, Belanda menyatakan maklumat perangnya dengan Aceh, karena Aceh menolak mengakui kedaulatan Belanda. Maklumat perang itu diumumkan oleh Komisaris Pemerintah, merangkap Wakil Presiden Dewan Hindia Belanda, F.N Nieuwenhuijzen.
Tindak lanjut dari maklumat perang tersebut, pada Senin 6 April 1873, pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Jenderal J.H.R Kohler, dengan kekuatan enam kapal perang, dua kapal angkutan laut, lima barkas, delapan kapal peronda, satu kapal komado, dan lima kapal layar, melakukan pendaratan di Pante Ceureumen, yang disambut dengan perlawanan rakyat Aceh. Maka perang pun berkecamuk.
Tak tanggung-tanggung, dalam agresi pertama itu, Belanda mengerahkan 168 perwira, 3.198 pasukan, 31 ekor perwira berkuda, 149 pasukan berkuda, 1.000 orang pekerja paksa, 50 orang mandor, 220 orang wanita, 300 orang pelayan. Perang dengan Belanda pun terus berlanjut.
Namun di tengah usaha Aceh melawan agresi Belanda tersebut, pada tahun 1879, Panglima Tibang yang dipercayakan sultan untuk menggalang diplomasi di luar negeri, berbalik arah. Ia meninggalkan rekan seperjuangannya, bergabung dengan Belanda untuk kemudian menyerang Aceh. Kepercayaan yang diberikan raja Aceh kepadanya pun dibalas dengan pengkhianatan. Tak pelak, nama Panglima Tibang sampai kini tertoreh di sanubari rakyat Aceh sebagai pengkhianat yang tak terampuni.
Pelabelan nama Panglima Tibang sebagai pengkhianat nomor wahid pun terus berlanjut sampai kini. Dalam sejarah konflik Aceh, tak terkecuali ditubuh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) nama Panglima Tibang selalu diberikan kepada orang-orang yang berkhianat atau menyerah kepada pemerintah. Sebuah label yang nilai kebenciannya melebihi cap cuak, sipil yang menjadi informan terhadap tentara. Kisah pengkhianatan Panglima Tibang itu, kini menjadi catatan kelam sejarah Aceh. ***
Referensi:
1. Prof. Dr Aboe Bakar Atjeh, dalam “Wajah Aceh dalam Lintasan Sejarah” Panitia PKA II, Agustus 1972
2. M Nur El Ibrahimi dalam “Selayang Pandang Diplomasi Kerajaan Aceh”
Para ahli sejarah mungkin akan menolak pernyataan ini, karena dalam
sejarah tidak pernah terjadi sebuah Kerajaan Islam di Acheh menaklukkan
Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit yang terkenal kemegahan dan kebesarannya
itu. Bahkan dalam sejarah, sebagaimana disebutkan ”Kronika Pasai”, bahwa
Kerajaan Majapahitlah, dibawah Mahapatih Gadjah Mada yang telah
menaklukkan Kerajaan Pasai. Namun jika kita lebih teliti dan jeli, maka
akan terungkap sebuah sejarah yang selama ini ditutupi dengan rapi oleh
para penjajah dan antek-anteknya untuk mengecilkan peran
Kerajaan-Kerajaan Islam di Acheh dalam proses Islamisasi di Nusantara.
Fakta
yang akan mengungkap bahwa Kerajaan Islam Pasai-Acheh telah berhasil
menaklukkan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit adalah dengan meneliti dan
mengungkap dari mana asal sebenarnya ”Puteri Champa” yang menjadi istri
Raden Prabu Barawijaya V, Raja terakhir Kerajaan Hindu Majapahit, yang
telah melahirkan Raden Fatah, Sultan pertama Kerajaan Islam Demak,
Kerajaan Islam pertama yang mengakhiri riwayat Kerajaan-Kerajaan Hindu
di Jawa.
Banyak ahli sejarah Islam
Nusantara yang masih konfius dengan keberadaan Kerajaan ”Champa”,
negeri asal ”Puteri Penakluk Kerajaan Jawa-Hindu” yang dianggap memiliki
peran penting dan sentral dalam proses Islamisasi Nusantara pada tahap
awal, terutama antara kurun abad 13 sampai 15 Masehi. Sehubungan dengan
keberadaan ”Champa”, ada dua teori yang beredar. Pertama teori yang
didukung oleh para peneliti Belanda, seperti Snouck dan lain-lainnya
yang beranggapan bahwa Champa berada di sekitar wilayah Kambodia-Vietnam
sekarang. Dengan teorinya ini kemudian mereka menyatakan bahwa Wali
Songo yang berperan dalam proses Islamisasi Jawa, menjadikan daerah ini
sebagai basis perjuangan Islamisasi Nusantara dengan mengenyampingkan
sama sekali peranan Perlak, Pasai dan beberapa Kerajaan di sekitar Acheh
dalam Islamisasi Nusantara.
Tentu karena mereka beranggapan
bahwa Champa Kambodia-Vietnam adalah wilayah Muslim dan pusat Islam yang
jauh lebih maju dan berperadaban dibandingkan dengan beberapa wilayah
di Acheh tersebut. Dan anehnya, teori inilah yang sangat populer dan
menjadi rujukan para cendekiawan Muslim tanpa mengkritisinya lebih jauh.
Namun ada teori lain tentang Champa ini.
Teori yang akan
dikemukakan ini, utamanya berdasarkan teori dari Gubernur Jendral Hindia
Belanda dari Kerajaan Inggris yang juga seorang peneliti sosial, Sir
TS. Raffles dalam bukunya The History of Java. Teori Raffles menyebutkan
bahwa Champa yang terkenal di Nusantara, bukan terletak di Kambodia
sekarang sebagaimana dinyatakan oleh para peneliti Belanda. Tapi Champa
adalah nama daerah di sebuah wilayah di Acheh, yang terkenal dengan nama
”Jeumpa”. Champa adalah ucapan atau logat Jeumpa dengan dialek ”Jawa”,
karena penyebutannya inilah banyak ahli yang keliru dan
mengasosiasikannya dengan Kerajaan Champa di wilayah Kambodia dan
Vietnam sekarang. Jeumpa yang dinyatakan Raffles sekarang berada di
sekitar daerah Kabupaten Bireuen Acheh. [60]
”Putri Champa”
biasanya dihubungkan dengan istri Prabu Brawijaya V yang dalam Babad
Tanah Jawi, disebutkan bernama Anarawati (Dwarawati) yang beragama
Islam. Puteri inilah yang melahirkan Raden Fatah, yang kemudian
menyerahkan pendididikan putranya kepada seorang keponakannya yang
dikenal dengan Sunan Ampel (Raden Rahmat) di Ampeldenta Surabaya.
Sejarah mencatat, Raden Fatah menjadi Sultan pertama dari Kerajaan Islam
Demak, Kerajaan Islam pertama di tanah Jawa yang mengakhiri sejarah
kegemilangan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit.[61]
”Sang Putri
Penakluk” ini adalah wanita luar biasa. Dia adalah seorang ibu yang
tabah, besar hati, penyayang namun mewarisi semangat perjuangan yang
tidak kalah dengan Laksamana Malahayati, Tjut Nya’ Dhien, Tjut Mutia dan
para wanita pejuang agung Acheh lainnya. Bagaimana tidak, dia harus
berpisah jauh dari lingkungannya ke tanah Jawa yang asing baginya, tiada
handai tolan, hidup dilingkungan masyarakat Jawa-Hindu yang berbeda
budaya dan tradisi dengan negeri asalnya, bahkan ada yang menyatakan
suaminyapun masih beragama Hindu dalam tradisi Kerajaan Majapahit yang
feodalis. Namun karena para Ulama-Pejuang sekelas Maulana Malik Ibrahim
atas dukungan para Sultan Muslim menugaskannya berdakwah dengan caranya,
wanita agung inipun ikhlas melakoni peran perjuangannya.
Dengan
takdir Allah, beliau melahirkan seorang anak laki-laki yang kelak
dikenal dengan Raden Fatah. Demi kelanjutan agamanya, dia rela
meninggalkan kegemerlapan istana Majapahit sebagai permaisuri agung
untuk memastikan putranya dapat pendidikan terbaik agar menjadi seorang
pemimpin Islam di Jawa. Raden Fatah kecil mendapat kasih sayang serta
bimbingan ibundanya bersama para Wali yang dipimpin sepupunya Raden
Rahmat (Sunan Ampel) yang juga dilahirkan di Kerajaan asal
ibunya........
Dari negeri manakah gerangan ”Sang Puteri Penakluk”
yang telah sukses gemilang menjalankan tugas agamanya, sebagai seorang
ibu pendidik agung (madrasat al-kubra), pejuang suci (mujahidah fi
sabilillah), pendakwah Islam (da’i) sekaligus sebagai penyebab (asbab)
keruntuhan sebuah dinasti Hindu terbesar yang menjadi lambang keagungan
dan kebesaran bangsa Jawa, dengan Mahapatih sadis Gadjah Mada itu.
Tradisi
dan peradaban masyarakat model apakah yang telah menjadikannya sebagai
seorang wanita pejuang yang rela mengorbankan diri, perasaan dan
kemerdekaannya demi kejayaan Islam agamanya. Pendidikan apakah yang
diterimanya sehingga berani menerjang medan laga menghadapi benteng
super power Majapahit. Dari sisi manapun kita nilai, wanita ini adalah
wanita besar, namun terhijab peran agungnya oleh wanita selir Jawa
sekelas RA. Kartini, seorang selir Bupati Rembang yang dijadikan tokoh
wanita hanya karena bisa bahasa penjajah Belanda dan dekat dengan
penjajah kaphe. Siapa Kartini jika disandingkan dengan Ratu Tajul Alam
Syafiatuddin, Sultanah Acheh yang memimpin masyarakat kosmopilit Acheh
masa itu dan memiliki kekuasaan seluruh Sumatra dan Semenjang Melayu?
Untuk
memastikan dimanakah negeri Champa yang telah ditinggali Maulana Malik
Ibrahim dan asal saudara iparnya ”Putri Champa Penakluk Majapahit”, maka
perlu diselidiki bagaimanakah keadaan Champa waktu itu, baik yang
berada di Acheh maupun Kambodia.
Para ahli sejarah memperkirakan
Maulana Malik Ibrahim berada Champa sekitar 13 tahun, antara tahun 1379
sampai dengan 1392.[62] Champa di Kambodia masa itu sedang di perintah
oleh Chế Bồng Nga antara tahun 1360-1390 Masehi, dikenal dengan The Red
King (Raja Merah) seorang Raja terkuat dan terakhir Champa. Tidak
diketahui apakah Raja ini Muslim, atau memang Budha sebagaimana
mayoritas penduduk Kambodia sampai sekarang dengan banyak peninggalan
kuil-kuilnya namun tidak ada masjid. Beliau berhasil menyatukan dan
mengkordinasikan seluruh kekuatan Champa pada kekuasaannya, dan pada
tahun 1372 menyerang Vietnam melalui jalur laut. Champa berhasil
memasuki kota besar Hanoi pada 1372 dan 1377.
Pada penyerangan
terakhir tahun 1388, dia dikalahkan oleh Jenderal Vietnam Ho Quy Ly,
pendiri Dinasti Ho. Che Bong Nga meninggal dua tahun kemudian pada 1390.
Tidak banyak catatan hubungan Penguasa Champa ini dengan Islam, apalagi
tidak didapat bekas-bekas kegemilangan Islam, sebagaimana yang
ditinggalkan para pendakwah di Perlak, Pasai ataupun Malaka.[63]
Sementara
catatan sejarah menyatakan lain, yang terkenal dengan Sultan Cam atau
Champa adalah Wan Abdullah atau Sultan Umdatuddin atau Wan Abu atau Wan
Bo Teri Teri atau Wan Bo saja, memerintah pada tahun 1471 M - 1478 M.
Menurut
silsilah Kerajaan Kelantan Malaysia, silsilah beliau adalah : Sultan
Abu Abdullah (Wan Bo) ibni Ali Alam (Ali Nurul Alam) ibni Jamaluddin
Al-Husain (Sayyid Hussein Jamadil Kubra) ibni Ahmad Syah Jalal ibni
Abdullah ibni Abdul Malik ibni Alawi Amal Al-Faqih ibni Muhammas Syahib
Mirbath ibni ‘Ali Khali’ Qasam ibni Alawi ibni Muhammad ibni Alawi ibni
Al-Syeikh Ubaidillah ibni Ahmad Muhajirullah ibni ‘Isa Al-Rumi ibni
Muhammad Naqib ibni ‘Ali Al-Uraidhi ibni Jaafar As-Sadiq ibni Muhammad
Al-Baqir ibni ‘Ali Zainal Abidin ibni Al-Hussein ibni Sayyidatina
Fatimah binti Rasulullah SAW.
Jadi Raja Cham ini adalah anak
saudara dari Maulana Malik Ibrahim, yaitu anak dari adik beliau bernama
Ali Nurul Alam, dari ibu keturunan Patani-Senggora di Thailand sekarang.
Wan Bo atau Wan Abdullah ini juga adalah bapak kepada Syarief
Hidayatullah, pengasas Sultan Banten sebagaimana silsilah yang
dikeluarkan Kesultanan Banten Jawa Barat: Syarif Hidayatullah ibni
Abdullah (Umdatuddin) ibni Ali Alam (Ali Nurul Alam) ibni Jamaluddin
Al-Hussein (Sayyid Hussein Jamadil Kubra) ibni Ahmad Syah Jalal dan
seterusnya seperti di atas.[64]
Dimana sebenarnya Kerajaan Champa
yang dipimpin oleh Raja Champa yang menjadi mertua Maulana Malik
Ibrahim, yang menjadi ayah kandung ”Puteri Champa”. Padahal jika
dikaitkan dengan fakta di atas, mustahil mertua Maulana Malik atau ayah
”Puteri Champa” itu adalah Wan Bo (Wan Abdullah) karena menurut silsilah
dan tahun kelahirannya, beliau adalah pantaran anak saudara Maulana
Malik yang keduanya terpaut usia 50 tahun lebih. Raden Rahmat (Sunan
Ampel) sendiri lahir pada tahun 1401 di ”Champa” yang masih misterius
itu. Boleh jadi yang dimaksud dengan Kerajaan Champa tersebut bukan
Kerajaan Champa yang dikuasai Dinasti Ho Vietnam, tapi sebuah
perkampungan kecil yang berdekatan dengan Kelantan?.
Inipun masih
menimbulkan tanda tanya, dimanakah peninggalannya?. Bahkan ada pula
yang mengatakan Champa berdekatan dengan daerah Fatani, Selatan Thailand
berdekatan dengan Songkla, yang merujuk daerah Senggora zaman
dahulu.[65]
Martin Van Bruinessen telah memetik tulisan Saiyid
‘Al-wi Thahir al-Haddad, dalam bukunya Kitab Kuning, Pesantren ..“Putra
Syah Ahmad, Jamaluddin dan saudara-saudaranya konon telah mengembara ke
Asia Tenggara..... Jamaluddin sendiri pertamanya menjejakkan kakinya ke
Kemboja dan Acheh, kemudian belayar ke Semarang dan menghabiskan waktu
bertahun-tahun di Jawa, hingga akhirnya melanjutkan pengembaraannya ke
Pulau Bugis, di mana dia meninggal.” (al-Haddad 1403 :8-11).
Diriwayatkan pula beliau menyebarkan Islam ke Indonesia bersama
rombongan kaum kerabatnya. Anaknya, Saiyid Ibrahim (Maulana Malik
Ibrahim) ditinggalkan di Acheh untuk mendidik masyarakat dalam ilmu
keislaman. Kemudian, Saiyid Jamaluddin ke Majapahit, selanjutnya ke
negeri Bugis, lalu meninggal dunia di Wajok (Sulawesi Selatan). Tahun
kedatangannya di Sulawesi adalah 1452M dan tahun wafatnya 1453M”.
Jadi
tidak diragukan bahwa yang ke Kamboja itu adalah ayah Maulana Malik
Ibrahim, Saiyid Jamaluddin yang menikah di sana dan menurunkan Ali Nurul
Alam. Sedangkan mayoritas ahli sejarah menyatakan Maulana Malik Ibrahim
lahir di Samarkand atau Persia, sehingga di gelar Syekh Maghribi.
Beliau sendiri dibesarkan di Acheh dan tentu menikah dengan puteri Acheh
yang dikenal sebagai ”Puteri Raja Champa”, yang melahirkan Raden Rahmat
(Sunan Ampel).
Lagi pula keadaan Champa Kambodia sezaman Maulana
Malik Ibrahim sedang huru hara dan terjadi pembantaian terhadap kaum
Muslim yang dilakukan oleh Dinasti Ho yang membalas dendam atas
kekalahannya pada pasukan Khulubay Khan, Raja Mongol yang Muslim
sebagaimana disebutkan terdahulu. Keadaan ini sangat jauh berbeda dengan
keadaan Jeumpa yang menjadi mitra Kerajaan Pasai pada waktu itu yang
menjadi jalur laluan dan peristirahatan menuju kota besar seperti Barus,
Fansur dan Lamuri dari Pasai ataupun Perlak. Kerajaan Pasai adalah
pusat pengembangan dan dakwah Islam yang memiliki banyak ulama dan
maulana dari seluruh penjuru dunia.
Sementara para sultan adalah
diantara yang sangat gemar berbahas tentang masalah-masalah agama, di
istananya berkumpul sejumlah ulama besar dari Persia, India, Arab dan
lain-lain, sementara mereka mendapat penghormatan mulia dan tinggi.[66]
Dan Sejarah Melayu menyebutkan bahwa ”segala orang Samudra (Pasai) pada
zaman itu semuanya tahu bahasa Arab.[67]
Populeritas Jeumpa (Acheh)
di Nusantara, yang dihubungkan dengan puteri-puterinya yang cerdas dan
cantik jelita, buah persilangan antara Arab-Parsi-India dan Melayu, yang
di Acheh sendiri sampai saat ini terkenal dengan Buengong Jeumpa, gadis
cantik putih kemerah-merahan, tidak lain menunjukkan keistimewaan
Jeumpa di Acheh yang masih menyisakan kecantikan puteri-puterinya di
sekitar Bireuen.
Pada masa kegemilangan Pasai, istilah puteri
Jeumpa (lidah Jawa menyebut ”Champa”) sangat populer, mengingat
sebelumnya ada beberapa Puteri Jeumpa yang sudah terkenal kecantikan dan
kecerdasannya, seperti Puteri Manyang Seuludong, Permaisuri Raja Jeumpa
Salman al-Parisi, Ibunda kepada Syahri Nuwi pendiri kota Perlak. Puteri
Jeumpa lainnya, Puteri Makhdum Tansyuri (Puteri Pengeran Salman-Manyang
Seuludong/Adik Syahri Nuwi) yang menikah dengan kepala rombongan
Khalifah yang dibawa Nakhoda, Maulana Ali bin Muhammad din Ja’far
Shadik, yang melahirkan Maulana Abdul Aziz Syah, Raja pertama Kerajaan
Islam Perlak.
Mereka seterusnya menurunkan Raja dan bangsawan
Perlak, Pasai sampai Acheh Darussalam. Demikian pula keturunan Syahri
Nuwi dari Sultan Perlak bergelar Makhdum juga disebut sebagai Putri
Jeumpa, karena beliau lahir di Jeumpa. Kecantikan dan kecerdasan
puteri-puteri Jeumpa sudah menjadi legenda di antara pembesar-pembesar
istana Perlak, Pasai, Malaka, bahkan sampai ke Jawa. Itulah sebabnya
kenapa Maharaja Majapahit, Barawijaya V sangat mengidam-idamkan seorang
permaisuri dari Jeumpa. Bahkan dalam Babat Tanah Jawi, disebutkan
bagaimana mabok kepayangnya sang Prabu ketika bertemu dengan Puteri
Jeumpa yang datang bersama dengan rombongan Maulana Malik Ibrahim dan
para petinggi Pasai.
Secara umum, wajah orang Champa Kambodia
lebih mirip dengan Cina, kecil-kecil dan memiliki kulit seperti orang
Kelantan sekarang, sementara bahasanya susah dimengerti karena dialeknya
berbeda dengan rumpun bahasa Melayu yang menjadi bahasa pertuturan dan
pengantar Nusantara saat itu. Muka-muka Arab, seperti wajah Maulana
Malik Ibrahim, Raden Rahmat ataupun gelar mereka, Sayyid, Maulana, dan
lainnya jarang adanya dan tidak seperti rata-rata orang Perlak, Pasai,
Jeumpa ataupun umumnya orang Acheh yang lebih mirip ke wajah Arab, India
atau Parsia. Sebagaimana diketahui, Maulana Malik Ibrahim dan Raden
Rahmat memberikan pelajaran agama kepada orang Jawa menggunakan bahasa
Melayu Sumatera yang banyak digunakan di sekitar Perlak, Pasai, Lamuri,
Barus, Malaka, Riau-Lingga dan sekitarnya, sebagaimana dalam manuskrip
agama yang dikarang para Ulama terkemudian seperti terjemahan karya Abu
Ishaq, kitab-kitab Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani, Nuruddin
al-Raniri, Raja Ali Haji dan lainnya.
Dari segi geografis dan
taktik-strategi perjuangan, kelihatannya mustahil para pendakwah,
khususnya gerakan Para Wali yang akan menaklukkan pulau Jawa bermarkas
di sebuah perkampungan Muslim minoritas dekat Vietnam. Apalagi pada masa
itu Champa sepeninggal Raja terakhirnya, Che Bong Nga (w.1390),
sepenuhnya dikuasai Dinasti Ho yang Budha dan anti Islam berpusat di
Hanoi. Maulana Malik Ibrahim adalah Grand Master para Wali Songo, jika
sasaran dakwahnya adalah pulau Jawa, sebagai basis kerajaan Hindu-Budha
yang tersisa, terlalu naif memilih Champa sebagai markas pusat
pergerakan baik menyangkut dukungan logistik, politik maupun
ketentaraan. Sebagaimana dicatat sejarah, pada masa itu para Sultan dan
Ulama, baik yang ada di Arab, Persia, India termasuk Cina yang sudah
dipegang penguasa Islam memfokuskan penaklukkan kerajaan besar Majapahit
sebagai patron terbesar Hindu-Budha Nusantara.
Kaisar Cina yang
sudah Muslimpun mengirim Panglima Besar dan tangan kanan dan
kepercayaannya, Laksamana Cheng-Ho untuk membantu gerakan Islamisasi
Jawa. Sementara hubungan dakwah via laut pada saat itu sudah terjalin
jelas menunjukkan hubungan antara Jawa-Pasai-Gujarat-Persia-Muscat-Aden
sampai Mesir, yang diistilahkan Azra sebagai Jaringan Ulama Nusantara.
Yang artinya, wilayah Acheh Jeumpa lebih mungkin berada di sekitar pusat
gerakan dan lintasan jaringan tersebut daripada Champa Kambodia. Adalah
hal yang mustahil, seorang Wali sekelas Maulana Malik Ibrahim, bapak
dan pemimpin para Wali di Jawa, yang telah berhasil membangun jaringan
di Nusantara, setelah 13 tahun di Champa tidak dapat membangun sebuah
kerajaan Islam atau meninggalkan jejak-jejak kegemilangan peradaban
Islam, atau hanya sebuah prarasti seperti pesantren, maqam atau
sejenisnya yang akan menjadi jejaknya. Bahkan Raffles menyebutnya
sebagai orang besar, sementara sejarawan G.W.J.
Drewes
menegaskan, Maulana Malik Ibrahim adalah tokoh yang pertama-tama
dipandang sebagai wali di antara para wali. ''Ia seorang mubalig paling
awal,'' tulis Drewes dalam bukunya, New Light on the Coming of Islam in
Indonesia. Gelar Syekh dan Maulana, yang melekat di depan nama Malik
Ibrahim, menurut sejarawan Hoessein Djajadiningrat, membuktikan bahwa ia
ulama besar. Gelar tersebut hanya diperuntukkan bagi tokoh muslim yang
punya derajat tinggi.
Maulana Malik Ibrahim memiliki seorang
saudara yang terkenal sebagai ulama besar di Pasai, bernama Maulana
Saiyid Ishaq, sekaligus ayah dari Raden Paku atau Sunan Giri. Menurut
cacatan sejarah, beliau adalah salah seorang ulama yang dihormati di
kalangan istana Pasai dan menjadi penasihat Sultan Pasai di zaman Sultan
Zainal Abidin dan Sultan Salahuddin. Sebelum bertolak ke tanah Jawa,
ayahanda beliau, Jamaluddin Akbar al-Husain (Maulana Akbar), yang juga
datang dari Persia atau Samarqan, tinggal dan menetap juga di Pasai.
Jadi menurut analisis, beliau bertiga datang dari Persia atau Samarqan
ke Kerajaan Pasai sebagai pusat penyebaran dakwah Islam di Nusantara,
pada sekitar abad ke 13 Masehi, bersamaan dengan kejayaan Kerajaan Pasai
di bawah para Sultan keturunan Malik al-Salih, yang juga keturunan
Ahlul Bayt. Sementara Sunan Ampel atau Raden Rahmat yang dikatakan lahir
di Champa, kemudian hijrah pada tahun 1443 M ke Jawa dan mendirikan
Pesantren di Ampeldenta Surabaya, adalah seorang ulama besar, yang
tentunya mendapatkan pendidikan yang memadai dalam lingkungan Islami
pula.
Adalah mustahil bagi Sang Raden untuk mendapatkan
pendidikannya di Champa Kambodia pada tahun-tahun itu, karena sejak
tahun 1390 M atau sepuluh tahun sebelum kelahiran beliau, sampai dengan
abad ke 16, Kambodia dibawah kekuasaan Dinasti Ho yang Budha dan anti
Islam sebagaimana dijelaskan terdahulu. Apalagi sampai saat ini belum di
dapat jejak lembaga pendidikan para ulama di Champa. Namun keadaannya
berbeda dengan Jeumpa Acheh, yang dikelilingi oleh Bandar-Bandar besar
tempat pesinggahan para Ulam dunia pada zaman itu. Perlu digarisbawahi,
kegemilangan Islam di sekitar Pasai, Malaka, Lamuri, Fatani dan
sekitarnya adalah antara abad 13 sampai abad 14 M. Kawasan ini menjadi
pusat pendidikan dan pengembangan pengetahuan Islam sebagaimana
digambarkan terdahulu.
Dengan demikian, maka jelaslah bahwa
”Champa” yang dimaksud dalam sejarah pengembangan Islam Nusantara selama
ini, yang menjadi tempat persinggahan dan perjuangan awal Maulana Malik
Ibrahim, asal ”Puteri Champa” atau asal kelahiran Raden Rahmat (Sunan
Ampel), bukanlah Champa yang ada di Kambodia-Vietnam saat ini. Tapi
tidak diragukan, sebagaimana dinyatakan Raffles, ”Champa” berada di
Jeumpa Acheh dengan kota perdagangan Bireuen, yang menjadi bandar
pelabuhan persinggahan dan laluan kota-kota metropolis zaman itu seperti
Fansur, Barus dan Lamuri di ujung barat pulau Sumatra dengan wilayah
Samudra Pasai ataupun Perlak di daerah sebelah timur yang tumbuh makmur
dan maju.
Jika Jeumpa Acheh menjadi asal dari Puteri yang menjadi
Permaisuri Maha Prabu Brawijaya V, yang telah melahirkan Raden Fatah,
Sultan pertama Kerajaan Islam Demak, kerajaan Islam pertama di tanah
Jawa. Jika Jeumpa Acheh adalah tempat dilahirkan dan dibesarkannya Raden
Rahmat (Sunan Ampel) yang telah mendidik para pejuang dan pendakwah
Islam di Tanah Jawa yang berhasil meruntuhkan dominasi kerajaan-kerajaan
Hindu. Jika Jeumpa Acheh adalah tempat persinggahan dan kediaman
Maulana Malik Ibrahim, sang Grand Master gerakan Wali Songo yang
berperan dalam pengembangan Islam dan melahirkan para Ulama di tanah
Jawa. Jika Jeumpa Acheh adalah daerah yang menjadi bagian dari Kerajaan
Pasai yang telah melahirkan banyak Ulama dan pendakwah di Nusantara.
Maka tidak diragukan, secara tersirat bahwa Jeumpa dan tentunya Pasai
memiliki peran besar proses penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit.
Dan
Kerajaan Pasai, sebagai pusat Islamisasi Nusantara, sangat
berkepentingan untuk menaklukkan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit, karena
ia adalah satu-satunya penghalang utama untuk pengislaman tanah Jawa.
Maka para Sultan dan para Ulama serta cerdik pandai Kerajaan Pasai telah
menyusun strategi terus menerus dengan segala jaringannya untuk
menaklukkan Kerajaan Jawa-Hindu ini. Bahkan Kekaisaran Cinapun yang
telah dikuasai Muslim ikut andil dalam Islamisasi ini, terbukti dengan
mengirimkan Penglima Besar dan kepercayaan Kaisar yang bernama Laksamana
Cheng Ho. Jalan peperangan tidak mungkin ditempuh, mengingat jauhnya
jarak antara Pasai dengan Jawa Timur sebagai pusat Kerajaan Majapahit.
Maka ditempuhlan jalan diplomasi dan dakwah para duta dari Kerajaan Pasai.
Rupanya
para Grand Master terutama Maulana Malik Ibrahim sebagai utusan senior
para pendakwah, menemukan sebuah cara yang dianggap bijak, yaitu melalui
jalur perkawinan. Maka dikawinkanlah iparnya yang bernama Dwarawati
atau Puteri Jeumpa yang cantik jelita dan cerdas tentunya, dengan Prabu
Brawijaya V, yang konon masih memeluk Hindu. Kenapa Sang Bapak Para Wali
Songo ini berani mengambil kebijakan itu. Tentu hanya Allah dan beliau
yang tahu. Dan akhirnya sejarah kemudian mencatat, anak perkawinan
Puteri Jeumpa Dwarawati dengan Prabu Brawijaya V, bernama Raden Fatah
adalah Sultan Kerajaan Islam Demak pertama yang telah mengakhiri
dominasi Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit dan Kerajaan-Kerajaan Hindu
lainnya.
Mungkin pertimbangan Maulana Malik Ibrahim menikahkan
iparnya Puteri Jeumpa berdasarkan ijtihad beliau setelah mengadakan
penelitian panjang terhadap tradisi dan budaya orang Jawa yang sangat
menghormati dan patuh bongkokan kepada Raja atau Pangeran yang selama
ini dianggap sebagai titisan para Dewata, sebagaimana cerita-cerita
pewayangan di Jawa. Jika ada seorang Raja atau Pangeran yang masuk
Islam, maka akan mudah bagi perkembangan Islam. Karena Jawa adalah salah
satu daerah yang sangat sulit diislamkan sampai saat itu, mengingat
kuatnya dominasi Kerajaan Hindu Majapahit. Itulah sebabnya, ketika
Puteri Jeumpa telah hamil, dia ditarik dari istana Majapahit,
dihijrahkan ke wilayah Islam lainnya, kabarnya ke Kerajaan Melayu
Palembang.
Setelah lahir anaknya, Raden Fatah, Puteri Jeumpa
kembali ke Jawa Timur, tapi bukan ke istana Majapahit, tapi ke
Ampeldenta Surabaya, ke tempat anak saudaranya Raden Rahmat (Sunan
Ampel) untuk mendidik Raden Fatah agar menjadi pemimpin Islam. Setelah
dewasa, karena masih Raden Pangeran Majapahit, maka Raden Fatah berhak
mendapat jabatan, dan beliau diangkat sebagai seorang Bupati di sekitar
Demak. Saat itulah para Wali Songo yang sudah mapan mendeklarasikan
sebuah Kerajaan Islam Demak, di Bintaro Demak, sebagai Kerajaan Islam
pertama di Jawa. Karena Raden Fatah adalah titisan Raja Majapahit, maka
orang-orang Jawapun dengan cepat mengikuti agamanya dan membela
perjuangannya sebagaimana dicatat sejarah dalam buku Babat Tanah Jawi.
Jadi
prestasi terbesar Kerajaan Pasai adalah keberhasilannya mengembangkan
Kerajaannya sebagai pusat Islamisasi Nusantara, terutama keberhasilannya
mengislamisasikan pulau Jawa yang telah coba dilakukan berabad-abad
oleh para pendakwah dan pejuang Islam. Namun sayang fakta sejarah ini
selalu ditutup-tutupi oleh para penjajah Belanda dan antek-anteknya di
Jawa. Bahkan sebagian orang-orang Jawa tidak pernah menganggap bahwa
para Wali Songo adalah alumni perguruan tinggi Islam yang sudah
berkembang pesat di Acheh, baik di sekitar Pasai, Perlak, Jeumpa, Barus,
Fansur dan lain-lainnya yang selanjutnya akan dibuktikan dengan
tampilnya ulama-ulama besar dan berpengaruh di Nusantara asal Acheh
seperti Hamzah Fansuri, Samsuddin al-Sumatrani, Maulana Syiah Kuala,
Nuruddin al-Raniri dan lain-lainnya.
Sultan Alaidin Muhammad Dawoodsyah Memerintah tanpa Istana
ASAL MULA malapetaka itu berawal dari Maklumat Loudon, pejabat tinggi
Belanda yang memproklamirkan perang terhadap Kerajaan Aceh, di bawah
pemerintahah Sultan Alaiddin Mahmud Syah II. Mulai pagi 26 Maret 1873
itu, Aceh memasuki babak baru kehidupannya, yakni perang dengan Belanda
yang berkepanjangan.
Prang ini bukan yang pertama dihadapi.
Sebelumnya, akhir abad ke-15, Aceh telah pernah bersiteru dengan Armada
Portugis di Malaka. Perang dengan beberapa daerah takluknya juga pernah
terjadi, seperti dengan Pahang, Aru, Johor, dan jauh sebelum itu, orang
Aceh pernah mengusir armada Majapahit dari pantai Tualang Cut (Manyak
Payet) di pesisir timur Aceh, hingga menewaskan Maha Patih Gajah Mada,
dan berkubur di perairan Selat Malaka sekitar Pulau Kampai. Tapi prang
kali ini memakan waktu cukup lama (Maret 1873 hingga Maret 1942),
seperti yang ditulis Paul van Veer dalam catatan sejarahnya.
Prang
Atjeh memakan korban begitu banyak, dan menguras dana dari Den Haag di
Belanda tidak sedikit pula. Dan setahun setelah Makloemat Loudon itu
(tahun 1874), Dalam (Keraton) berhasil diduduki. Sultan Alaiddin Mahmud
Syah II mengungsi ke Pagar Ayee, dan beliau wafat di sana karena
penyakit tha‘un (kolera) yang sedang mewabah begitu dahsyat kala itu.
Menghindari kejaran Belanda, jenazah Sultan dilarikan agak jauh dari
Koetaraja, yakni ke kawasan hutan Samahani, dan dimakamkan di sana.
Para pengawal Sultan dihadapkan pada masalah kepemimpinan baru, karena Putra Mahkota Tuwankoe Alaiddin Muhammad Daoed Syah masih di bawah umur. Dalam adat dan kebiasaan Aceh, anak dibawah umur belum boleh diangkat menjadi peminpin atau raja. Maka sang Putra Mahkota diperwalikan kepada Teuku Panglima Polem VII Mahmud Arifin, gelar Muda Kuala, Panglima Sagoe XXII Mukim berkedudukan di Lam Sie.
Sementara itu roda pemerintahan dilaksanakan oleh seorang Mangkubumi, yakni Toewankoe Hasyem Bangta Muda, turunan Sultan Iskandar Muda dari isteri Putri Ethiopia, yang di Aceh sangat dikenal dengan Gundek Lamsie. Putri Ethiopia inilah yang merupakan ibunda dari Teuku Panglima Polem pertama, alias Teuengku Batee Timoh.
Putra Mahkota Alaiddin Muhammad Dawood Syah, anak muda di bawah umur itu, Toewankoe Muhammad Daoed bin Marhum Toewankoe Zainal Abidin Alaiddin Syah, harus menunggu sampai aqil baliq tiba. Barulah pada tahun 1878, beliau dilantik menjadi Sultan, di Masjid Indrapuri, kawasan walayah XXII Mukim. Sebelum itu pemerintahan dikendalikan oleh Mangkubumi, bersama sejumlah pemuka dan panglima prang yang tangguh. Teuku Panglima Polem Mahmud Arifin, hulubalang Sagoe XXII Mukim adalah pendukung setia di samping teuku Imum Lueng Bata, Teungku Syech Saman di Tiro, dan lain lain.
Pasukan Belanda yang semakin agresif, menyebabkan Mangkubumi dan pengikutnya harus berpindah pidah tempat. Antara 1874 hingga 1878, Putra Mahkota selalu ikut bersama kemana mana, hingga tiba saat pelantikan menjadi Sultan.
Sultan Alaiddin Muhammad Dawoe Syah juga berpindah pindah tempat, bergerilya bersama Teungku Syik di Tiro Muhammad Saman, Teuku Panglima Polem, Panglima Nyak Makam, Teuku Imum Lueng Bata, dan sejumlah pemuka Aceh lainnya, hingga Sultan akhirnya memilih Keumala (sebuah Gampong dalam Wilayah Teuku Ben Keumala di Pidie) sebagai pusat pemerintahan.
Dari gampong yang tanpa istana mewah, Sultan memimpin perang dan mengendalikan pemerintahan Aceh, dengan segala suka dukanya. Teungku Putroe Pocut di Glumpang Payong, dan Tengku Potroe Pocut Gamba Gading menemani Sultan dengan sangat setia.
Prang Aceh terus berkecamuk. Satu satu para pemimpin Aceh gugur di tangan Marsose. Pasukan ini dibentuk pada 2 April 1890, atas inisistif Syamsarif, pria sal Minangkabau yang bekerja di Aceh. Marsose dikenal sangat ganasnya dalam menghadapi para pejuang Aceh. Pernah pula diusulkan agar pasukan Marsose diperlengkapi dengan orang orang dari Arafuru. Ambon, yang terkenal sangat buas dan suka menjadi penjagal dan tukang pancung terkenal. Akan tetapi, ide itu ditolak oleh pemerintah Belanda di Batavia.
Di pantai barat Aceh, sejumlah pemuka Aceh bergerilya melawan Belanda yang semakin ganas. Teuku Imum Muda Raja Teunom, meng-internasionalisasi-kan Prang Aceh dengan menyandera Kapal Nisero, milik Pemerintah Inggris di perairan Pasi Panga di Aceh Barat, pada tanggal 13 Oktober 1883. Penyanderaan ini telah mendorong Ingris menekan Belanda untuk mengakhiri perang di Aceh, tetapi tak digubris Belanda.
Teuku Umar memimpin prang dari markasnya di Rigaih, dan sesekali beliau berada di kawasan Aceh Rayek yang menjadi basis pemerintahan Nanta, dari Lam Padang hingga Seudu. Sementara itu, Teuku Nyak Makam memimpin perlawanan di kawasan Simpang Ulim, pantai timur Aceh, hingga ke perbatasan Langkat di Sumatra Utara.
Tapi pasukan Belanda semakin ofensif, akhirnya Sultan dan para pengikutnya memilih untuk meninggalkan Istana Keumala, dan berpindah pindah hingga ke pedalaman Gayo. Sultan pernah bertempat tinggal di Toweran, Takengon. Sementara itu, Teuku Panglima Polem Muhammad Daud gelar Muda Sakti, sudah mengungsi pula ke kawasan utara Aceh dan menetap di kawasan tepian selatan Danau Laur Tawar, untuk beberapa lama. Belanda kehabisan akal hingga menemukan akal licik dengan menyandera perempuan isteri para pemimpin Aceh. Di antara nya yang ikut disandra adalah Teungku Ptroe, isteri Sultan yang berada di Glumpang Payong Pidie. Beliau ditangkap pasukan Letnan H Chirstofel pada 26 November 1902. Sebulan kemudian, tepatnya pada Hari Natal 25 Desember 1902, Belanda berhasil menangkap Teungku Putroe Gamba Gadeng asal Cot Murong bersama putra tunggal Sultan, Toewankoe Raja Ibrahim yang tinggal di Lam Meulo (sekarang Kota Bakti) di Pidie. Demikian pula terhadap isteri dari Teuku Panglima Polem ikut pula ditangkap, sehinga kedua pemimpin itu harus menyarungkan peudeueng prang mereka.
Belanda menggunakan amat licik dengan membinasakan para permaisuri dan isteri isteri pemuka Aceh, manakala mereka tidak mau berdamai dengan Belanda. Taktik ini membuahkan hasil, dengan turunnya Sultan untuk berdamai, pada 10 Januari 1903. Sebuah upacara penyambutan Sultan dipersiapkan dengan sangat rapi oleh Van Daalen, di Sigli. Tujuh bulam kemudian, pada 7 September tahun yang sama, Teuku Panglima Polem Sri Muda Perkasa Muhammad Daud juga melakukan hal yang sama di Lhok Seumawe.
Namun Tgk Syik di Tiro Mahyeddin putra Syech Saman (Tgk Syik Mayed) bersama para pengikutnya tetap melakukan perlawanan gerilya di hutan hutan pedalaman Aceh. Teungku Syik Mayed didampingi dua isterinya, masing masing Cut Asiah binti Teuku Saman Indra putri Teuku Bentara Saman Indra dari Celeue Pidie, dan Pocut Mirah Gambang, putri Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar dari Lam Pisang XXVI Mukim A ceh Besar. (bersambung...)
*) Dr Hasballah Saad, Aceh Culture Institut (ACI)
Kisah para Cuak
Wanita Aceh tidak mengakui suaminya, hanya karena ayah dari anaknya itu telah tunduk kepada Belanda. Memilih menjadi janda dari pada disebut istri cuak. Namun tak sedikit pula wanita Aceh yang tersiksa, hanya karena suaminya informan Belanda.
Salah satu kejadian seperti itu, terjadi di Lhong, Aceh Besar pada tahun 1933. menurut Zentgraaff, pada saat itu di sebuah desa terdapat 13 pria pejuang Aceh yang melakukan perlawanan terhadap Belanda. Namun salah satu diantaranya menyerahkan diri kepada Belanda.
Mengetahui hal tersebut, istrinya marah besar. Ia tidak lagi menerima ayah dari anak-anaknya itu. Para penduduk pun mengucilkannya. Akibatnya, pria itu terpaksa tidur di sebuah gubuk di ladangnya. Tak lama kemudian, seorang kolonel Belanda bersama seorang pegawai pemerintah, datang ke desa itu untuk menginterogasi wanita yang telah mengusir suaminya itu.
Bagi wanita itu, suaminya tak ubahnya seorang pengecut, karena menyerah, bukan mati syahid sebagaimana pejuang lainnya. “Siapapun boleh berkompromi, tetapi pantang bagi wanita Aceh; dia memikul sahamnya dalam bencana perang sebagai pahlawan (srikandi), dan seringkali: sebagai martelares. Kadang-kadang ia menderia lebih hebat lagi dari orang senegerinya dibandingkan dengan siksa yang dilancarkan oleh kompeuni, lebih-lebih kalau ia berdiam di zona di mana silih berganti muncul pasukan kita dan kemudian pihak pemberontak,” tulis Zentgraaff.
Kejadian yang sama juga terjadi di Desa Pulo Seunong, Tangse, Pidie. Seorang pria yang bekerja sebagai informan Belanda ditangkap pejuang Aceh. Hal itu terbongkar ketika melihat informan tersebut memiliki banyak uang, penyelidikan pun dilakukan, akhirnya diketahui uang itu didapat dari Belanda atas jasanya memberi informasi keberadaan pejuang Aceh. Informan itu pun ditangkap dan disembelih. Dalam kurun waktu satu tahun saja, menurut Zentgraaff, tak kurang dari 20 cuak, yang dipotong lehernya. Namun keluarga yang ditinggalkan tidak pernah meratapinya. Karena dianggap telah berkhianat.
Yang lebih miris adalah apa yang dialami, istri seorang cuak yang bernama Banta di Desa Pulo Kawa. Pada suatu malam di bulan Juli 1910, pimpinan gerombolan Aceh, Keuchik Maha, bersama pengikutnya mendatangi kampung tersebut untuk mencari Banta yang diketahui sebagai informan Belanda.
Namun ketika sampai di rumah, ternyata pria yang dicari itu tidak ada ditempat. Menurut istrinya, Banta ada di rumah istri mudanya. Namun Kechik Maha tetap memeriksa seisi rumah, kemudian ia duduk di sebuah bangku, meminta kepada istri pertama Banta tersebut untuk membersihkan kakinya yang berlumpur dengan air dalam sebuah pasu. Setelah bersih, keuchik Maha meminta agar mengeringkan dengan rambutnya.
Wanita itu pun kemudian mengurai rambutnya, mengeringkan kaki Keuchik Maha. Wanita itu pasrah, karena itu menyangkut hidup matinya. Setelah kakinya bersih dan kering, Keuchik Maha menghunus pedangnya dan menghabisi nyawa wanita itu. Setelah itu, gerombolan Keuchik Maha pun berangkat ke rumah istri muda Banta.
Ketika sampai ke rumah itu di malam buta, Kechik Maha dan gerombolannya menyeru sebagai pasukan kompeni. Ia memanggil Banta dan memintanya turun dari rumah dengan bahasa Melayu, seolah-olah yang datang adalah pasukan Kompeni Belanda.
Bantan pun kemudian turun dari rumahnya. Ketika menuruni tangga, kakinya pun dipukul oleh gerombolan Keuchik Maha, ia pun roboh ke tanah. Tangan, kaki dan kepalanya dipotong-potong. “Pun juga kepala kampung dari kampung Pulo Suenong pada malam yang sama telah disembelih seperti itu pula. Mayat isterinya pun dibuat demikian juga, sehingga kumpulan semuanya itu merupakan tontonan yang sangat memalukan, sehingga para marsose bersumpah menuntut balas terhadap Keuchik Maha,” tulis Zentgraaff.
Masih menurut Zentgraaff, di dekat cincangan mayat istri dan mata-mata kompeni itu, para pasukan marsoese bersumpah akan mengejar Keuchik Maha dan mencincang tubuhnya seperti yang dilakukannya terhadap keluarga cuak tersebut.
Perburuan pun dimulai, namun Keuchik Maha, selalu bisa lolos. Sampai pada 24 Maret 1911, Keuchik Maha dan kelompoknya, kembali turun ke Desa Pulo Sunong, untuk menjumpai istrinya. Sekitar pukul lima sore, Keuchik Maha dan kelompoknya nampak di pinggiran kampung tersebut. Sementara pasukan moersose dibawah pimpinan Van Dongelen, seorang sersan asal Ambon, sudah menunggu dengan jebakannya. Keuchik Maha dan gerombolannya pun tewas dalam penyergapan itu.
Kejadian lainnya yang tak kalah miris terjadi di Seunangan, daerah pesisir Aceh Barat, dalam tahun 1906 dan 1907. Sebuah kelompok pejuang Aceh pimpinan Ibrahim, yang lebih dikenal dengan sebutan Pang Brahim. Ia sendiri merupakan bawahan dari kelompok pejuang yang lebih besar pimpinan Teungku Puteh. “Teungku Puteh lah biang keladi (aktor intelektual) yang pada tahun 1917 melakukan penyerangan terhadap tentara kita, dan menewaskan Gosensoe,” tulis Zentgraaff dalam bukunya tentang peristiwa tersebut.
Namun dalam suatu penyerangan Belanda dibawah komando Boreel, Pang Brahim tertangkap hidup-hidup dan ditawan Belanda. Tertangkapnya Pang Brahim tak lepas dari peran seorang cuak, yang merasa sakit hati terhadap perlakuan kasar pasukan Pang Brahim terhadap keluarganya yang juga dicap sebagai cuak.
Setelah diinterogasi, ia kemudian dipenjara di Meulaboh. Meski mengalami berbagai siksaan, dalam penjara ia tetap menyatakan tekatnya secara lantang untuk membalas dendam terhadap Belanda. [Iskandar Norman]
Aceh Sekolah Perang Belanda
Setelah kediaman sultan (dalam) dikuasai Belanda pada egresi keduanya, maka pada 31 Januari 1874, Letnan Jenderal van Swieten mengeluarkan proklamasi bahwa Pemerintah Hindia Belanda telah menggantikan kedudukan sultan Aceh dan menempatkan daerah Aceh Besar sebagai daerah taklukannya.
Belanda juga berusaha agar daerah-daerah diluar Aceh besar mengakui kedaulatan Pemerintah Belanda, jika tidak dengan jalan damai maka ditempuh jalan kekerasan melalui perang. Dan inilah awal dari perang gerilya Aceh melawan Belanda, karena tidak mau takluk pada permintaan Belanda.
Pemerintah Kolonial Belanda menyangka dengan menguasi Dalam dan sebagian kecil darah Aceh Besar serta dengan sebuah proklamasi dapat membuat daerah Aceh lainnya takluk, kenyataanya perlawanan rakyat Aceh melalui perang gerilya semakin gencar.
Meskipun van Swieten telah memproklamasikan bahwa Pemerintah Hindia Belanda menggantikan kedudukan Sultan, pihak Aceh tetap mengangkat pengganti Sultan Alaiddin Mahmud Syah yang telah mangkat dengan Tuanku Muhammad Daud bergelar Sultan Alaiddin Muhammad Daudsyah, putra Tuanku Zainal Abidin bin Sultan Alaiddin Ibrahim Mansyur Syah.
Perlawanan rakyat Aceh terus berlanjut hingga menjelang awal kedatangan Jepang (1942). Perlawanan tersebut dipimpin oleh ulama dan uleebalang serta disemangati oleh pengaruh syair-syair yang heroik dari penyair yang membangkitkan semangat dan antipati terhadap Belanda yang disebut sebagai kafir yang harus dilawan.
Syair-syair tersebut, di antaranya Hikayat Prang Sabi yang ditulis oleh Teungku Chik Pante Kulu, Hikayat Prang Kompeni karangan Abdul Karim yang dikenal dengan panggilan Do Karim, dan berbagai hikayat heroik lainnya. Antipati juga disebabkan oleh pihak Belanda yang tidak memperbolehkan rakyat Aceh untuk mengibarkan Bendera Alam Peudeueng dan harus mengibarkan Bendera Belanda.
Perlawanan rakyat Aceh dalam Perang Aceh sepanjang sejarah yang disebutkan di atas, melahirkan banyak catatan-catatan. Jenderal GP. Booms dalam bukunya De Erste Atjeh Expediti en Hare Enquete (Zentgraaf, 1938) menulis: “Blijkbaar rekende men dus op een gemakkelijke overwinning. De feiten, een jarenlange ervaring, hebben echtar getoond, dat men te maken had men telrijken, energieken vijand,... met een volk van een ongekende doodsveracting,dat zich onverwinbaar achtte... die ervaring leert in een woord, dat wij niet gestaan hebben tegenover een machteloozen sultan wiens rijk met den valvan zijn Kraton zou ineenstorten maar tegenover een volksoorlong, die behalve over al de materieele middelen vaqn het land, over geweldige moreele krachten van fanatisme of patriotisme beschikte..”
(“telah diperkirakan suatu kemenangan yang akan diperoleh dengan mudah. Akan tetapi, pengalaman bertahun-tahun lamanya memberikan petunjuk, bahwa yang dihadapi itu adalah musuh dalam jumlah besar yang sangat gesit, ... suatu bangsa yang tidak gentar menghadapi maut, yang menganggap ia tidak dapat dikalahkan... Pengalaman itu memberi pelajaran, bahwa kita tidak dapat menghadapi seorang Sultan, yang kesultanannya akan berubah dengan jatuhnya Kraton, akan tetapi kita menghadapi rakyat yang menentukan harta-benda negara, memilki tenaga-tenaga moril, seperti cinta tanah air”).
Dalam sidang Parlemen Belanda pada 15 Mei 1877, Menteri Urusan Koloni Belanda memberikan jawaban atas interpelasi yang menyoalkan kegagalan Belanda itu, “Wij hebben te trotseeren gehad een ongekande doodsveracthing, een volk dat zich onverwinbaar achtte” (“Kita telah menghadapi maut, bangsa yang menganggap ia tidak sedikit pun gentar menghadapi maut, bangsa yang menganggap ia tidak mugkin dapat dikalahkan”).
Kegagalan Belanda itu terus saja dibicarakan, sampai Belanda pun menaruh hormat atas keberanian pejuang Aceh (baik pria maupun wanita). Rasa hormat itu sebagaimana diungkapkan Zentgraaff dalam bukunya Atjeh, yang menulis: “De Atjehschevrouw, fier en depper, was de verpersoonlijking van den bittersten haat jegens ons, en van de uiterste onverzoenlijkheid an als zij medestreed, dan deed zij dit met een energie en doodsverachting welke veelal die der mennen overtroffen. Zij was de draagster van een haat die brandde tot den rand van het graf en nog in het aangezicht van den dood spuwde zij hem, den kaphe in het gezicht”
(“Wanita Aceh gagah dan berani mereka pendukung yang tidak mungkin didamaikan, terhadap kita dan bila ia turut serta bertempur, dilakukannya dengan gigih dan mengagumkan, bersikap tidak takut mati yang melebihi kaum pria. Ia mempunyai rasa benci yang menyala-nyala sampai liang kubur dan sampai saat menghadapi maut, ia masih mampu meludahi muka si kaphe”).
Perang antara pihak Belanda dan pihak Aceh yang dikenal dengan Perang Aceh melahirkan pengakuan pihak Belanda. G.B. Hooyer (1897) menulis: “Geen benden van Diepo Negoro of Sentot, geen dweepzieke Padri’s, geen scharen Balineezen of ruitmassa’s der Bonieren ontwikkelden ooit zooveel dapperheid en doodsverachting in het gevecht, zooveel stoutheid bij den aanval, zooveel vertrouwen op eigen kracht, zooveel taaiheid in tegenspoed, als die door den vrijheidlievenden, fanatieken, voor den guerilla-krijg als geschapen Atjeher werden betoond. Daarom zal de Atjeh-oorlog steeds een leerschool blijven voor ons leger, ...”
(“Tidak ada pasukan Diponogoro atau Sentot (Ali Basyah Prawiro Dirjo), tidak ada pasukan Padri yang sedemikian fanatiknya, tidak ada pasukan Bali atau pasukan berkuda orang Bone yang telah memperlihatkan keberanian dan tidak gentar menghadapi maut di dalam pertempuran-pertempuran, disertai dengan kenakalan-kenakalan pada penyerangan, demikian penuh kepercayaan pada kekuatan sendiri, begitu gigih di dalam menghadang lawan, seperti yang diperlihatkan oleh orang Aceh yang cinta kemerdekaan, fanatik dan laksana dilahirkan untuk bergerilya. Karenanya, perang Aceh akan selalu merupakan sekolah tempat belajar untuk tentara kita, ...”).
Zentgraaf, menutup dengan kalimat: “Cemme ils tombent bien.... en is er een volk op deze aarde dat de ondergang dezer heroike figuren niet met diepe vereering zou schrijven in het ziyner historie?” (... dan adakah suatu bangsa di bumi ini yang tidak akan menulis tentang gugurnya para tokoh heroik ini dengan rasa penghargaan yang sedemikian tingginya di dalam buku sejarahnya?”).***
Dari rekaman berformat mp3 (56,9 MB) yang berdurasi 121 menit 18 detik ini, kita akan mengetahui secara detail cerita tentang asal usul suku Gayo. Mulai dari kisah Kerajaan Linge yang dipimpin oleh Raja Genali, seorang raja beragama Islam, yang berasal dari Rum (Turki). Beliau lebih dikenal dengan sebutan Tengku Kawe Tepat (oleh orang Aceh) atau Tengku Kik Betul (sebutan oleh orang Gayo). Termasuk kisah perjalanan dari masing-masing keturunannya, mulai dari Raja Linge yang Pertama hingga keturunan Raja Linge ke 17.
Dalam rekaman ini juga mengisahkan bagaimana Tengku Abdullah Kanaan (berasal dari Arab) bersama 300 muridnya (termasuk Tengku Johansyah, putra Raja Linge ke I ) menyebarkan Islam dari Wih Ben (Bahasa Gayo) atau Bayeun (Bahasa Aceh) ke Pereulak, kemudian Linge, Angkup, Tamar, Geulumpang hingga ke wilayah Kerajaan Kute Reje di Blang Krak Sibreh.
Menurut Alm. Tengku Ilyas Leube, cerita Kekeberen (Sejarah Gayo) ini diperoleh dari Kakeknya, selain itu juga hasil penyelidikan oleh Alm. Tengku M.Yunus Jamil, yaitu seorang Ahli Sejarah Gayo dan Aceh, yang pernah tinggal di Ulee Lheu.
Dari cerita yang dibagi 2 sesi ini, dikatakan bahwa Kerajaan Linge (di Buntul Linge, Tanah Gayo) lebih dulu mengenal Islam daripada kerajaan-kerajaan di Aceh. Disebutkan juga Raja-raja yang memerintah di Aceh merupakan keturunan Raja Linge. Seperti Meurah Silu adalah Sultan Malikussaleh (dalam bahasa arab), dia merupakan Orang Gayo yang menyatukan sejumlah kerajaan kecil di daerah Peureulak, yang akhirnya menjadi Sultan Pertama di Kerajaan Pasai yang berada di daerah Samudera Geudong, Aceh Utara dan Meurah Johan atau Johansyah yang kemudian menjadi Sultan Aceh Pertama yang memimpin Kesultanan Kute Reje.
Setelah mendengarkan potongan cerita ini, kita juga akan mengetahui (bagi yang belum pernah dengar/mengetahui), apa yang tertulis pada Bendera milik Kerajaan Linge. Tidak hanya itu, beberapa hal lainnya seperti kisah pertempuran antara Kerajaan Pereulak dengan Kerajaan Sriwijaya selama 20 tahun, kenapa negeri Isaq tidak boleh disebut Isak (pakai huruf K), apa arti dan makna kata Gayo (dalam beberapa versi), awal mula fungsi Guel Canang, benarkah marga Ginting Pase (sebuah marga yang minoritas dan terasing di Tanah Karo) adalah keluarga dari Kerajaan Pase yang keluar dari Lhokseumawe karena tidak mau masuk islam, Siapakah wanita terbaik Aceh yang berasal dari Tanah Gayo, hingga mengapa semua Raja-raja di Aceh harus “ber-abang” (tutur abang) kepada Raja Linge.
Kemudian, apa yang membuat kerajaan Aceh mengirimkan 801 buah armada Kapal Perangnya (termasuk Armada Cakra Donya) dan mau membantu Malaysia (malaka) bertempur melawan Portugis? Dan apa hadiah yang diberikan Sultan Johor kepada Raja Linge ke 12, setelah sukses memimpin pasukan dalam menaklukkan Portugis? Lalu benarkah Gajah Putih yang selama ini disebut-sebut sebagai jelmaan Bener Merie (Bener Meriah, saat ini menjadi salah satu nama Kabupaten di Aceh) hanya berawal dari Gambar seekor Gajah yang dilihat oleh Puteri dari sebuah Goresan Kapur Mangas, yang ditulis oleh Sengeda diatas Pelepah Pinang yang terletak pada pagar Istana? Darimana asal nama Daerah Timang Gajah (di Bener Meriah) dan Sigli serta kaitannya dengan proses pencarian Gajah Putih? Serta Bagaimana hubungan antara Gayo, Karo dan Aceh serta daerah-daerah disekitarnya pada saat itu?
Semua jawaban dan penjelasan akan anda dapatkan setelah mendengarkan rangkaian Cerita berbahasa Gayo yang disampaikan oleh Seorang Ulama, Tokoh Masyarakat, dan Tokoh Perjuangan keturunan Raja Linge yang berasal dari Tanah Gayo ini.
Untuk mendengarkan klik disini atau jika ingin download disini
Monumen Cot Plieng Ingatkan Semboyan Ulama Aceh Utara
3:10 PM | Peristiwa Cot Plieng , Tgk. Abdul Jalil
"Talet Bui, Tapeutamong Asei"
Tugu Cot Plieng, saksi sejarah melawan Jepang.
Monumen Cot Plieng, terletak di pinggir jalan negara Medan -Banda Aceh, sekitar 12 kilometer arah timur kota Lhokseumawe. Lokasi ini termasuk dalam wilayah Kec. Syamtalira Bayu, Aceh Utara.
Di sini, dulu terjadi peristiwa heroik para ulama Aceh Ut ara, menentang kerjasama dengan Jepang, sampai-sampai lahirnya semboyan. "Talet bui, tapeutamong asei." (Bahasa daerah Aceh-red). Artinya, mengusir babi, menerima anjing. Untuk menyegarkan kembali ingatan kita, Waspada menjadikan nara sumber Prof. A. Hasjimy (almarhum), sesuai buku "Semangat Merdeka" yang sejarah ini disusun beliau semasa hayatnya.
Secara umum, ketika itu ulama di Aceh terbagi dalam dua komponen. Pertama PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) yang disebut dengan ulama muda, sedang komponen kedua. Yaitu, ulama non PUSA yang disebut dengan ulama tua (Abu) yang kesemuanya pimpinan dayah/pesantren. Ulama muda melawan Jepang dengan politik, sementara ulama tua melawan Jepang, dengan oposisi keras atau perlawanan bersenjata yang cukup memusingkan Jepang untuk menghadapinya.
Reaksi ulama tua ini sangat membantu perjuangan politik ulama muda (PUSA), dalam rangka mendesak Jepang agar memberi kesempatan yang luas kepada para ulama untuk duduk seiring di dalam pemerintahan. Ini siasat (politik), atau langkah awal ke arah perebutan Indonesia ini dari tangan penjajah.
Perjuangan PUSA berhasil, dengan uluran Jepang memberi hak kepada ulama untuk membentuk Mahkamah Syariah seluruh Aceh, termasuk personil Pengadilan Negeri (PN) diisi para ulama. Juga para pemuda PUSA/Kasysyafatul Islam, diterima untuk dilatih menjadi perwira dalam organisasi ketenteraman Gyugun dan Tokubetsu.
Ulama tua di Aceh Ut ara yang terkenal namanya, Tgk.Abdul Jalil, asal Buloh Blang Ara, sangat agresif melawan Jepang. Ia (ulama kharismatik) jebolan beberapa dayah terkenal di Aceh, lalu pulang ked ayah Cot Plieng (Bayu) pimpinan Tgk. Ahmad yang akhirnya kawin dengan salah seorang putri Tgk. Ahmad (Tgk. Asiah), sekaligus pimpinan dayah ini diserahkan kepada Tgk. Abdul Jalil, dengan panggilan akrab Tgk. Chik.
Tgk. Abdul Jalil dan kawan-kawan secara diam-diam melakukan dakwah anti Jepang, dengan seruan jihad fisabilillah dari desa ke desa dalam Kabupaten Aceh Utara. Akhir tahun 1942 dakwah diam-diam itu berubah jadi terang-terangan. Dakwah ini cepat tersulut, karena sikap Jepang yang kejam, kasar dan biadab turun perintah kirei (hormat) kepada Tenno Haika dengan menghadap ke timur.
Semangat jihad yang sudah mengkristal ini diketahui oleh intelijen Jepang, lalu merekapun berupaya untuk memadamkan api lewat Hulubalang (Ampon-ampon), aparat mereka dari jenis suku Aceh, disebut Gunco (wedana) dan Sonco (camat). Jepang pun dengan akal bulusnya membujuk ulama muda dari organisasi PUSA untuk melakukan dakwah tandingan, melawan dakwah Tgk.Abdul Jalil, tapi PUSA dengan berbagai siasat menolak.
Gagalnya upaya ampon-ampon (Hulubalang) untuk membujuk Tgk. Abdul Jalil, akhirnya Jepang mengambil keputusan untuk menumpas Tgk. Abdul Jalil bersama para pengikutnya, dengan cara mengirim pasukan militer Jepang dalam jumlah besar ke Bayu, 6 November 1942 sekaligus kubu pertahanan, mengepung dayah Cot Plieng. Singkat cerita, pertempuran sengit terjadi hari itu sampai pada sore hari Tgk. Abdul Jalil bersama pengikutnya menyingkir ke pedalaman.
Dalam perjalanan mundur sambil menyusun kekuatan, ulama besar ini singgah di Meunasah Baro, berhenti di Desa Alue Badee. Jumat, 9 November 1942 (tiga hari kemudian), Tgk. Abdul Jalil turun ke Desa Meunasah Blang Buloh, 10 kilometer dari Bay u untuk melaksanakan shalat Jumat.
Di sinilah terjadi pertempuran cukup dahsyat (usai shalat Jumat), sampai terjadi satu lawan satu dengan pedang dan rencong. Demikian pula Jepang, melawan Teungku dengan senjata tajam, karena semangat para pahlawan ulama cukup membara dan meradang menerjang dengan pekikan Allahu Akbar, sehingga Jepang tidak mungkin lagi menggunakan senjata api.
Pada pertempuran ini, sekitar 109 orang mujahid Aceh syahid. Juga di pihak Jepang, tidak kurang pula dari angka tersebut karena pertempuran heroik satu lawan satu, dengan logikanya, seberapa pahlawan Aceh yang syahid demikian juga serdadu Jepang yang mati.
Tgk. Abdul Jalil ikut syahid dalam pertempuran ini, dengan rekan-rekan lainnya yang terkenal dalam catatan sejarah, antara lain Tgk. Muhammad Hanafiah, Tgk. Muhammad Abbas Punteuet, Tgk. Badai, Tgk. Bidin, Tgk. Husen Hasyem, Tgk. Muda Yusuf dan Tgk. Nyak Mirah.
Konseptor Aceh Lhèè Sagoë
3:05 PM | Konseptor Aceh Lhèè Sagoë
Dalam suatu perayaan mauled Nabi Muhammad SAW di Kerajaan Aceh. Syeikh Abdur Rauf yang sudah dikenal saat itu, diundang ke Keraton Darud Dunia. Ia datang dengan identitas sebagai nelayan, tanpa memperlihatkan pengetahuannya sebagai seorang ulama.
Langkah itu dilakukan untuk tidak terlibat dalam perselisihan antara Syeikh Hamzah Fansuri yang membawa faham Wihdatul Wujud (Wujudiah) dengan Syeikh Nuruddin Ar Raniry yang berfaham Isnainiyatul Wujud.
Karena sudah mendengar tentang kehebatan Syeikh Abdur Rauf, akhirnya sultanah Aceh, Ratu Safiatuddin memintanya untuk menyampaikan ceramah maulid. Ia pun menyampaikannya dengan fasih. Ceramahnya mendapat perhatian yang luar biasa.
Ratu Safiatuddin tidak percaya kalau Syeikh Abdur Rauf hanya seorang nelayan biasa. Setelah ditanyai berbagai hal, akhirnya Syeikh Abdur Rauf pun memperkenalkan dirinya yang asli sebagai ulama, sekalian pamit untuk kembali ke kampung halamannya di Aceh Singkil.
Tak lama di Singkil, Syeikh Abdur Rauf melanjutkan perjalanannya ke Barus dan wilayah pantai barat Sumatera. Setelah itu ia kembali ke Bandar Kerjaan Aceh. Dalam perjalanan kembali ia juga sempat menjelajah pantai timur Kerjaan Aceh.
Pengebaraannya mengelilingi Kerjaan Aceh dan pantai barat Sumatera itu menyita waktu sampai tiga tahun. Dalam perjalanannya itu, Syeikh Abdur Rauf berdakwah dari satu daerah ke daerah lainnya.
Pada masa mengembara, baik ketika 20 tahun di Jazirah Arab maupun di Aceh, Syeikh Abdur Rauf selain berdakwah juga menulis berbagai kitab. Ratu Safiatuddin beberapa kali mengirim utusan untuk menjemputnya.
Ratu Safiatuddin bermaksud mengangkat Syeikh Abdur Rauf sebagai Qadhi Malikul Adil, Mufti Besar Kerajaan. Jabatan tersebut saat itu telah kosong, setelah ditinggalkan Syeikh Nurruddin Ar Raniry yang kembali ke negerinya di Gujarat, India pada tahun 1658 Masehi atau 1068 Hijriah. Baru pada bulan Rabiul Awal tahun 1075 Hijriah atau 1665 Masehi, Syeikh Abdur Rauf resmi diangkat menjadi Qadhi Malikul Adil, Mufti Besar Kerajaan Aceh.
Jabatan itu dipegangnya selama empat periode pergantian raja di Kerajaan Aceh, yakni : Sultanah Sri Ratu Safiatuddin Johan Berdaulat (1050 – 1086 H/1641 – 1675 M), Sultanah Sri Ratu Nurul Alam Naqiatuddin (1086 – 1088 H/1675 – 1678 M), Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah (1088 – 1098 H/1678 – 1688 M), serta Sultanah Sri Ratu Keumalatuddin Syah (1098 - 1109 H/1688 – 1699 M).
Sebagai Mufti, berbagai terobosan dan perombakan sistim pemerintahan dilakukan Syeikh Abdur Rauf. Berbagai usaha yang hendak menumbankan dinasti ratu dengan pengaruh Syeikh Abdur Rauf dapat dipatahkan.
Usaha kelompok yang ingin merebut pimpinan kerajaan mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Ratu Zaqiatuddin. Saat itu golongan yang ingin merebut tampuk pimpinan Kerajaan Aceh memperalat kaum penganut Wujudiah.
Pertentangan tersebut kemudian membuat Mesjid Baiturrahim dan Keraton Darud Dunia terbakar. Namun, sebagai Mufti yang arif, Syeikh Abdur Rauf mampu meredam gejolak tersebut. Untuk mencegah terulangnya kembali kerusuhan sesama ummat, Syeikh Abdur Rauf pun melakukan perombakan sistim pemerintahan kerajaan.
Perombakan dilakukan dengan mengajukan sebuah konsepsi tata negara Kerajaan Aceh. Setelah dibahas di Majelis Mahkamah Rakyat, konsepsi Syeikh Abdur Rauf pun diterima tanpa pertentangan. Konsepsi tersebut mengatur berbagai hal, satunya tentang pembagian kekuasaan Wilayah Aceh Besar menjadi tiga sagi, yang dikenal dengan Aceh Lhèè Sagoë.
Dalam konsepsi itu, Syeikh Abdur Rauf mengatur, ketiga pemimpin Sagi (Sagoë) bersama Qadhi Malikul Adil berhak mengangkat dan menurunkan sultan dari jabatannya. Sementara daerah di luar Aceh Lhèè Sagoë diberi hak otonomi yang luas, dimana kepala daerahnya bertindak sebagai sultan kecil yang tunduk kepada Sultan Aceh.
Sepanjang hidupnya, Syeikh Abdur Rauf dikenal sebagai negarawan, ulama, politikus dan pengarang berbagai kitab. Mufti kerjaan Aceh itu wafat pada 23 Syawal 1106 Hijriah atau tahun 1695 Masehi. [iskandar norman]
Ar Raniry Dalam Literatur
2:59 PM | Ar Raniry
Syeikh Nurruddin Ar-Raniry ber¬nama lengkap Nurruddin Muhammad Bin Ali Bin Hasan Muhammad Hamid Ar-Raniry al-Quraisyi Asy-Syafii. Ia me¬rupakan se¬orang sarjana India ber-kebangsaan Arab, lahir di daerah Ranir (sekarang Rander) sua¬tu Bandar dekat Surat di Gujarat, India.
Ranir sa¬¬at itu meru¬pakan sebuah kota pela¬buhan yang ramai dikunjungi dan didiami oleh ber¬bagai bang¬sa seperti Turki, Mesir, Arab, Persia dan juga dari negara-negara Asia Tenggara.
Tentang sejarah tokoh sufi ini, telah ditulis oleh beberapa sejarawan Belanda, seperti P. Voorhoeve dalam bukunya Van en Over Nurruddin Ar-Raniry dan Twee Maleische Geschriften Van Nurruddin Ar-Raniry, terbitan Leiden University. Belanda.
Kemudian ada lagi G.W.J. Drewes, juga berkebangsan Belanda, dalam buku De Herkomst Van Nurruddin Ar-Raniry. Jejak kedua sejarawan ini ke¬mudian diikuti oleh rekan sebangsanya C.A.O Van Nieuwenhuijze, yang menulis buku Nur al-Din Ar-Raniry, als Bestrijder de Wugudiyah, yang mengupas tentang per¬tentangan Ar-Raniry dengan Hamzah Fan¬suri yang menyebarkah faham Wujudiah.
Masa kecil Syeikh Nurruddin Ar-Raniry di¬ha¬bis¬kan untuk mempelajari Islam di daerah¬nya. Dalam ilmu sufi dan tarekat, ia ber¬guru pada As-Sayyid Umar Ibnu Abdullah Ba Saiban. Setelah dewasa, ia melanjutkan stu¬di¬nya ke Tarim, Arab Selatan.
Tahun 1030 H (1621 M) hijrah ke Mekkah dan Madinah un¬tuk menu¬naikan ibadah haji. Di Arab, ia terus mem¬per¬dalam ilmunya, karena saat itu banyak orang Melayu di tanah suci, maka kesem¬patan itu juga digunakannya untuk mem¬pelajari bahasa Melayu. Setelah me¬mantapkan ilmunya di Arab, ia kembali lagi ke Ranir.
Tapi saat itu, suasana Ranir sudah lain, karena terjadi persaingan dalam perda¬gangan dengan orang Islam, Portugis me¬lakukan agresi ke kota pelabuhan itu pada tahun 1530. Ketika Ranir jatuh ke tangan Portugis, maka kota perdagangan Islam dipindahkan ke daerah Surat, sebagai kota pelabuhan baru di Gujarat.
Akibat dari agresi Portugis itu banyak dari pedagang-pedagang Islam yang meninggalkan Ranir dan mencari pusat perdagangan lain. Selain Surat dan daerah sekitar India, kerajaan Aceh yang sudah maju di bidang per¬dagangan ekspor-impor, juga merupakan tujuan yang banyak dipilih oleh mereka.
Selain pedagang, tokoh agama pun banyak yang hijrah ke Aceh. Salah satunya yang berhasil merebut hati raja kerajaan Aceh saat itu adalah Sultan Iskandar Thani yang tak lain adalah Syeikh Nurruddin Ar-Raniry. Ia datang ke Aceh pada tahun 1637.
Tapi sebelumnya, pada masa pe¬merintahan Sultan Iskandar Muda, Syeikh Nurruddin Ar-Raniry telah datang ke Aceh. Namun, karena adanya pertentangan faham dengan Syeikh Shamsuddin Pasai, guru dan penasehat Sultan Iskandar Muda, ia tidak menetap di Aceh, tapi di daerah se¬menanjung Melayu.
Di sana ia mempelajari kitab-kitab sastra Melayu yang berisikan sejarah dan pegangan raja-raja serta pembesar kerajaan dalam memimpin menurut Islam. Seperti: Hikayat Iskandar Zulkarnain, kitab Tajussalatin dan sejarah Melayu, serta beberapa kitab lainnya yang sudah ditulis masa itu.
Kitab-kitab tersebut kemudian di¬perbaharuinya. Selama di Semenanjung Melayu dia menulis dua buah kitab, kitab Durrat al-Fara’id dan Hidayat al-Habib. Kedua kitab inilah yang dibawanya ke Aceh masa pemerintahan Sultan Iskandar Thani, karena Sultan Iskandar Muda dan juga Syeikh Shamsuddin Pasai, guru dan pena¬sehatnya sudah mangkat. Sheikh Nurruddin Ar-Raniry diterima dengan baik oleh Sultan Iskandar Thani.
Tapi tak mudah baginya untuk membawa faham Syafii ke Aceh kala itu, karena di Aceh telah berkembang faham Wujudiah yang disebarkan oleh Hamzah Fansuri. Syeikh Nurruddin Ar-Raniry menentang keras faham Wujudiah kala itu. menurutnya ajaran Hamzah Fansuri tersebut merupakan aliran sesat yang bertentangan dengan ajaran Islam. [iskandar norman]
Syeikh Abdur Rauf; The Great Muslim Saint of Atjeh
2:53 PM | Syeikh Abdur Rauf , Teungku Syiah Kuala
Ungkapan ini dikenal luas dalam masyarakat Aceh. Salah satu isinya menyiratkan tentang hukum yang berhulu pada Syiah Kuala, yakni Syeik Abdurrauf.
Aburrauf merupakan salah seorang ualama pemikir dan penulis ternama di Aceh. Ia menduduki jabatan sebagai Mufti, yakni penasehat agung beberapa raja secara pada masa kerjaan Aceh. 2 September 1961 lalu, namanya ditabalkan sebagai nama universitas negeri pertama di Aceh; Universitas Syiah Kuala.
Archer, salah seorang sejarawan barat dalam bukunya “Muhammadan Mysticim in Sumatra” menyebut Syeikh Abdurrauf sebagai The Great Muslim Saint of Atjeh, Now Better Known by the Name of Teuku Syiah Kuala.
Syeikh Abdur Rauf atau lebih dikenal sebagai Teungku Syiah Kuala, lahir di Aceh Singkil pada tahun 1592 Masehi atau 1001 Hijriah. Ia pertama kali mendapat pendidikan agama dari ayahnya, Syeikh Ali Fansuri pendiri Dayah Suro Lipat Kajang di Simpang Kanan, Aceh Singkil.
Setelah mendapat bekal agama yang cukup dari ayahnya, ia hijrah ke Pasai dan belajar di Dayah Blang Pira. Dari Pasai ia kemudian melanjutkan perjalanan ke Arab untuk lebih memantapkan pengetahuannya.
Selama 20 tahun di Jazirah Arab, ia berpindah-pindah dari satu negeri ke negeri lain, mulai dari Mekkah, Masinah, Yaman, Baitul Makdis, sampai ke Istambul (Turki). Ia belajar dari satu ulama ke ulama lain. Karena itu pula, ia saat kembali ke Aceh ia berhak memakai gelar Syeikh.
Setelah memantapkan pengetahuannya di Arab, ia kembali ke Aceh, dan sampai di Bandar Kerjaan Aceh pada tahun 1661 Masehi atau 1071 Hujriah. Saat itu suasana keagaam di Aceh telah kacau akibat pertentangan dua ulama besar, Syeikh Hamzah Fansuri yang membawa faham Wihdatul Wujud (Wujudiah) dengan Syeikh Nuruddin Ar Raniry yang berfaham Isnainiyatul Wujud.
Tak mau terlibat dalam pertentangan itu, saat tiba di Pelabuhan Aceh, Syeikh Abdur Rauf menyamar sebagai nelayan. Saat tiba di Aceh tak ada yang mengenalnya. Masyarakat di sekitar Pelabuhan dan pesisir kerjaan Aceh hanya mengenal Syeikh Abdur Rauf sebagai pawang pukat.
Namun, itu tidak berlangsung lama. Lambat laut masyarakat mengenal Syeikh Abdur Rauf yang asli sebagai ulama, ahli dakwah, tabib yang mahir, pendamai yang bijaksana, dan ahli tata negara. [iskandar norman]
In Memoriam: Abu Tanoh Abee sang Pewaris Naskah Aceh
2:47 PM | Abu Tanoh Abee , Naskah Aceh
Almarhum Abu Tanoh Abee sempat mengomentari buku "Khazanah Naskah" karangan Henri-Chambert Loir & Oman Fathurahman yang juga mencakup pencatatan atas naskah-naskah koleksi Dayah Tanoh Abee (January 2005)Tgk. Abu Dahlan al-Fairussy al-Baghdady (1943-2006):
Pewaris Koleksi Naskah Terbesar di Asia Tenggara
The world probably doesn't know him...
The fact, the world is deeply indebted to him....
Setelah sejak beberapa tahun belakangan berjuang keras melawan penyakit jantung yang dideritanya, akhirnya pada Sabtu, 18 Nopember 2006, pukul 13.45 WIB laki-laki berusia 63 tahun itu menghembuskan nafasnya yang terakhir. Ia adalah Tgk H Muhammad Dahlan Al-Fairusi Al-Bagdadi, pimpinan Dayah Tgk Chiek Tanoh Abee, Seulimuen, Aceh Besar.
Abu Tanoh Abee, demikian ia biasa disapa, memang bukan seorang tokoh nasional apalagi internasional terkemuka, meski ia tetap dianggap sebagai ulama besar di Tanah Rencong. Tapi bagi dunia pernaskahan khususnya, ia telah meninggalkan jasa yang luar biasa besar. Selama puluhan tahun ia menjadi semacam "kuncen" yang menjaga dan merawat tidak kurang dari 3.500 teks-teks kuno keagamaan dalam bentuk manuskrip. Jumlah naskah koleksi Dayah Tanoh Abee ini diduga sebagai yang terbesar di Asia Tenggara untuk kategori koleksi lembaga tradisional semacam Dayah ini.
Berkat jasa dan ketekunannya dalam mengumpulkan naskah-naskah tersebut, terutama yang diperoleh dari sanak familinya, kini dunia keilmuan masih bisa menyandarkan informasinya pada sumber-sumber lokal yang "genuine", khususnya yang berkaitan dengan sejarah perkembangan sosial intelektual keagamaan di Aceh sejak abad ke 16. Hingga kini, naskah-naskah tersebut tersimpan di Dayah Tanoh Abee yang diasuhnya, meski dengan standar perawatan yang belum maksimal.
Keberadaan naskah-naskah Tanoh Abee ini menjadi semakin terasa penting terutama setelah hancur dan musnahnya beberapa lembaga penyimpan dokumen bersejarah, seperti Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA) dan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, akibat gempa dan tsunami pada 26 Desember 2004 lalu.
Tentang Tgk H Muhammad Dahlan Al-Fairusi Al-Bagdadi
Tgk H Muhammad Dahlan Al-Fairusi Al-Bagdadi merupakan ulama generasi kesembilan dari keturunan langsung Shaikh Fairus, yang mendirikan Dayah Tanoh Abee pada tahun 1627 M. Shaikh Fairus sendiri adalah seorang ulama Sunni yang memiliki asal-usul dari Baghdad, dan menjadi pengembang Islam di Aceh melalui tarekat Shattariyyah yang diajarkannya.
Dalam konteks perkembangan tarekat Shattariyyah di Aceh secara keseluruhan, alur silsilah yang dikembangkan oleh keturunan Shaikh Fairus ini tergolong "unik" karena tidak melalui Shaikh Abdurrauf Ali al-Jawi, yang dianggap sebagai khalifah utama tarekat Shattariyyah di Aceh khususnya, dan di dunia Melayu-Indonesia pada umumnya.
Dalam naskah Shattariyyah karangan Teungku Muhammad Ali, yang merupakan orang tua dari Abu Dahlan misalnya, disebutkan bahwa Abu Dahlan mengambil baiat tarekat Shattariyyah dari Shaikh Abdul Wahhab, dan kemudian secara berurutan mengambil baiat dari Shaikh Muhammad As‘ad Tahir, dari Shaikh Muhammad Said Tahir, dari Shaikh Mansur Badiri, dari Shaikh Mula Ibrahim al-Kurani, dari Shaikh Ahmad al-Qushashi, dan seterusnya sampai kepada Nabi Muhammad Saw (Fakhriati 2006). Umumnya, sebelum sampai kepada Shaikh Mula Ibrahim al-Kurani dan Shaikh Ahmad al-Qushashi, nama Abdurrauf Ali al-Jawi selalu disebut dalam hampir semua silsilah tarekat Shattariyyah yang dijumpai di dunia Melayu-Indonesia (Fathurahman 1999).
Kini, Abu Tanoh Abee telah tiada, saya masih terngiang ungkapan yang diucapkannya pada Agustus 2005 lalu, bahwa ia sesungguhnya tidak yakin siapa yang akan menggantikannya jika suatu saat ia tutup usia. Ia hanya berpesan bahwa khazanah naskah yang telah lama dipeliharanya seyogyanya dijaga bersama.
Dulu ia memang cenderung protektiv terhadap naskah-naskah tersebut, sehingga tidak sembarang orang bisa mendapatkan informasi berkaitan naskah-naskah yang menjadi koleksi Dayahnya. Ini semata karena amanat dari kebanyakan sanak famili yang menghibahkan naskah-naskah tersebut, yang tidak menginginkan terlalu banyak pihak "mengganggu" pusakanya, selain juga karena pengalaman pahit adanya "tangan-tangan jahil" yang tidak bertanggung jawab ketika diberi kesempatan mengakses naskah-naskah tersebut.
Namun kini, khususnya setelah ia melihat kenyataan musnahnnya sebagian khazanah budaya Aceh di tempat lain akibat gempa dan tsunami, dan menyadari betapa rentannya kertas yang digunakan sebagai alas naskah itu, ia pun sadar bahwa berbagai upaya pemeliharaan naskah-naskah warisan leluhur tersebut harus dilakukan bersama-sama.
Abu Dahlan pun belakangan tidak segan-segan memperlihatkan koleksi naskahnya kepada mereka yang berkunjung ke Dayahnya, bahkan koleksi naskah yang tersimpan di kamar pribadinya sekalipun.
Beruntung saya pernah menjadi saksi, betapa judul-judul naskah yang disimpan Abu Dahlan merupakan kitab-kitab keagamaan yang sangat penting, khususnya dalam konteks tradisi dan wacana intelektual Islam di Aceh sejak abad ke 16.
Atas perubahan sikap yang diperlihatkan oleh Abu Dahlan ini pula, berbagai pihak pun mulai bersedia bekerja sama untuk melakukann pemeliharaan atas naskah-naskah tersebut.
Bahkan, saat ini, di atas tanah milik Abu Dahlan sendiri sedang dibangun perpustakaan manuskrip atas dukungan dana dari Cultural Emergency Response (CER) Prince Claus Fund, Belanda. Pembangunan itu sendiri merupakan salah satu upaya yang diprakarsai oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Jakarta, bekerja sama dengan Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa), dan Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat (PKPM) Aceh (lihat tulisan lain: "The Cultural Emergency Relief Action: The Rebuilding Manuscript Library in Dayah Tanoh Abee, Aceh Besar" di bawah Label: Unpublished Conference Articles).
Akhirnya, selamat jalan Abu, semoga segala jerih payahmu menjadi amal baik di alam baka, dan dedikasimu dapat diwarisi oleh generasi berikut.
Peradaban Aceh Bak Oase Gurun Sahara
2:38 PM | Peradaban Aceh Bak Oase Gurun Sahara
Beer, Kisah Tawanan Jawa di Aceh
2:35 PM | Beer , Kisah Tawanan Jawa di Aceh
Si Babi Lanang, Dwangkess dan Ketting Beer
2:30 PM | Dwangkess , Ketting Beer , Si Babi Lanang
Cut Ali Mualim Para Panglima
2:23 PM | Cut Ali Mualim
Teungku Chik Awe Geutah
2:16 PM | Teungku Chik Awe Geutah
Aceh banyak menyimpan tokoh-tokoh besar sejarah. Sekalipun kita cuma pandai mengulang-ulang nama Iskandar Muda dan beberapa tokoh sejarah lainnya—dengan kisah mereka yang terpenggal-penggal dan belum tentu benar, malah seringnya justeru merusak citra tokoh tersebut—tapi pernyataan tadi setidaknya tetap menjadi suatu kenyataan logis. Paling tidak, sebuah kesatuan politik Islami telah tumbuh di kawasan utara Sumatera ini sejak paruh kedua abad ke-8 Hijriah atau ke-13 Masehi, sebagaimana diakui oleh para sejarawan. Bersama munculnya kesatuan politik Islami, sebgai kekuatan baru yang tidak dapat diremehkan di kepulauan nusantara kala itu, tumbuh berkembang pula sebuah peradaban istimewa yang sempat beberapa kali mencapai tingkat puncak kegemilangannya. Dan sebuah peradaban terbentuk tentu hasil keterlibatan ramai tokoh-tokoh yang genius dan cemerlang dalam berbagai lapangan kehidupan.
Rumah Teungku Awe Geutah
Tidak kurang dari 900 tahun silam Aceh telah menjalani kehidupan amat dinamis. Gerak peristiwa dalam skala besar tak pernah reda, sangat lincah, terkadang gemulai indah, terkadang ganas bergemuruh. Dinamika Aceh dalam sejarahnya tak ubah seperti tari-tariannya; seudati, rapa’i, saman. Semua itu diperankan oleh tokoh-tokoh berjiwa besar dengan kecemerlangan yang lebih besar.
Pertanyaannya, sekarang, di manakah mereka dalam ingatan generasi Aceh hari ini?! Atau mungkin kita justeru harus mempertanyakan dari awal: apa perlunya mereka dalam ingatan?! Sayang, jika pola hidup realistis pragmatis (baca: pola mengikuti tuntutan kenyataan hidup yang terbatas pada hal-hal yang memberi keuntungan praktis saja) yang menguasai masyarakat Aceh, hari ini, tanpa disadari semakin mengukuhkan proses pelenyapan sejarah yang sebenarnya banyak mengandung mutiara hikmah dan pelajaran. Lebih sakit lagi, jika pelenyapan sejarah itu justeru dilakukan oleh para pewaris negeri ini sendiri, disadari maupun tidak.
Ketika sejarah dianggap seonggok zaman lalu yang tidak begitu berarti dewasa ini, ketika itu pula kita menjadi bangsa tanpa sejarah, tanpa akar yang kokoh di kedalaman waktu sehingga tak ubahnya kumpulan-kumpulan manusia yang baru saja keluar dari gua-gua persembunyian sejak ribuan tahun silam.
Kita seolah tidak mewarisi apa pun dari generasi-generasi terdahulu; tidak ruhani, pikiran, perasaan, budaya, bahasa, dan tidak pula negeri ini. Lantas bagaimana kita bisa tahu bahwa kita ada sebagai sebuah bangsa. Kalau ini dituangkan dalam acuan Doute Methodique-nya Descartes: dapatkah kita tahu bahwa kita ada sebagai sebuah bangsa bila tanpa ruhani, pikiran, perasaan dan lainnya yang kita wariskan dari generasi-generasi terdahulu, tentu jawabnya, tidak. Sebab, jika manusia diketahui ada karena ia berpikir (Cogito ergo sum), maka hemat saya, sebuah bangsa diyakini ada adalah karena ia memiliki sejarah; menyadari serta menghayatinya.
Tanpa sejarah, sebuah bangsa hanya tinggal nama, dan sejatinya ia tak lebih dari sebuah perhumaan baru di mana siapa saja boleh memiliki, merebut atau malah merampasnya dengan keji.Tipisnya kesadaran terhadap masa lalu dengan pelbagai pelajarannya, baik dalam bentuk anasir-anasir kekuatan maupun kelemahan yang ditampilkannya, terutama di kalangan generasi muda hari ini, menimbulkan suatu kegelisahan terhadap masa depan bangsa di hari mendatang—di samping negeri ini memang masih sangat menggelisahkan bagi orang kecil seperti saya.
Kegelisahan itulah salah satu sebab yang mendorong saya untuk berkunjung ke situs sejarah di Awe Geutah, kira-kira 8 km dari kota Matang Geulumpang Dua, Kabupaten Bireuen, ke arah tenggara, yaitu situs rumah adat Aceh, Bale Khalut dan makam Teungku Chik di Awe Geutah.Dari empat kali kunjungan ke Awe Geutah yang disambut baik oleh keluarga keturunan Teungku Chik Awe Geutah seperti layaknya penyambutan setiap tetamu yang datang berkunjung dari berbagai daerah dan negara, dua kali di antaranya paling berarti bagi saya. Dalam dua kali kunjungan itu saya benar-benar menemukan “harta karun” tak ternilai peninggalan Teungku Chik Awe Geutah yang masih terus dirawat dan dijaga oleh anak cucu keturunannya, sekalipun perhatian pemerintah atau pihak lainnya untuk hal ini dapat dikatakan relatif minim.
Harta karun itu berupa lembaran-lembaran lusuh dari naskah-naskah salinan tangan (manuskrip), yang diyakini adalah salinan Teungku Chik Awe Geutah sendiri dan putranya Muhammad Zain.Dari keluarga turunan Teungku Chik Awe Geutah diperoleh keterangan bahwa nama asli Teungku Chik (adaptasi dari kata Tuan-ku Syaikh) adalah ‘Abd Ar-Rahim (Abdurrahim).
Keterangan yang sama juga diperoleh dari beberapa catatan pada lembaran-lembaran tua tersebut, tertulis dalam aksara dan bahasa Arab, Abd Ar-Rahim (Abdurrahim) Al-Asyi. Cuma saja, mungkin karena pemeriksaan yang sepintas lalu dan tergesa-gesa, saya tidak berhasil menemukan catatan yang menyebutkan asal turunan dari Teungku Chik ‘Abd Ar-Rahim Al-Asyi. Keluarga keturunannya yang ditemui dalam kunjungan saya itu juga tidak dapat memberikan informasi mengenai hal ini.
Boleh jadi nama ayahnya adalah Asy-Syaikh ‘Abd As-Salam, tapi ini juga belum begitu kuat. Namun yang jelas, setelah memperhatikan catatan-catatan yang tidak menyebutkan di ujung namanya selain Al-Asyi, saya menduga bahwa ia bukan keturunan bangsa Arab maupun lainnya, tapi adalah keturunan Aceh asli dan dilahirkan di Kuta Raja atau al-Asyi al-Mahrusah (sebutan terakhir tercantum dalam “Siraj al-Zhulam fi Ma’rifah al-Sa’d wa al-Nahs fi al-Ayyam” dalam kumpulan “Taj al-Mulk” yang menandakan Bandar Aceh dahulunya dikitari semacam benteng penjagaan dan memiliki gerbang-gerbang atau bab tertentu).
Saya memperkirakan, di Bandar Aceh-lah, Teungku Chik dibesarkan dan mengecap pendidikan awal ilmu-ilmu bahasa Arab dan Islam sebelum kemudian ia meneruskan studinya ke Jazirah Arab, terutama dua kota Al Haram (Al-Haramain), Makkah dan Madinah, kemungkinan besar juga ke Yaman, atau tepatnya di Zabid.Mengenai perantauannya ke Jazirah Arab, ini dapat diketahui dari catatan-catatan sanad Al-Azkar dan Riyadh al-Shalihin karya Imam An-Nawawi, sanad hadits pengalihan kiblat (hadits musalsal), serta silsilah ratib Haddad yang terdapat di antara lembaran-lembaran manuskrip tersebut.
Dalam catatan itu disebutkan bahwa Al-Azkar dan Riyadh al-Shalihin, begitu pula sanad hadits tadi, ia terima dari gurunya, ‘Ali ibn Az-Zain Al-Mizjaji (Mizjaj: kabilah di Zabid). Terakhir adalah seorang ulama terkenal di Zabid. Sumber-sumber yang dikutip Azyumardi Azra dalam “Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII” menyebutkan bahwa ‘Ali Al-Mizjaji ini adalah salah seorang guru termuka dari Murthadha Az-Zabidi (wafat 1205 H), pengarang Taj Al-’Urus min Jawahir Al-Qamus dan Ithaf As-Sadah Al-Muttaqin. (Ayzumardi Azra, 2005).
Tapi dalam hal ini perlu juga diberi catatan, sebab sekalipun saya tidak syak lagi tentang perantauan Teungku Chik ke Jazirah Arab baik untuk menuntut ilmu maupun menunaikan ibadah haji, namun saya menaruh curiga, Teungku Chik berguru kepada ‘Ali Al-Mizjaji bukan di Zabid, tapi justeru di Aceh. Alasan kecurigaan ini adalah karena sumber-sumber Azyumardi Azra yang kebanyakannya dari para sejarawan Timur Tengah, tidak menyebutkan tempat dan tahun wafat ‘Ali Al-Mizjaji. Ini boleh jadi lantaran mereka kehilangan jejak ‘Ali Al-Mizjaji setelah yang terakhir ini berhijrah dan membuka halqah pengajarannya di Aceh. Namun demikian, untuk membuktikan benar atau kelirukah kecurigaan ini perlu kepada penyelidikan lebih lanjut.Hal lain yang belum diketemukan keterangan pasti baik lisan maupun tulisan adalah menyangkut tahun lahir dan wafat Teungku Chik.
Hanya saja, dari keterangan di atas dapat diketahui bahwa Teungku Chik hidup sezaman dengan Murthadha Az-Zabidiy (1145 H-1205 H) lantaran sama-sama berguru kepada ‘Ali Al-Mizjaji, boleh jadi Az-Zabidiy dalam masa waktu yang lebih awal, tapi jelasnya berhampiran. Dan keduanya, Az-Zabidiy dan Teungku Chik Al-Asyi sama-sama menyimpan kekaguman serta kedekatan emosional dengan guru mereka bersama, ‘Ali bin Az-Zain Al-Mizjaji. Jika Az-Zabidiy kemudian telah memantapkan kedudukannya sebagai ulama terkemuka dunia Islam penghujung paro kedua abad ke-12 Hijriah di Mesir, tempat di mana ia wafat, maka Teungku Chik Al-Asyi adalah ulama sepantarannya di Aceh dan kepulauan nusantara dalam kurun waktu yang sama. Hal ini didukung bukti yang akan kita ungkapkan kemudian.
Dari catatan ijazah (pemberian sanad periwayatan) Al-Azkar dan Riyadh ash-Shalihin oleh gurunya, ‘Ali Al-Mizjaji, dapat diketahui pula bahwa Teungku Chik adalah salah seorang murid terdekat dan tersayang tuan gurunya. Selain ijazah dari gurunya itu diperuntukkan khusus untuknya, bukan ijazah untuk umum, yang dalam hal ini tentu punya nilai lebih, ungkapan dalam ijazah berteks Arab tersebut juga mengesankan kasih sayang sang guru: “[Tahmid dan shalawat]. Wa ba’d, maka inilah sanad Al-Azkar dan Riyadh Ash-Shalihin bagi Al-Imam Syaraf Ad-Din An-Nawawi Rahimahullah.
Faqir kepada Allah, ‘Ali ibn Az-Zain Al-Mizjaji, semoga Allah memanjangkan umurnya, berkata: sesungguhnya aku telah me-ijazah-kan ananda yang shalih, ‘Abd Ar-Rahim Al-Asyi sebagaimana telah di-ijazah-kan kepadaku keduanya (Al-Azkar dan Riyadh Ash-Shalihin) Ayahanda, wali yang sempurna lagi menyempurnakan, dan Al-’Arif bi-lLah, Az-Zain bin Muhammad Al-Mizjaji…”Perasaan serupa serta penghormatan yang dalam juga ditunjukkan Teungku Chik kepada gurunya seperti terlihat jelas dalam catatan ijazah sanad hadits pengalihan arah kiblat. “[Tahmid dan Shalawat]. Wa ba’d, maka sungguh telah di-ijazah-kan kepadaku oleh guruku (syaikhiy) lagi panutanku (quduwwatiy), seorang yang utama dan sempurna, ‘Ali ibn Az-Zain Al-Mizjaji [hadits yang diterimanya] dari Asy-Syaikh Mulla Ibrahim Al-Kurdiy Al-Kuraniy…”Kesungguhan dan ketulusannya dalam menuntut ilmu begitu pula adab dan penghormatannya kepada ahl al-’ilmi (ulama), yang juga berarti pengakuan terhadap penting dan mulianya ilmu pengetahuan, semua itu telah mengantarkan Teungku Chik pada kedudukan terpandang dalam dunia ilmu pengetahuan. Ia diakui layak menyandang predikat al-’Allamah (orang yang sangat alim) oleh sesama ulama yang hidup di zamannya.
Tapi, sekalipun demikian ia adalah seorang yang sangat rendah hati dan berakhlak tinggi sebagaimana layaknya seorang ulama. Semua ini tampak jelas dari sebuah salinan tangan dari Asy-Syaikh ‘Abdullah ibn ‘Abd Al-Hadi Asy-Syazili Al-Yamani, seorang ulama asal Yaman dan ber-thariqat Asy-Syaziliyyah. Dalam salinan berteks Arab itu diungkapkan: “[Tahmid dan shalawat]. Wa ba’d, maka telah meminta kepadaku Saudaraku yang shalih lagi sangat alim (Al-’Allamah) al-Hajj (Haji) ‘Abd Ar-Rahim Al-Asyi agar ku-ijazah-kan kepadanya ratib Al-Habib Haddad…” Di sini, pengakuan teman sejawat akan kealiman Teungku Chik dengan menyebutnya Al-’Allamah (sangat alim) ternyata tidak menghalangi Teungku Chik untuk mengakui kelebihan yang dimiliki oleh rekan sezamannya.
Permohonan Teungku Chik kepada Asy-Syaikh ‘Abdullah Al-Yamani untuk di-ijazah-kan ratib Haddad kepadanya merupakan sikap tawadhu’ atau rendah hati seorang ulama sejati. Dan inilah adab para ulama dengan sesama mereka.Setelah perjalanan menuntut ilmu yang panjang, akhirnya Teungku Chik pun mengabdikan ilmunya di Awe Geutah, Peusangan. Madrasah serta zawiyah yang dibangunnya terkenal sebagai pusat pengajaran Al-Qur’an, hadits, fiqh dan tasauf. Dari beberapa manuskrip yang masih tersimpan di pustaka Teungku Chik, yang barangkali juga merupakan sisa-sisa dari jumlah yang sesungguhnya, tampak keluasan dan keragaman ilmu pengetahuan yang dikembangkan.
Di antara manuskrip terpenting ialah “Fath Al-Qadir bi Ikhtishar Muta’alliqat Nusuk Al-Ajir” karangan Al-’Alim Al-’Allamah Muhammad ibn Sulayman Al-Kurdiy (wafat 1194 H).Selain itu, Teungku Chik juga meninggalkan keturunan yang mengikuti garis kealimannya. Sebuah catatan berteks Arab di lapik salah satu manuskrip mengungkapkan: “Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepada kami seorang anak laki-laki, shalawat beserta salam kepada Sayyidina Muhammad, keluarga dan para shahabat beliau, para pemilik nikmat (uli al-ayad). Maka tatkala tahun hijrah Nabi saw. 1724, dan hari keempat permulaan bulan Sya’ban, telah lahir seorang bayi laki-laki, Dawud ibn ‘Abd Al-Muhsin ibn Muhammad Zain ibn ‘Abd Ar-Rahim Awi Geutah, semoga Allah meridhai mereka dan menempatkan mereka dalam syurga atas apa yang telah mereka perbuat.”Menurut sumber keluarga keturunan Teungku Chik, nama-nama yang tersebut dalam catatan di atas adalah para alim ulama yang mengikuti jejak Teungku Chik dalam mengembangkan ilmu-ilmu pengetahuan syari’at.
Sumber tersebut juga menyatakan bahwa Muhammad Zain, putera Teungku Chik, adalah seorang sarjana Islam yang pernah lama menuntut ilmu pengetahuan di Jazirah Arab. Dan tampaknya kepada Muhammad Zain inilah ditujukan sebuah surat, yang sepertinya didiktekan oleh Teungku Chik kepada seseorang dan terlihat belum selesai secara utuh. Dalam surat tersebut, Teungku Chik mensinyalir kerinduannya kepada ananda yang jauh di negeri Arab sebab sudah lama tak menerima kabar darinya.“Perasaan seorang ayah menanti-nanti berlalunya hari dan waktu sampai dengan ia kembali ke negeri walaupun hanya untuk sesaat,” ungkap Teungku Chik dalam surat tersebut.
Ada getar-getar keharuan saat saya merenungi isi surat pendek yang belum benar siap itu. Sepertinya, Teungku Chik tidak ingin dikultuskan menjadi sosok di atas manusia. Ia juga dapat merasa pedih dan bahagia, rindu dan senang seperti manusia lain. Dan bukankah dalam kemanusiawiannya manusia, sebuah perjuangan hidup menjadi begitu berarti?!Saya menemukan wajah hakiki Serambi Mekkah dalam watak perjalanan hidup Teungku Chik di Awe Geutah. Rupanya, seperti hidupnya-lah julukan “Serambi Mekkah” itu harus dimaknakan. Inilah identitas. Dan saya yakin kita tahu, dan orang lain pun tahu, bahwa itu adalah identitas kita. Tapi bersediakah generasi Aceh hari ini dan masa depan untuk mempertahankannya di tengah-tengah badai globalisasi, yang juga terkadang berpasangan dengan “sentralisasi” budaya dengan dominasi budaya satu-satu etnis, yang sedang menerpa kuat? Doa dan kerja keras untuk itu, adalah “utang” yang mesti kita bayar kepada generasi dahulu yang telah berbuat banyak untuk tanah ini. [HA]
PRANG DEUNGON BEULANDA: TARAF KEU DUA Desember 1873 - Désèmbèr 1911
1:59 PM | Bahasa Aceh , Perang Aceh
PRANG DEUNGON BEULANDA: TARAF PHÔN 5 April - 23 April, 1873
1:52 PM | Bahasa Aceh , Perang Aceh
Pasukan Belanda Juga Pakai Rencong
1:47 PM | Pasukan Belanda , Rencong
41 tahun kemudian semenjak selesainya perang Aceh, Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945. Ternyata perjuangan untuk bebas dari cengkraman Belanda belum selesai, sebelum Van Mook menciptakan negara-negara bonekanya yang tergabung dalam RIS (Republik Indonesia Serikat).
Dimana ternyata Aceh tidak termasuk negara bagian dari federal hasil ciptaan Van Mook yang meliputi seluruh Indonesia yaitu yang terdiri dari:
1. Negara RI, yang meliputi daerah status quo berdasarkan perjanjian Renville.
2. Negara Indonesia Timur.
3. Negara Pasundan, termasuk Distrik Federal Jakarta
4. Negara Jawa Timur
5. Negara Madura
6. Negara Sumatra Timur, termasuk daerah status quo Asahan Selatan dan Labuhan Batu
7. Negara Sumatra Selatan
8. Satuan-satuan kenegaraan yang tegak sendiri, seperti Jawa Tengah, Bangka-Belitung, Riau, Daerah Istimewa Kalimantan Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan Tenggara dan Kalimantan Timur.
9. Daerah.daerah Indonesia selebihnya yang bukan daerah-daerah bagian.
Yang terpilih menjadi Presiden RIS adalah Soekarno dalam sidang Dewan Pemilihan Presiden RIS pada tanggal 15-16 Desember 1949. Pada tanggal 17 Desember 1949 Presiden Soekarno dilantik menjadi Presiden RIS. Sedang untuk jabatan Perdana Menteri diangkat Mohammad Hatta. Kabinet dan Perdana Menteri RIS dilantik pada tanggal 20 Desember 1949.
Pengakuan Belanda Kepada Kedaulatan RIS Tanpa Aceh?
Belanda dibawah Ratu Juliana, Perdana Menteri Dr. Willem Drees, Menteri Seberang Lautnan Mr AMJA Sassen dan ketua Delegasi RIS Moh Hatta membubuhkan tandatangannya pada naskah pengakuan kedaulatan RIS oleh Belanda dalam upacara pengakuan kedaulatan RIS pada tanggal 27 Desember 1949. Pada tanggal yang sama, di Yogyakarta dilakukan penyerahan kedaulatan RI kepada RIS. Sedangkan di Jakarta pada hari yang sama, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Wakil Tinggi Mahkota AHJ Lovink dalam suatu upacara bersama-sama membubuhkan tandangannya pada naskah penyerahan kedaulatan. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-1949, Sekretariat Negara RI, 1986)
Kembali Ke Negara Kesatuan Republik Indonesia
Tanggal 8 Maret 1950 Pemerintah RIS dengan persetujuan Parlemen (DPR) dan Senat RIS mengeluarkan Undang-Undang Darurat No 11 tahun 1950 tentang Tata Cara Perubahan Susunan Kenegaraan RIS. Berdasarkan Undang-Undang Darurat itu, beberapa negara bagian menggabungkan ke RI, sehingga pada tanggal 5 April 1950 yang tinggal hanya tiga negara bagian yaitu, RI, NST (Negara Sumatera Timur), dan NIT (Negara Indonesia Timur).
Pada tanggal 14 Agustus 1950 Parlemen dan Senat RIS mengesahkan Rancangan Undang-Undang Dasar Sementara Negara Kesatuan Republik Indonesia hasil panitia bersama.
Pada rapat gabungan Parlemen dan Senat RIS pada tanggal 15 Agustus 1950, Presiden RIS Soekarno membacakan piagam terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada hari itu juga Presiden Soekarno kembali ke Yogya untuk menerima kembali jabatan Presiden RI dari Pemangku Sementara Jabatan Presiden RI Mr. Asaat. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1950-1964, Sekretariat Negara RI, 1986)
Maklumat Negara Islam Indonesia Aceh oleh Daud Beureueh
3 tahun setelah RIS bubar dan kembali menjadi RI, Daud Beureueh di Aceh memaklumatkan Negara Islam Indonesia di bawah Imam SM Kartosoewirjo pada tanggal 20 September 1953.
Isi Maklumat NII di Aceh adalah: Dengan Lahirnja Peroklamasi Negara Islam Indonesia di Atjeh dan daerah sekitarnja, maka lenjaplah kekuasaan Pantja Sila di Atjeh dan daerah sekitarnja, digantikan oleh pemerintah dari Negara Islam.
Dari itu dipermaklumkan kepada seluruh Rakjat, bangsa asing, pemeluk bermatjam2 Agama, pegawai negeri, saudagar dan sebagainja:
1. Djangan menghalang2i gerakan Tentara Islam Indonesia, tetapi hendaklah memberi bantuan dan bekerdja sama untuk menegakkan keamanan dan kesedjahteraan Negara.
2. Pegawai2 Negeri hendaklah bekerdja terus seperti biasa, bekerdjalah dengan sungguh2 supaja roda pemerintahan terus berdjalan lantjar.
3. Para saudagar haruslah membuka toko, laksanakanlah pekerdjaan itu seperti biasa, Pemerintah Islam mendjamin keamanan tuan2.
4. Rakjat seluruhnja djangan mengadakan Sabotage, merusakkan harta vitaal, mentjulik, merampok, menjiarkan kabar bohong, inviltratie propakasi dan sebagainja jang dapat mengganggu keselamatan Negara. Siapa sadja jang melakukan kedjahatan2 tsb akan dihukum dengan hukuman Militer.
5. Kepada tuan2 bangsa Asing hendaklah tenang dan tentram, laksanakanlah kewadjiban tuan2 seperti biasa keamanan dan keselamatan tuan2 didjamin.
6. Kepada tuan2 yang beragama selain Islam djangan ragu2 dan sjak wasangka, jakinlah bahwa Pemerintah N.I.I. mendjamin keselamatan tuan2 dan agama jang tuan peluk, karena Islam memerintahkan untuk melindungi tiap2 Umat dan agamanja seperti melindungi Umat dan Islam sendiri. Achirnja kami serukan kepada seluruh lapisan masjarakat agar tenteram dan tenang serta laksanakanlah kewadjiban masing2 seperti biasa.
Negara Islam Indonesia
Gubernur Sipil/Militer Atjeh dan Daerah sekitarnja.
MUHARRAM 1373
Atjeh Darussalam
September 1953
Desember 1962, Daud Beureueh Menyerah Kepada Penguasa Daulah Pancasila
Bulan Desember 1962, 7 bulan setelah Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo Imam NII tertangkap (4 Juni 1962) di atas Gunung Geber di daerah Majalaya oleh kesatuan-kesatuan Siliwangi dalam rangka Operasi Bratayudha, Daud Beureueh di Aceh menyerah kepada Penguasa Daulah Pancasila setelah dilakukan "Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh" atas prakarsa Panglima Kodam I/Iskandar Muda, Kolonel M.Jasin. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1950-1964, Sekretariat Negara RI, 1986)
1. Belanda menduduki daerah Siak. Akibat dari perjanjian Siak 1858. Dimana Sultan Ismail menyerahkan daerah Deli, Langkat, Asahan dan Serdang kepada Belanda, padahal daerah-daerah itu sejak Sultan Iskandar Muda ada dibawah kekuasaan Aceh.
2. Belanda melanggar Siak, maka berakhirlah perjanjian London (1824). Dimana isi perjanjian London adalah Belanda dan Inggris membuat ketentuan tentang batas-batas kekuasaan kedua daerah di Asia Tenggara yaitu dengan garis lintang Sinagpura. Keduanya mengakui kedaulatan Aceh.
3. Aceh menuduh Belanda tidak menepati janjinya, sehingga kapal-kapal Belanda yang lewat perairan Aceh ditenggelamkan Aceh. Perbuatan Aceh ini disetujui Inggris, karena memang Belanda bersalah.
4. Di bukanya terusan Suez oleh Ferdinand de Lessep. Menyebabkan perairan Aceh menjadi sangat penting untuk lalulintas perdagangan.
5. Dibuatnya Perjanjian Sumatera 1871 antara Inggris dan Belanda, yang isinya, Inggris memberika keleluasaan kepada Belanda untuk mengambil tindakan di Aceh. Belanda harus menjaga keamanan lalulintas di Selat Sumatera. Belanda mengizinkan Inggris bebas berdagang di Siak dan menyerahkan daerahnya di Guinea Barat kepada Inggris.
6. Akibat perjanjian Sumatera 1871, Aceh mengadakan hubungan diplomatik dengan Konsul Amerika, Italia, Turki di Singapura. Dan mengirimkan utusan ke Turki 1871.
7. Akibat hubungan diplomatik Aceh dengan Konsul Amerika, Italia dan Turki di Singapura, Belanda menjadikan itu sebagai alasan untuk menyerang Aceh. Wakil Presiden Dewan Hindia Nieuwenhuyzen dengan 2 kapal perangnya datang ke Aceh dan meminta keterangan dari Sultan Machmud Syah tengtang apa yang sudah dibicarakan di Singapura itu, tetapi Sultan Machmud menolak untuk memberikan keterangan.
Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873 setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik. Sebuah ekspedisi dengan 3.000 serdadu yang dipimpin Mayor Jenderal Köhler dikirimkan pada tahun 1874, namun dikalahkan tentara Aceh, di bawah pimpinan Panglima Polem dan Sultan Machmud Syah, yang telah memodernisasikan senjatanya. Köhler sendiri berhasil dibunuh pada tanggal 10 April 1873.
Ekspedisi kedua di bawah pimpinan Jenderal van Swieten berhasil merebut istana sultan. Ketika Sultan Machmud Syah wafat 26 Januari 1874, digantikan oleh Tuanku Muhammad Dawot yang dinobatkan sebagai Sultan di masjid Indragiri. Pada 13 Oktober 1880, pemerintah kolonial menyatakan bahwa perang telah berakhir.
Bagaimanapun, perang dilanjutkan secara gerilya dan perang fi'sabilillah dikobarkan, di mana sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1904. Pada masa perang dengan Belanda, Kesultanan Aceh sempat meminta bantuan kepada perwakilan Amerika Serikat di Singapura yang disinggahi Panglima Tibang Muhammad dalam perjalanannya menuju Pelantikan Kaisar Napoleon III di Perancis.
Aceh juga mengirim Habib Abdurrahman untuk meminta bantuan kepada Kekaisaran Ottoman. Namun Kekaisaran Ottoman kala itu sudah mengalami masa kemunduran. Sedangkan Amerika menolak campur tangan dalam urusan Aceh dan Belanda. Perang kembali berkobar pada tahun 1883.
Pasukan Belanda berusaha membebaskan para pelaut Britania yang sedang ditawan di salah satu wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh, dan menyerang kawasan tersebut. Sultan Aceh menyerahkan para tawanan dan menerima bayaran yang cukup besar sebagai gantinya. Sementara itu, Menteri Perang Belanda, Weitzel, kembali menyatakan perang terbuka melawan Aceh.
Belanda kali ini meminta bantuan para pemimpin setempat, di antaranya Teuku Umar. Teuku Umar diberikan gelar panglima prang besar dan pada 1 Januari 1894 bahkan menerima dana bantuan Belanda untuk membangun pasukannya. Ternyata dua tahun kemudian Teuku Umar malah menyerang Belanda dengan pasukan baru tersebut. Dalam perang gerilya ini Teuku Umar bersama Panglima Polem dan Sultan terus tanpa pantang mundur.
Tetapi pada tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van Der Dussen di Meulaboh Teuku Umar gugur. Tetapi Cut Nya' Dien istri Teuku Ummar siap tampil menjadi komandan perang gerilya. Pada 1892 dan 1893, pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh.
Dr. Snoeck Hurgronje, seorang ahli Islam dari Universitas Leiden yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, kemudian memberikan saran kepada Belanda agar serangan mereka diarahkan kepada para ulama, bukan kepada sultan. Saran ini ternyata berhasil. Dr Snouck Hurgronye yang menyamar selama 2 tahun di pedalaman Aceh untuk meneliti kemasyarakatan dan ketatanegaraan Aceh.
Hasil kerjanya itu dibukukan dengan judul Rakyat Aceh ( De Acehers). Dalam buku itu disebutkan rahasia bagaimana untuk menaklukkan Aceh.
Isi nasehat Snouck Hurgronye kepada Gubernur Militer Belanda yang bertugas di Aceh adalah:
1. Mengesampingkan golongan Keumala (yaitu Sultan yang berkedudukan di Keumala) beserta pengikutnya.
2. Senantiasa menyerang dan menghantam kaum ulama.
3. Jangan mau berunding dengan para pimpinan gerilya.
4. Mendirikan pangkalan tetap di Aceh Raya.
5. Menunjukkan niat baik Belanda kepada rakyat Aceh, dengan cara mendirikan langgar, masjid, memperbaiki jalan-jalan irigasi dan membantu pekerjaan sosial rakyat Aceh.
Pada tahun 1898, J.B. van Heutsz dinyatakan sebagai gubernur Aceh pada 1898-1904, kemudian Dr Snouck Hurgronye diangkat sebagai penasehatnya, dan bersama letnannya, Hendrikus Colijn (kelak menjadi Perdana Menteri Belanda), merebut sebagian besar Aceh.
Sultan M. Daud akhirnya meyerahkan diri kepada Belanda pada tahun 1903 setelah dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda. Kesultanan Aceh akhirnya jatuh seluruhnya pada tahun 1904.
Istana Kesultanan Aceh kemudian di luluhlantakkan dan diganti dengan bangunan baru yang sekarang dikenal dengan nama Pendopo Gubernur. Pada tahun tersebut, hampir seluruh Aceh telah direbut Belanda. Taktik perang gerilya Aceh ditiru oleh Van Heutz, dimana dibentuk pasukan marsuse yang dipimpin oleh Christoffel dengan pasukan Colone Macannya yang telah mampu dan menguasai pegunungan-pegunungan, hutan-hutan rimba raya Aceh untuk mencari dan mengejar gerilyawan-gerilyawan Aceh.
Taktik berikutnya yang dilakukan Belanda adalah dengan cara penculikan anggota keluarga Gerilyawan Aceh. Misalnya Christoffel menculik permaisuri Sultan dan Tengku Putroe (1902). Van Der Maaten menawan putera Sultan Tuanku Ibrahim. Akibatnya, Sultan menyerah pada tanggal 5 Januari 1902 ke Sigli dan berdamai.
Van Der Maaten dengan diam-diam menyergap Tangse kembali, Panglima Polem dapat meloloskan diri, tetapi sebagai gantinya ditangkap putera Panglima Polem, Cut Po Radeu saudara perempuannya dan beberapa keluarga terdekatnya. Akibatnya Panglima Polem meletakkan senjata dan menyerah ke Lo' Seumawe (1903).
Akibat Panglima Polem menyerah, banyak penghulu-penghulu rakyat yang menyerah mengikuti jejak Panglima Polem. Taktik selanjutnya, pembersihan dengan cara membunuh rakyat Aceh yang dilakukan dibawah pimpinan Van Daalen yang menggantikan Van Heutz. Seperti pembunuhan di Kuta Reh (14 Juni 1904) dimana 2922 orang dibunuhnya, yang terdiri dari 1773 laki-laki dan 1149 perempuan.
Taktik terakhir menangkap Cut Nya' Dien istri Teuku Umar yang masih melakukan perlawanan secara gerilya, dimana akhirnya Cut Nya' Dien dapat ditangkap dan diasingkan ke Sumedang, Jawa Barat. Surat Perjanjian Pendek Tanda Menyerah Ciptaan Van Heutz Van Heutz telah menciptakan surat pendek penyerahan yang harus ditandatangani oleh para pemimpin Aceh yang telah tertangkap dan menyerah.
Dimana isi dari surat pendek penyerahan diri itu berisikan, Raja (Sultan) mengakui daerahnya sebagai bagian dari daerah Hindia Belanda. Raja berjanji tidak akan mengadakan hubungan dengan kekuasaan di luar negeri. Berjanji akan mematuhi seluruh perintah-perintah yang ditetapkan Belanda. (RH Saragih, J Sirait, M Simamora, Sejarah Nasional, 1987)
Teuku Nyak Arif, Dari Studiefond Hingga Voetbal Bond
12:51 PM | Persiraja , Revolusi Desember , Teuku Nyak Arif
Teuku Nyak Arif dikenal sebagai nasionalis tulen. Dalam pidatonya pada Maret 1945, sebagaiWakil Ketua DPR seluruh Sumatera ia berujar. “Indonesia merdeka harus jadi tujuan hidup bersama.”Menelisik lebih jauh ke belakang.
Ia juga turut mendirikan “Taman Siswa” dan “Muhammadiyah”. Ia dikenal sebagai tokoh yang peduli pada pendidikan. Ia pun kemudian digelar sebagai Bapak Pendidikan Aceh.
Untuk membiayai pendidikan putra-putri Aceh, Teuku Nyak Arif terlibat dalam Atjeh Studiefond, bahkan menjabat sebagai ketua lembaga yang mengirim pemuda Aceh ke berbagai perguruan tinggi itu.
Pria kelahiran Ulee Lhuen tahun 17 Juli 1899 ini juga aktif dalam bidang olah raga. Ia mendirikan dan pernah menjabat sebagai Ketua Atjeh Voetbal Bond. Perserikatan sepak bola Aceh yang kemudian menjadi Persatuan Sepakbola Kutaraja (Persiraja).
Mantan Panglima Kodam Iskandar Muda, Syamaun Gaharu dalam buku “Mengenang Teuku Nyak Arif” menyebutkan Teuku Nyak Arif sebagai pemimpin rakyat. Teuku Nyak Banda, ayah Teuku Nyak Arif merupakan Panglima Sagoe XXVI Mukim di Aceh Besar.
Pada zaman perjuangan, Teuku Nyak Arif bersama Teuku Muhammad Ali Panglima Polem aktif dalam perang melawan Belanda. “Sejak muda, Teuku Nyak Arif terkenal sebagai nasionalis sejati, pembela rakyat di Aceh,” tulis Syamaun Gaharu.
Teuku Nyak Arif memulai pendidikannya pada Gouvernement Inlandsche School di Kutaraja dan setelah itu ke Kweek School (Sekolah Raja) di Bukit Tinggi. Tahun 1912 melanjutkan ke Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) di Serang, Jawa Barat.
Setelah menyelesaikan pendidikan di OSVIA, ia kembali ke Aceh dan mulai bekerja sebagai Ambtenar Voedsel Voorziening (semacam BULOG sekarang). Dalam kongres “Sjarekat Atjeh”, organisasi yang bergerak di bidang sosial, Teuku Nyak Arif terpilih menjadi Ketua Pengurus Besar pada tahun 1919 menggantikan Teuku Chik Muhammad Thayeb Peurelak (ayah Dr Syarif Thayeb) mantan Mendikbud RI.
Dalam bidang politik, Teuku Nyak Arif menjadi anggota National Indische Partij (NIP) yang semula bernama Insulinde, dan ia pernah menjadi Ketua NIP Cabang Kutaraja. Pada tahun 1920 Teuku Nyak Arif diangkat menjadi Panglima Sagi XXVI Mukim menggantikan ayahnya yang sudah uzur.
Dari tahun 1927 sampai 1931, T Nyak Arif ditetapkan sebagai anggota Volksraad (Dewan Rakyat) di Jakarta. Disana ia bersama M Husni Thamrin, RP Suroso, M Suangkupon, emndiriokan “Fraksi Nasional”. Karena kevokalannya mengkritik pemerintah kolonial Belanda, pada tahun 1931 kedudukan Teuku Nyak Arif sebagai anggota Volksraad tidak diperpanjang. Ia digantikan oleh Tuanku Mahmud.
Dicurigai Punya Hubungan Dengan Sekutu
Kedekatan Teuku Nyak Arif dengan Maarten Knottenbelt, membuat Residen Aceh yang pertama itu dicurigai sebagai mata-mata sekutu setelah Jepang menyerah.
Dalam buku Mata Rantai yang Hilang (1996) M Nur El Ibrahimi menjelaskan Knottenbelt merupakan perwira Belanda pertama yang diterjunkan ke Sumatera setelah Jepang menyerah pada Agustus 1945.
Kedekatan Teuku Nyak Arif dengan Knottenbelt terungkap dalam tulisannya di majalah Vrij Nederland, edisi 26 tahun VI, terbitan London 19 Januari 1946, dengan judul “Contact met Atjeh” Knottenbelt menybutkan Residen Aceh, Teuku Nyak Arif sebagai salah seorang yang dihubunginya di Aceh.
Pertemuan Teuku Nyak Arif dengan Knottenbell, juga disingung Dr Anthony Reids dalam buku The Blood of the People, serta Dr A J Piekar dalam buku Atjeh en de oorlog met Japan.Knottenbell terpaksa harus kembali ke Medan pada 10 November 1945, setelah rakyat Aceh mengetahu identitasnya sebagai perwira Belanda yang memboncengi sekutu.Namun, isu bahwa Teuku Nyak Arief punya hubungan dengan Knottenbelt terus bergulir.
Kecurigaan terhadap Teuku Nyak Arief waktu itu sangat besar. Apalagi Teuku Nyak Arief pernah menjadi anggota Volksraad, dewan rakyat buatan Belanda.Sentimen anti feodal pun memuncak. Kaum Uleebalang dianggap sebagai jaroe uneuen (tangan kanan) Belanda. Hal yang kemudian membuat Teuku Nyak Arif diturunkan dari jabatannya sebagai residen Aceh.
Ia diasingkan ke Takengon, Aceh Tengah oleh Tentara Keamanan Rakyat (TKR) bentukan Husein Al Mujahid.Syamaun Gaharu yang kemudian menjadi Panglima Kodam Iskandar Muda, dalam seminar di Medan, 22-25 Maret 1976 mengatakan hubungan Teuku Nyak Arif dengan Knottrnbelt itu ada. Namun sembilan tahun kemudian, Januari 1985, Syamaun Gaharu mencabut pernyataannya itu melalui surat kabar Waspada, setelah muncul beragam reaksi.Untuk memastikan hal itu, M Nur El Ibrahimi menghubungi kawannya di Belanda.
Ia kemudian mendapat balasan sepucuk surat tiga halaman kuarto yang diketik rapi satu spasi. Surat itu merupakan laporan yang dikirim Mayor Knottenbell dari Kutaraja pada 4 November 1946 ke majalah Vrij Nederland di London, yang dimuat pada edisi 26 tahun VI, 19 Januari 1946 dengan judul “Contact met Atjeh”Dalam surat itu, terungkap bahwa pertemuan Knottenbelt dengan Teuku Nyak Arif tidak hanya terjadi sekali.
Setelah pertemuan mereka pada15 Oktober 1945, Knottenbelt megutus Goh Moh Wan, warga keturuna Tionghoa yang mahir berbahasa Inggris, sebagai peghubungnya dengan Teuku Nyak Arief. “…Berhubungan dengan ini saya beberapa kali mendapat kunjungan dari seorang pemimpin pribumi, bernama Nyak Arief, yang oleh Soekarno diangkat menjadi Residen Aceh,” tulis Knottenbelt.Dalam versi aslinya berbahasa Belanda Knottenbelt menulis. “…In verband hiermede werd ik enkele maal bezocht door een inlandse hoogwaardigheiddsbekleeder, genaamd Nyak Arif, die door Soekarno als ‘residen’ van Atjeh benoemd…”Anthony Reid dalam buku The Blood of The People kemudian memperjelas hal itu.
Menurutnya, angkatan laut Inggris menduduki Sabang tanpa perlawanan pada 7 September 1945. Satu pasukan kecil sekutu (force 136) dikirim dari Medan ke Kutaraja dibawah pimpinan Mayor M J Knottenbelt dan oleh tentara Jepang ditempatkan di sebuah vila berbendera Inggris.
Tugasnya, mengobservasi dan memberi laporan serta berusaha agar senjata yang berada di tangan Jepang tetap terkendali, tidak boleh diserahkan ke pihak lain. Dalam hal ini Knottenbelt bekerja sama dengan Teuku Nyak Arief.Reid menulis. “…and even signed apetition to the Britis Commandand that the Dutchman’s presence was ‘at this moment…indispensable to the maintenance of law and order.” Terjemahannya, dan kemudian beliau (Teuku Nyak Arief-red) megirim sebuah petisi kepada komando Inggris, menyatakan bahwa kehadiran Knottenbelt pada saat-saat yang penting ini sangat dibutuhkan untuk tegaknya hukum dan terpeliharanya ketertiban serta keamanan.
Meski demikian, M Nur El Ibrahimi menilai hubungan Teuku Nyak Arief dengan Knottenbelt itu bermanfaat. Setidaknya untuk mengusahakan agar sebagian senjata milik Jepang bisa diperoleh oleh Pemerintah Aceh untuk mempersenjatai Angkatan Pemuda Indonesia (API) sebagai cikal bakal Tentara Kemanan Rakyat (TKR) Republik Indonesia di Aceh.
Revolusi Desember, Pergeseran Kaum Feodal
Kecurigaan terhadap hubungan Teuku Nyak Arif dengan Maarten Knottenbelt berlanjut pada ketidakpercayaan terhadap kaum uleebalang (feodal). Mereka dianggap sebagai tangan kanan Belanda.
Perang Cumbok yang dikenals ebagai revolusi Desember pun pecah.Sejarawan Aceh, Muhammad Gade Ismail (alm) dalam buku Kasus Darul Islam Aceh (1994) mengatakan, pada masa pemerintahan kolonial berkuasa di nusantara, Belanda merangkul uleebalang untuk mencegah ulama terjun dalam pemerintahan. Ulama hanya dapat memimpin rakyat dalam bidang agama dan social.hal inilah yang dijelaskan Muhammad Gade Ismail sebagai awal pergesekan antara kaum uleebalang dengan ulama yang setelah Belanda angkat kaki dari Aceh berubah menjadi perang cumbok.
Sebuah revolusi berdarah di Aceh.Menurut Ali Basyah Talsya, pergesekan itu bertambah ketika muncul desas-desus bahwa kelompok uleebalang mempersiapkan kedatangan pasukan sekutu pada agresi Belanda ke dua. Uleebalang ingin memperoleh kembali kekuasaan yang didominasi ulama. Sementara ulama dan rakyat saat itu sangat anti terhadap Belanda. Pada agresinya yang kedua Belanda gagal masuk Aceh.
Hal inilah yang kemudian membuat Husein Al Mujahid membentuk Tentara Kemanan Rakyat (TKR) di Idi, Aceh Timur. Dari sanalah kemudian operasi pembersihan kaum feodal dilakukan.Disetiap daerah uleebalang ditangkap, mereka ditahan dan diasingkan. Baru dibebaskan setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Republik Indonesia.
Namun tak sedikit pula kaum uleebalang yang dibunuh dengan apa yang disebut sebagai “pengadilan revolusi”.Teuku Nyak Arif yang menjabat sebagai Residen Aceh pun digulingkan dari jabatannya. Ia ditangkap oleh kelompok Husein Al Mujahid dan diasingkan ke Takengon Aceh Tengah bersama adiknya, Teuku Abdul Hamid.Dalam pertemuan dengan Teungku Muhammad Daud Beureueh yang sempat menjenguknya di Takengon, Teuku Nyak Arif berpesan agar berhati-hati terhadap kaum komunis.
Setelah beberapa lama dipengasingannya, pada 4 Mei Teuku Nyak Arif meninggal dunia disaksikan isterinya, Hj Jauhari dan tiga anaknya, Ir Teuku Ubit Azhari, Prof H Teuku Syamsul Bahri SH (mantan Pembantu Rektor II Universitas Sumatera Utara periode 1986-1995), dan puteri bungsu Cut Arifah Nasri (isteri almarhum Teuku Umar Ali, mantan Sekjen Depdiknas dan Duta Besar RI di Brazil). [iskandar norman]
Pada abad ke-16, Ratu Inggris, Elizabeth I, mengirimkan utusannya bernama Sir James Lancester kepada Kerajaan Aceh dan mengirim surat yang ditujukan: "Kepada Saudara Hamba, Raja Aceh Darussalam." serta seperangkat perhiasan yang tinggi nilainya. Sultan Aceh kala itu menerima maksud baik "saudarinya" di Inggris dan mengizinkan Inggris untuk berlabuh dan berdagang di wilayah kekuasaan Aceh. Bahkan Sultan juga mengirim hadiah-hadiah yang berharga termasuk sepasang gelang dari batu rubi dan surat yang ditulis di atas kertas yang halus dengan tinta emas. Sir James pun dianugerahi gelar "Orang Kaya Putih".Sultan Aceh pun membalas surat dari Ratu Elizabeth I. Berikut cuplikan isi surat Sultan Aceh, yang masih disimpan oleh pemerintah kerajaan Inggris, tertanggal tahun 1585:I am the mighty ruler of the Regions below the wind, who holds sway over the land of Aceh and over the land of Sumatra and over all the lands tributary to Aceh, which stretch from the sunrise to the sunset.(Hambalah sang penguasa perkasa Negeri-negeri di bawah angin, yang terhimpun di atas tanah Aceh dan atas tanah Sumatra dan atas seluruh wilayah wilayah yang tunduk kepada Aceh, yang terbentang dari ufuk matahari terbit hingga matahari terbenam).Hubungan yang mesra antara Aceh dan Inggris dilanjutkan pada masa Raja James I dari Inggris dan Skotlandia. Raja James mengirim sebuah meriam sebagai hadiah untuk Sultan Aceh. Meriam tersebut hingga kini masih terawat dan dikenal dengan nama Meriam Raja James.
Belanda
Selain Kerajaan Inggris, Pangeran Maurits – pendiri dinasti Oranje– juga pernah mengirim surat dengan maksud meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan menyambut maksud baik mereka dengan mengirimkan rombongan utusannya ke Belanda. Rombongan tersebut dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid. Rombongan inilah yang dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang singgah di Belanda. Dalam kunjungannya Tuanku Abdul Hamid sakit dan akhirnya meninggal dunia. Beliau dimakamkan secara besar-besaran di Belanda dengan dihadiri oleh para pembesar-pembesar Belanda. Namun karena orang Belanda belum pernah memakamkan orang Islam, maka beliau dimakamkan dengan cara agama Nasrani di pekarangan sebuah gereja. Kini di makam beliau terdapat sebuah prasasti yang diresmikan oleh Mendiang Yang Mulia Pangeran Bernhard suami mendiang Ratu Juliana dan Ayahanda Yang Mulia Ratu Beatrix.
Ottoman
Pada masa Iskandar Muda, Kerajaan Aceh mengirim utusannya untuk menghadap Sultan Kekaisaran Ottoman yang berkedudukan di Konstantinopel. Karena saat itu Sultan Ottoman sedang gering maka utusan Kerajaan Aceh terluntang-lantung demikian lamanya sehingga mereka harus menjual sedikit demi sedikit hadiah persembahan untuk kelangsungan hidup mereka. Lalu pada akhirnya ketika mereka diterima oleh sang Sultan, persembahan mereka hanya tinggal Lada Sicupak atau Lada sekarung. Namun sang Sultan menyambut baik hadiah itu dan mengirimkan sebuah meriam dan beberapa orang yang cakap dalam ilmu perang untuk membantu kerajaan Aceh. Meriam tersebut pula masih ada hingga kini dikenal dengan nama Meriam Lada Sicupak. Pada masa selanjutnya Sultan Ottoman mengirimkan sebuah bintang jasa kepada Sultan Aceh.
PerancisKerajaan Aceh juga menerima kunjungan utusan Kerajaan Perancis. Utusan Raja Perancis tersebut semula bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yang sangat berharga bagi Sultan Aceh. Namun dalam perjalanan cermin tersebut pecah. Akhirnya mereka mempersembahkan serpihan cermin tersebut sebagai hadiah bagi sang Sultan. Dalam bukunya, Danis Lombard mengatakan bahwa Sultan Iskandar Muda amat menggemari benda-benda berharga. Pada masa itu, Kerajaan Aceh merupakan satu-satunya kerajaan Melayu yang memiliki Balee Ceureumeen atau Aula Kaca di dalam Istananya. Menurut Utusan Perancis tersebut, Istana Kesultanan Aceh luasnya tak kurang dari dua kilometer. Istana tersebut bernama Istana Dalam Darud Donya (kini Meuligo Aceh, kediaman Gubernur). Di dalamnya meliputi Medan Khayali dan Medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah. Sultan Iskandar Muda juga memerintahkan untuk memindahkan aliran Sungai Krueng Aceh hingga mengaliri istananya (sungai ini hingga sekarang masih dapat dilihat, mengalir tenang di sekitar Meuligoe). Di sanalah sultan acap kali berenang sambil menjamu tetamu-tetamunya.
Bukankah suatu hal yang amat aneh, suatu negeri mayoritas Islam terbesar dunia tapi simbol negaranya sarat dengan istilah Hindu. Ini merupakan suatu bukti tidak selarasnya aspirasi penguasa dengan rakyatnya. Padahal Islam tidak mengenal, bahkan menentang mistisme atau hal-hal berbau syirik lainnya. Rakyat Aceh sangat paham dan cerdas untuk menilai bahwa hal-hal seperti ini adalah sesuatu yang tidak bisa diterima.
ImageSosio-kultural raja-raja Jawa sangat kental dengan nuansa Hinduisme. Raja merupakan titisan dewa, suara raja adalah suara dewa. Sebab itu, di Jawa ada istilah “Sabda Pandhita Ratu” yang tidak boleh dilanggar. Raja di Jawa biasa berbuat seenaknya, bisa menciptakan peraturanya sendiri dan tidak ada yang protes ketika dia melanggarnya. Malah menurut beberapa literatur sejarah, ada raja-raja di Jawa yang memiliki hak untuk “mencicipi keperawanan” setiap perempuan yang disukainya di dalam wilayah kekuasaannya. Jadi, ketika malam pengantin, mempelai perempuan itu bukannya tidur dengan sang mempelai laki, tetapi dengan rajanya dulu untuk dicicipi, setelah itu baru giliran sang mempelai lelaki.
Ini sangat bertentangan dengan sosio-kultural para Sultan dan Sultanah di Kerajaan Aceh Darussalam. Dalam Islam, penguasa adalah pemegang amanah yang wajib mempertanggungjawabkan kepemimpinannya di hari akhir kelak kepada Allah SWT.
Kerajaan Aceh Darussalam saat diperintah oleh Sultan Iskandar Muda telah memiliki semacam Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Permusyawaratan Rakyat (DPR-MPR) yang hak dan kewajibannya telah di atur dalam ‘Konstitusi Negara” Qanun Meukota Alam. Ada pula Dewan Syuro yang berisikan sejumlah ulama berpengaruh yang bertugas menasehati penguasa dan memberi arahan-arahan diminta atau pun tidak. Aceh juga telah memiliki penguasa-penguasa lokal yang bertanggungjawab kepada pemerintahan pusat. Jadi, seorang penguasa di Kerajaan Aceh Darussalam tidak bisa berbuat seenaknya, karena sikap dan tindak-tanduknya dibatasi oleh Qanun Meukuta Alam yang didasari oleh nilai-nilai Quraniyah.
Jadi, jelaslah bahwa sosio-kultur antara Nanggroe Aceh Darussalam dengan kerajaan-kerajaan Hindu amat bertolak-belakang.
ImageimageNangroe Aceh Darussalam bersedia mendukung dan menyatukan diri dengan NKRI atas bujukan Soekarno, semata-mata karena meyakini tali ukhuwah Islamiyah. Namun ketika Aceh dikhianati dan bahkan di masa Orde Lama maupun Orde Baru diperah habis-habisan seluruh sumber daya alamnya, disedot ke Jawa, maka dengan sendirinya Aceh menarik kembali kesediaannya bergabung dengan NKRI. Aceh menarik kembali kesepakatannya, bukan memberontak. Ini semata-mata karena kesalahan yang dilakukan “Pemerintah Jakarta” terhadap Nanggroe Aceh Darussalam.
Dan ketika Nanggroe Aceh Darussalam sudah mau bersatu kembali ke dalam NKRI, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) bersedia meletakkan senjatanya dan memilih jalan berparlemen, Aceh sekarang dipimpin seorang putera daerahnya lewat sebuah pemilihan yang sangat demokratis, maka sudah seyogyanya NKRI memperlakukan Aceh dengan adil dan proporsional.Puluhan tahun sudah Aceh menyumbangkan kekayaannya untuk kesejahteraan seluruh Nusantara, terutama Tanah Jawa, maka sekarang sudah saatnya “Jawa” membangun Aceh. Mudah-mudahan ‘kesepakatan’ ini bisa menjadi abadi, semata-mata dipeliharanya prinsip-prinsip keadilan dan saling harga-menghargai. (Rz/erm)
Sejak zaman kekuasaan Bung Karno hingga presiden-presiden penerusnya, sejumlah ‘kontingen’ pasukan dari berbagai daerah—terutama dari Jawa—dikirim ke Aceh untuk ‘memadamkan’ pemberontakan ini. Kita seakan menerima begitu saja istilah ‘pemberontakan’ yang dilakukan Aceh terhadap NKRI.
Namun tahukah kita bahwa istilah tersebut sesungguhnya bias dan kurang tepat? Karena sesungguhnya—dan ini fakta sejarah—bahwa Naggroe Aceh Darussalam sebenarnya tidak pernah berontak pada NKRI, namun menarik kembali kesepakatannya dengan NKRI. Dua istilah ini, “berontak” dengan “menarik kesepakatan” merupakan dua hal yang sangat berbeda.
Sudah Merdeka Sebelum NKRI Lahir
NKRI secara resmi baru merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945. Sedangkan Nanggroe Aceh Darussalam sudah berabad-abad sebelumnya merdeka, memiliki hukum kenegaraan (Qanun)nya sendiri, menjalin persahabatan dengan negeri-negeri seberang lautan, dan bahkan pernah menjadi bagian (protektorat) dari Kekhalifahan Islam Turki Utsmaniyah.
Jadi, bagaimana bisa sebuah negara yang merdeka dan berdaulat sejak abad ke-14 Masehi, bersamaan dengan pudarnya kekuasaan Kerajaan Budha Sriwijaya, dianggap memberontak pada sebuah Negara yang baru merdeka di abad ke -20?
Nanggroe Aceh Darussalam merupakan negara berdaulat yang sama sekali tidak pernah tunduk pada penjajah Barat. Penjajah Belanda pernah dua kali mengirimkan pasukannya dalam jumlah yang amat besar untuk menyerang dan menundukkan Aceh, namun keduanya menemui kegagalan, walau dalam serangan yang terakhir Belanda bisa menduduki pusat-pusat negerinya.
Sejak melawan Portugis hingga VOC Belanda, yang ada di dalam dada rakyat Aceh adalah mempertahankan marwah, harga diri dan martabat, Aceh Darussalam sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat berdasarkan Qanun Meukuta Alam yang bernafaskan Islam.
Saat itu, kita harus akui dengan jujur, tidak ada dalam benak rakyat Aceh soal yang namanya membela Indonesia. Sudah ratusan tahun, berabad-abad Kerajaan Aceh Darussalam berdiri dengan tegak bahkan diakui oleh dunia Timur dan Barat sebagai “Negara” yang merdeka dan berdaulat.
Istilah “Indonesia” sendiri baru saja lahir di abad ke-19. Jika diumpamakan dengan manusia, maka Aceh Darussalam adalah seorang manusia dewasa yang sudah kaya dengan asam-garam kehidupan, kuat, dan mandiri, sedang “Indonesia” masih berupa jabang bayi yang untuk makan sendiri saja belumlah mampu melakukannya.
Banyak literatur sejarah juga lazim menyebut orang Aceh sebagai “Rakyat Aceh”, tapi tidak pernah menyebut hal yang sama untuk suku-suku lainnya di Nusantara. Tidak pernah sejarah menyebut orang Jawa sebagai rakyat Jawa, orang Kalimantan sebagai rakyat Kalimantan, dan sebagainya. Yang ada hanya rakyat Aceh. Karena Aceh sedari dulu memang sebuah bangsa yang sudah merdeka dan berdaulat.
Mesjid Baiturahman tahun 1895
Dipersatukan Oleh Akidah IslamiyahKesediaan rakyat Aceh mendukung perjuangan bangsa Indonesia, bahkan dengan penuh keikhlasan menyumbangkan segenap sumber daya manusia dan hartanya untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia—lebih dari daerah mana pun di seluruh Nusantara, adalah semata-mata karena rakyat Aceh merasakan ikatan persaudaraan dalam satu akidah dan satu iman dengan rakyat Indonesia yang mayoritas Muslim.
Ukhuwah Islamiyah inilah yang mempersatukan rakyat Aceh dengan bangsa Indonesia. Apalagi Bung Karno dengan berlinang airmata pernah berjanji bahwa untuk Aceh, Republik Indonesia akan menjamin dan memberi kebebasan serta mendukung penuh pelaksanaan syariat Islam di wilayahnya. Sesuatu yang memang menjadi urat nadi bangsa Aceh.
Namun sejarah juga mencatat bahwa belum kering bibir Bung Karno mengucap, janji yang pernah dikatakannya itu dikhianatinya sendiri. Bahkan secara sepihak hak rakyat Aceh untuk mengatur dirinya sendiri dilenyapkan. Aceh disatukan sebagai Provinsi Sumatera Utara. Hal ini jelas amat sangat menyinggung harga diri rakyat Aceh.Dengan kebijakan ini, pemerintah Jakarta sangat gegabah karena sama sekali tidak memperhitungkan sosio-kultural dan landasan historis rakyat Aceh.
Bukannya apa-apa, ratusan tahun lalu ketika masyarakat Aceh sudah sedemikian makmur, ilmu pengetahuan sudah tinggi, dayah dan perpustakaan sudah banyak menyebar seantero wilayah, bahkan sudah banyak orang Aceh yang menguasai bahasa asing lebih dari empat bahasa, di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Provinsi Sumatera Utara pada waktu itu, manusia-manusia yang mendiami wilayah itu masih berperadaban purba. Masih banyak suku-suku kanibal, belum mengenal buku, apa lagi baca-tulis. Hanya wilayah pesisir yang sudah berperadaban karena bersinggungan dengan para pedagang dari banyak negeri.
Saat perang mempertahankan kemerdekaan melawan Belanda pun, bantuan dari Aceh berupa logistik dan juga pasukan pun mengalir ke Medan Area. Bahkan ketika arus pengungsian dari wilayah Sumatera Utara masuk ke wilayah Aceh, rakyat Aceh menyambutnya dengan tangan terbuka dan tulus. Jadi jelas, ketika Jakarta malah melebur Aceh menjadi Provinsi Sumatera Utara, rakyat Aceh amat tersinggung.
ImageimageTak mengherankan jika rakyat Aceh, dipelopori PUSA dengan Teungku Daud Beureueh, menarik kembali janji kesediaan bergabung dengan Republik Indonesia di tahun 1953 dan lebih memilih untuk bergabung dengan Negara Islam Indonesia (NII) yang lebih dulu diproklamirkan S. M. Kartosuwiryo di Jawa Barat. Ini semata-mata demi kemaslahatan dakwah dan syiar Islam. Dengan logika ini, Aceh bukanlah berontak atau separatis, tapi lebih tepat dengan istilah: menarik kembali kesediaan bergabung dengan republik karena tidak ada manfaatnya.
Pandangan orang kebanyakan bahwa Teungku Muhammad Daud Beureueh dan pengikutnya tidak nasionalis adalah pandangan yang amat keliru dan a-historis. Karena sejarah mencatat dengan tinta emas betapa rakyat Aceh dan Daud Beureueh menyambut kemerdekaan Indonesia dengan gegap-gempita dan sumpah setia, bahkan dengan seluruh sisa-sisa kekuatan yang ada berjibaku mempertahankan kemerdekaan negeri ini menghadapi rongrongan konspirasi Barat.
Sebagai gantinya, Van Heurn mendiskusikan hasil pertemuannya dan menawarkan kepada para wakil pemuka adat (para Datoek dan Oeloebalang) untuk mendesak Pemerintah Kolonial Belanda untuk memberikan status kawasan konservasi (Wildlife Sanctuary). Setelah berdiskusi dengan Komisi Belanda untuk Perlindungan Alam, pada bulan Agustus 1928 sebuah proposal disampaikan kepada Pemeintah Kolonial Belanda yang mengusulkan Suaka Alam di Aceh Barat seluas 928.000 ha dan memberikan status perlindungan terhadap kawasan yang terbentang dari Singkil (pada hulu Sungai Simpang Kiri) di bagian selatan, sepanjang Bukit Barisan, ke arah lembah Sungai Tripa dan Rawa Pantai Meulaboh, di bagian utara.
Proposal tersebut akhirnya direalisasikan dengan pada tanggal 6 Februari 1934 dengan diadakannya pertemuan di Tapaktuan, yang dihadiri perwakilan pemuka adat dan Pemerintah Kolonial Belanda. Pertemuan tersebut menghasilkan "Deklarasi Tapaktuan", yang ditandatangani oleh perwakilan pemuka adat dan Perwakilan Gubernur Hindia Belanda di Aceh pada saat itu (Gouverneur van Atjeh en Onderhoorigheden, Vaardezen). Deklarasi tersebut mulai berlaku mulai tanggal 1 Januari 1934 ((Deze regeling treedt in werking met ingang 1 Januari 1934). Deklarasi tersebut mencerminkan tekad masyarakat Aceh untuk melestarian kawasan Leuser untuk selamanya sekaligus juga diatur tentang sanksi pidananya (baik padana penjara maupun pidanya denda). Dalam salah satu paragraph Deklarasi Tapaktuan disebutkan sebagai berikut : "Kami Oeloebalang dari landschap Gajo Loeos, Poelau Nas, Meuke', labuhan Hadji, Manggeng, Lho' Pawoh Noord, Blang Pidie, dan Bestuurcommissie dari landschap Bambel, Onderafdeeling Gajo dan Alas. Menimbang bahwa perlu sekali diadakannya peratoeran yang memperlindungi segala djenis benda dan segala padang-padang yang diasingkan boeat persediaan. Oleh karena itoe, dilarang dalam tanah persediaan ini mencari hewan yang hidoep, menangkapnya, meloekainya, atau memboenoeh mati, mengganggoe sarang dari binatang-binatang itoe, mengeloerkan hidoep atau mati atau sebagian dari binatang itoe lantaran itoe memoendoerkan banyaknya binatang"
Pada tahun 1934, berdasarkan ZB No. 317/35 tanggal 3 Juli 1934 dibentuk Suaka Alam Gunung Leuser (Wildreservaat Goenoeng Leoser) dengan luas 142.800 ha. Selanjutnya berturut-turut pada tahun 1936, berdasarkan ZB No. 122/AGR, tanggal 26 Oktober 1936 dibentuk Suaka margasatwa Kluet seluas 20.000 ha yang merupakan penghubung Suaka Alam Gunung Leuser dengan Pantai Barat. Pada tahun 1938 dibentuk Suaka Alam Langkat Barat, Suaka Alam Langkat Selatan dan Suaka Alam Sekundur.
Pada masa setelah kemerdekaan Republik Indonesia, pada tahun 1976, dengan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 69/Kpts/Um/12/1976, tanggal 10 Desember 1976 tentang Penunjukan Areal Hutan Kappi seluas 150.000 ha yang terletak di Aceh Tenggara, Daerah Istimewa Aceh sebagai Suaka Margasatwa Kappi. Keputusan tersebut diikuti dengan Pembentukan Instansi Kerja Sub Balai Pelestarian Alam Gunung Leuser pada tahun 1979.
Secara Yuridis Formal keberadaan Taman Nasional Gunung Leuser untuk pertama kali dituangkan dalam Pengumuman Menteri Pertanian Nomor: 811/Kpts/Um/II/1980 tanggal 6 Maret 1980 tentang peresmian 5 (lima) Taman Nasional di Indonesia, yaitu; TN.Gunung Leuser, TN. Ujung Kulon, TN. Gede Pangrango, TN. Baluran, dan TN. Komodo.
Berdasarkan Pengumuman Menteri Pertanian tersebut, ditunjuk luas TN. Gunung Leuser adalah 792.675 ha. Pengumuman Menteri Pertanian tersebut ditindaklanjuti dengan Surat Direktorat Jenderal Kehutanan Nomor: 719/Dj/VII/1/80, tanggal 7 Maret 1980 yang ditujukan kepada Sub Balai KPA Gunung Leuser. Dalam surat tersebut disebutkan bahwa diberikannya status kewenangan pengelolaan TN. Gunung Leuser kepada Sub Balai KPA Gunung Leuser. Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 166/Kpts/Um/3/1982, tanggal 3 Maret 1982 tentang Perubahan Status sebagian Suaka Margasatwa Kappi seluas 7.200 ha dan Penunjukan sebagian hutan Serbolangit seluas 2.000 ha yang terletak di Aceh Tenggara,Daerah istimewa Aceh sebagai Hutan Wisata Lawe Gurah.
Untuk memberikan kepastian hukum bagi pengelola TNGL pada tahun 1982 telah dikeluarkan 2 (dua) Peraturan, yaitu: Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 923/Kpts/UM/12/1982 tentang luas wilayah TN. Gunung Leuser di Propinsi Sumatera Utara adalah 213.985 ha yang merupakan gabungan SM Langkat Selatan dan Barat, SM Sekundur, dan Taman Wisata Sekundur. Serta Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 924/Kpts/Um/12/1982 tentang Luas Wilayah TN. Gunung Leuser di Propinsi daerah Istimewa Aceh seluas 586,500 hektar yang merupakan gabungan SM Gunung Leuser, SM Kluet, SM Kappi dan Taman Wisata Lawe Gurah.
Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Nomor: 46/Kpts/VI-Sek/84 tentang Penunjukan Wilayah Kerja Taman Nasional, tanggal 11 Desember 1984, disebutkan bahwa Wilayah Kerja TNGL adalah: Suaka Margasatwa (SM) Gunung Leuser, SM langkat Barat, SM Langkat Selatan, SM Sekundur, SM Kappi, SM Kluet, Taman Wisata Lawe Gurah, Taman Wisata Sekundur, Hutan Lindung Serbolangit dan Hutan Lindung dan Hutan Produksi Terbatas Sembabala. Pada tahun 1984 tersebut juga telah ditetapkan Unit Pelaksana Teknis Pengelola TN. Gunung Leuser dengan kantor Pusat di Kutacane, Aceh Tenggara, Daerah Istimewa Aceh.
Sejak tanggal 12 Mei 1984, dengan diterbitkannya SK Menhut Nomor: 096/Kpts-II/1984 menetapkan TNGL merupakan unit Dirjen PHPA yang tingkatannya disamakan dengan eselon III. UPT ini dipimpin oleh seorang Kepala UPT-TN yang bertanggung jawab kepada Dirjen PHPA dan membawahi Sub Bagian TU dan 2 (dua) seksi yaitu Seksi penyusunan Program dan Seksi Pemanfaatan, dilengkapi dengan Kelompok Tenaga Fungsional Konservasi. Ternyata ketentuan struktur organisasi tersebut masih sukar diterapkan dalam pelaksanaan pengelolaan TNGL karena wilayah kerja kawasan TN ini relatif sangat luas.
Sebagai dasar legalitas dalam rangkaian proses penngukuhan kawasan hutan telah dikeluarkan Keputusan Menteri Kehutanan nomor: 276/Kpts-II/1997 tentang Penunjukan TN. Gunung Leuser seluas 1.094.692 hektar yang terletak di Provinsi daerah Istimewa Aceh dan Sumatera Utara. Dalam keputusan tersebut disebutkan bahwa TN. Gunung Leuser terdiri dari gabungan: Suaka Margasatwa Gunung Leuser (416.500 hektar), Suaka Margasatwa Kluet (20.000 hektar), Suaka Margasatwa Langkat Barat (51.000 hektar), Suaka Margasatwa Langkat Selatan (82.985 hektar), Suaka Margasatwa Sekundur (60.600 hektar), Suaka Margasatwa Kappi (142.800 hektar), Taman Wisata Gurah (9.200 hektar), Hutan Lindung dan Hutan Produksi Terbatas (292.707 hektar).
Pada perkembangan selanjutnya, pada tanggal 10 Juni 2002, melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. 6186/Kpts-II/2002, tentang Organisasi dan Tata Kerja Taman Nasional, Kepala UPT-TN (Balai TN) membawahi Kepala Sub Bagian TU dan Kepala Seksi Wilayah, selain juga Kelompok Jabatan Fungsional. Saat ini wilayah TNGL terbagi dalam 4 seksi wilayah dan mengikuti struktur organisasi taman nasional tipe A, yaitu di Aceh Tenggara, Aceh Selatan, Langkat Sikundur, dan Langkat Selatan. Khusus wilayah Aceh Tenggara dengan didasarkan oleh karakteristik suku, dibagi lagi menjadi 2 wilayah koordinasi yaitu wilayah Gayo Lues di Blangkejeren dan wilayah Lembah Alas di Kutacane.*** (Sumber: Renstra TNGL)
Mata Uang Aceh
9:52 PM | Mata Peng , Mata Uang Aceh
1. sultan saleh ad-din (1530-1539)
Metal: gold
Diameter: 11 mm / 12 mm / 12 mm
Obverse:
yellow = Saleh orange = ibn blue = Ali] red = Malik green = al-Zahir
Reverse:
yellow = al-Sultan
red = al-Adil
2. Sultan Ala ad-Din Riayat Shah l-Qahhar (1539-1571)
Metal: gold
Diameter: 12 mm / 11.5 mm
Obverse: Alau al-Din ibn Ali Malik al-Zahir
Reverse: al-Sultan al-Adil
Obverse:yellow = Alau pink = al-Din orange = ibn blue = Ali red = Malik green = al-Zahir Reverse:yellow = al-Sultan red = al-Adil
3. Sultan Hussein ali Ri'ayat Shah (1571-1579)
Metal: gold
Weight: Diameter: 12.5 mm
Obverse: yellow = Ali red = ibn green = Ala blue = al-Din
orange = Malik pink = al-Zahir
Reverse: yellow = al-Sultan red = al-Adil]
4. Sultan 'Ala ad-Din bn Munawar Shah (1585-1589)
Obverse:yellow = Ali red = ibn green = Munawar blue = Shah
Reverse:yellow = al-Sultan red = al-Adil
5. Sultan Ala ad-Din Ri'ayat Shah ibn Firman Shah (1589-1604)
Metal: gold
Diameter: 12.5 mm
Obverse:yellow = Ala red = 'al-Din orange = ibn green = Firman blue = Shah
Reverse:yellow = al-Sultan red = al-Adil
6. Sultan Iskandar Muda (1607 -1636)
Metal: gold Diameter: 13 mm
Obverse:yellow = Sultan red = Sri green = Iskandar blue = Muda
Reverse:yellow = Joahn green = Berdaulat
red = bin blue = Ali orange = unexplained dot
7. Sultana Taj al-Alam Safiat ad-Din Shah (1641-1675)
Metal: gold Diameter: 13 mm
Obverse:yellow = Paduka green = Sri red = Sultana blue = Taj orange = al-Alam
Reverse:yellow = Safiat blue = al-Din red = Shah green = Berdaulat
8. Sultana Nur al-Alam Naqiat ad-Din Shah (1675-1677)
Metal: gold
Weight: 0.6 gram
Diameter: 13.5 mm
Obverse:yellow = Paduka green = Sri red = Sultana blue = Nurorange = al-Alam
Reverseale yellow = unread partsyellow = Naqiat blue = al-Din red = Shah green = Berdaulat
9. Sultana Zakiat ad-Din Inayat Shah (1678-1688)
Metal: gold
Weight: 0.6 gram
Diameter: 13.5 mm
Obverse:yellow = Paduka green = Sri red = Sultana orange = Inayat blue = Shah
Reverse: pale yellow = unread parts yellow = Zakiat blue = al-Din red = Shah green = Berdaulat
10. Sultana Zinat ad-Din Kamalat Shah (1688-1699)
Metal: gold
Weight: 0.55 gram
Diameter: 13 mm
Obverse:yellow = Paduka green = Sri red = Sultana orange = Kamalat blue = Shah
Reverse: yellow = Zinat blue = al-Din red = Shah green = Berdaulat
Metal: gold
Diameter: 13 mm
Obverse:yellow = Paduka green = Sri red = Sultana orange = Kamalat blue = Shah
Reverse: yellow = Zinat blue = al-Din pale yellow = unexplained parts green = Berdaulat pink = obscured parts
11. Sultan Perkasa Alam Sjarif Lamtui (1702-1703)
Metal: gold
Diameter: 14 mm
Obverse: yellow = Sri red = Sultan green = Perkasa blue = Alam
Reverse: yellow = Lamtui green = Berdaulat red = Shah pale yellow = unexplained dot
12. Sultan Ala ad-Din Ahmad Shah (1727-1735)
Metal: gold
Diameter: 13 mm / 14 mm
Obverse:yellow = Sultan green = Sri blue = Ala red = 'al-Din pale yellow = unexplained part
Reverse:yellow = Amhad blue = shah red = Johan green = Berdaulat pink = this part is obscured due to previous mountin
nah nie lah uang peninggalan kerajaan aceh darussalam .... silahkan ditambahkan jika ada kekurangan
KATA ironi dipakai ketika keharusan logika mengalami masalah dalam sistem wacana yang ingin menyalin realitas seutuh mungkin. Bukankah lebih masuk akal kalau musuh mengambil keuntungan, bukannya malah menolong? Tetapi apakah istilah yang bisa dipakai kalau terjadi pertentangan antara gambaran yang dibuat tentang masa lalu dan realitas yang sesungguhnya? Pemalsuan sejarah? Pasti bukan, sebab gambaran atau image bukan kronikel, yang harus memberikan fakta yang "pasti" tentang "apa, siapa, di mana, dan bila". Image hanyalah gambaran mental tentang situasi atau peristiwa masa lalu. Dan, apa pula istilahnya kalau image tentang peristiwa atau situasi di masa lalu itu dijadikan pula sebagai landasan legitimasi dari ideologi kekuasaan? Mitologisasi?
Tetapi sudahlah. Masalahnya ialah kita terlalu biasa menjadikan episode-episode tertentu dari masa lalu sebagai landasan legitimasi bagi tatanan politik yang ingin dibela. Ingat saja gaya Demokrasi Terpimpin atau bahkan Demokrasi Pancasila. Kalau yang satu menyebutkan sistem itu sebagai pantulan autentik dari "kepribadian nasional", maka yang lain mengatakan bahwa dirinya adalah pancaran "jati diri bangsa". Kedua sistem itu membanggakan diri sebagai warisan luhur nenek moyang. Hanya saja, kalau sumber-sumber sejarah yang sahih dijadikan sebagai landasan dalam usaha mengadakan rekonstruksi sejarah-sebagaimana semestinya dalam penulisan sejarah, maka kita pun berhadapan dengan gambaran situasi yang sama sekali berbeda.
Memang benar adanya kerajaan-kerajaan besar dan gemilang bisa ditemukan dalam sejarah-hasil-rekonstruksi yang sah dan kehadiran raja yang agung pun bukanlah pula semata-mata hasil imajinasi sejarawan. Namun, tak satu pun dari kerajaan atau raja yang dibanggakan itu mempunyai sistem kekuasaan dengan ciri-ciri yang pantas disebut demokratis. Bagaimana dengan Majapahit yang konon-menurut versi sejarah yang romantik dan nasionalistis-negara kedua yang mempersatukan Nusantara (sesudah Sriwijaya dan sebelum Negara Kesatuan RI)? Semakin hebat kekuasaan Majapahit semakin "sentralistis" dan otoriter sistem kekuasaannya. Studi De Casparis tentang zaman kuno Jawa memperlihatkan irama sejarah yang nyaris menetap-setiap kerajaan bermula dari situasi konsensus dan berkembang menjadi kekuasaan otoriter dan "sentralistis". Studi De Graaf dan Ricklefs tentang Mataram Baru juga memperlihatkan tendensi yang sama. Setiap raja besar dan kerajaan gemilang di tanah air kita bersandar pada sistem kekuasaan yang otoriter. Jadi, tidak ada kaitannya dengan demokrasi, apa pun kata sifat yang mau diletakkan di belakang kata ini.
Sejarah Aceh Sejarah Pergolakan
Dua bab dari buku terakhir Tony Reid, sejarawan yang semakin terkenal setelah dua jilid bukunya tentang Asia Tenggara abad ke-16 (yang disebutnya sebagai The Age of Commerce) terbit, secara khusus membicarakan perkembangan sistem kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam. Dari uraiannya yang agak mendetail ini tampak pulalah, sebagaimana studi lain pernah juga mensinyalir, bahwa Sultan Iskandar Muda (1607-1639), penguasa yang terbesar dalam sejarah Aceh, adalah pewaris takhta yang sangat berhasil menjalankan sistem kekuasaan yang "sentralistis", otoriter, dan ekspansionis, yang telah dirintis kakeknya. Jadi, betapapun mungkin "masa lalu yang gemilang" bisa memberikan kebanggaan-kebanggaan sejarah memang salah satu ciri nasionalisme, tetapi bila dipakai sebagai landasan ideologis dari kehidupan politik yang dikatakan demokratis hanya akan menimbulkan situasi dilematis yang menyesatkan.
Buku Prof Reid, yang kini menjabat Direktur Asian Research Institute, National University of Singapore, tidaklah khusus berbicara tentang sistem kekuasaan Kesultanan Aceh. Buku yang merupakan kumpulan artikel yang ditulis (tetapi mengalami revisi) dalam rentang waktu selama masa 40 tahun ini sebenarnya tampil dengan tiga tema utama.
Pertama, suatu exercise akademis dengan memperlakukan Sumatera sebagai kesatuan sejarah. Meskipun Bab 12, 13, dan 14 mencoba melihat berbagai peristiwa yang terjadi di Sumatera, khususnya masa pendudukan Jepang dan masa-masa awal revolusi, pada Bab 1, 2, 3, dan 13 penulis menghadapkan dirinya pada usaha melihat Sumatera sebagai sebuah kesatuan sejarah.
Kedua, memperkenalkan lebih mendalam aspek dan dimensi tertentu dari sejarah Aceh. Tak kurang dari tujuh bab yang khusus berbicara tentang dan mengenai Aceh dan boleh dikatakan hanya satu bab saja (Bab 9) yang nyaris tak berbicara tentang Aceh. Bab 9 ini membahas tentang migrasi Cina ke Sumatera Utara/Timur, di saat daerah ini sedang tampil sebagai pusat perkebunan yang sangat menggairahkan di abad ke-19. Sambil lalu boleh juga dikatakan bahwa bab yang cukup detail ini bisa mengingatkan kita pada kisah-kisah sedih para TKI, yang sempat menghebohkan itu. Hanya saja, di samping negara pengirim (China), ada dua negara kolonial calon penerima yang terlibat, yaitu Belanda dan Inggris, yang telah mendominasi Tanah Semenanjung. Pemerintah China sempat juga memenggal kepala seorang calo yang dituduh telah menjerumuskan pekerja migran dalam penderitaan (halaman 217).
Ketiga, mengadakan rekonstruksi berbagai peristiwa sejarah tentang perhatian bangsa lain untuk "bermain" di atas pentas sejarah Sumatera, khususnya Aceh dan Sumatera Utara/Timur. Sebagai yang keempat boleh juga disebut bab terakhir yang mempertentangkan visi kesejarahan Indonesia dan Aceh atau, lebih tepat, Hasan Tiro.
Uraian tentang berbagai aspek sejarah Kesultanan Aceh mendominasi kumpulan tulisan ini. Dari uraian ini kelihatanlah bahwa terwujudnya sistem otokrasi terkait dengan kemampuan pemegang mahkota untuk menguasai jalur perdagangan dan sumber-sumber produksi tanaman ekspor, terutama lada. Jadi, sang raja harus berhadapan dengan para "orang kaya", yang menguasai perdagangan, dan dengan para penguasa daerah. Kemampuan menjinakkan kedua unsur elite inilah yang menjamin kekuasaan sang raja. Tanpa kemampuan ini, bukan saja kestabilan pemerintahan bisa digoyahkan, keselamatan sang raja pun dipertaruhkan.
Meskipun Reid tak mengatakannya secara eksplisit, kesaksian Sheikh Nurruddin ar-Raniri dalam buku ensiklopedisnya, Bustanussalatin (ditulis awal abad ke-17) mengatakan bahwa menjelang konsolidasi kekuasaan ini hampir-hampir tak ada raja yang mangkat atau turun takhta dengan "aman". Barulah di masa pemerintahan Sultan Ala ’ad-din Ri’ayat Syah Sayyid al- Mukammil (1589-1604), masa yang disebut Reid sebagai "royal absolutism" bermula dan mencapai puncaknya di bawah Iskandar Muda. Setelah raja yang perkasa ini mangkat, proses melorotnya kekuasaan raja pun secara bertahap terjadi dan kekuasaan penguasa daerah, panglima sagi, penguasa tiga daerah dekat ibu kota, makin menaik. Iskandar Muda digantikan oleh menantunya, Iskandar Thani, karena sang sultan yang perkasa ini telah lebih dulu menghukum mati putra tunggalnya.
Ketika Iskandar Thani meninggal (1641), para orang besar kerajaan memilih jalan tengah dengan mengangkat permaisurinya (putri Iskandar Muda), Safiyyat al-Din Taj al-Alam (1641-1675) sebagai sultanah. Maka, masa pemerintahan empat sultanah pun bermula. Namun, ketika konspirasi para "orang kaya" berhasil memakzulkan sultanah yang keempat, Kamalat Syah, pada tahun 1699 dengan alasan fikih, maka berakhirlah periode "sultanah" dalam sejarah Aceh. Dan, Aceh pun mempunyai dinasti baru. Tetapi sementara itu peranan para "orang kaya" dan uluebalang semakin penting juga.
Diplomasi Aceh
Dalam konteks sejarah Aceh abad ke-16 dan ke-17 ini Reid berkisah tentang dua hal lain yang biasanya hanya disinggung sambil lalu saja, yaitu tentang festival kerajaan dan hubungan diplomatik Aceh dengan Turki. Dengan bersandar pada sumber-sumber dari para pelancong dan pedagang Barat yang datang ke Aceh, bab ini bercerita tentang berbagai macam keramaian kerajaan-perarakan gajah, perayaan hari-hari besar Islam, upacara perkawinan, penerimaan utusan asing, dan sebagainya. Pokoknya, kata Reid, "Aceh di abad ke-17 tidaklah sekadar pusat perdagangan dan kekuatan militer. Aceh adalah juga sebuah kota yang luas dan kaya yang mempunyai segala sesuatu dan kebudayaan untuk mengembangkan gaya hidup yang menyenangkan, dengan memberi waktu yang banyak bagi olahraga, hiburan, dan kemegahan". Semuanya memancarkan kebesaran dan suasana adikodrati yang menyelimuti sang penguasa (halaman 135).
Setelah Turki Usmaniyah berhasil merebut Konstantinopel (1492), kerajaan ini pun tampil sebagai kekuasaan Islam yang paling megah. Jadi, mestikah diherankan kalau Aceh Darussalam yang baru berhasil menyatukan Aceh ingin mengadakan hubungan aliansi? Kepentingan politik, keharusan perdagangan, dan solidaritas agama adalah motivasi yang terlalu kuat untuk dibiarkan lewat begitu saja, apalagi kekuatan "kafir", Portugis, yang telah menaklukkan Malaka (1511), bukan saja lawan yang harus dikalahkan, tetapi juga kekuatan yang selalu mengancam.
Usaha diplomatik Aceh dimulai oleh Sultan Ala’addin Riayat al Kahar (1539-1571), yang baru memakzulkan saudaranya. Usaha Aceh inilah yang menyebabkan Turki melibatkan diri dalam situasi dagang dan politik di kawasan Asia Tenggara. Bisa juga dipahami keterlibatan Turki ini juga mendorong kerja sama antarkerajaan Islam di Asia Tenggara. "Hubungan diplomasi tahun 1560-an antara Turki dan Aceh mencapai tingkat yang tertinggi dan merupakan unsur yang penting dalam penentuan arah politik Turki dan Aceh" (halaman 89).
Maka, jika kemudian di abad ke-19-sebagaimana dikisahkan Reid pada Bab 10-perjuangan berlandaskan cita-cita pan-Islam terjadi di berbagai pusat kekuasaan, hal ini tentu lebih mudah bisa dipahami. Aceh, Japara, Ternate, Gresik, dan Johor, katanya, adalah pusat-pusat kekuasaan yang mudah terkena cita-cita pan-Islam. Bahkan sesungguhnya meletusnya perang (kolonial) Aceh tidak bisa dipahami dengan baik tanpa mempertimbangkan peranan atau kemungkinan peranan Turki.
Sejarah Kolonial
Bab-bab tentang sejarah Kesultanan Aceh ini memang lebih banyak berbicara tentang aspek perdagangan dan struktur politik. Hal ini tentu bisa dipahami karena melalui kedua jalur inilah Aceh berjaya di perairan Selat Malaka dan di pantai barat Sumatera. Tetapi ada dua bab lagi (8 dan 11) yang menarik meskipun jika penilaian lama ingin dipakai bab-bab ini, terutama Bab 11, bisa dimasukkan ke dalam kategori "sejarah kolonial", bukan dalam pengertian moral, tetapi perspektif. Kedua bab ini bercorak penulisan sejarah yang- sebagaimana dikatakan Van Leur di akhir tahun 1930-an- dilihat dari "dek kapal dan jendela loji". Jadi lebih banyak berkisah tentang orang asing dan nyaris tak memberi tempat bagi anak negeri untuk bermain di atas pentas sejarah yang rekonstruksi itu. Tetapi memang bab-bab dipakai Reid untuk berkisah tentang berbagai pengalaman dan kelakuan orang Eropa dalam berhadapan dengan negeri yang mudah-mudahan bisa dieksploitasi dan dikuasai. Bab 8 boleh dikatakan sebagai "sejarah pinggiran" Aceh karena hanya berkisah tentang berbagai usaha orang atau Pemerintah Perancis dalam berhadapan dengan Aceh di awal abad ke-19. Maka kita pun berkenalan dengan pengalaman yang mengharukan dari dua pendeta Katolik yang masih muda yang ingin menyampaikan "berita gembira" dan tentang gunboat diplomacy yang sempat dijalankan Perancis terhadap Aceh. Abad ke-19 adalah masa menaiknya kolonialisme, tetapi di masa ini Sultan Aceh sempat juga mengadakan kontak dengan Louis Phillipe, Raja Perancis sesudah Revolusi 1830, dan Louis Napoleon, yang meniru pamannya, Napoleon Bonaparte, mengangkat diri sebagai kaisar, dan juga dengan republik yang berdiri kemudian. Sayang bagi Aceh kontak ini tak berjalan mulus. Perancis tak ingin terlibat konflik dengan Belanda.
Di samping menarik sebagai kisah, Bab 11 semakin memperjelas latar belakang agresi yang dilancarkan Belanda di tahun 1873. Bab ini berkisah tentang WH Read, seorang pedagang Inggris yang menetap di Singapura. Karena kemampuan lobinya yang hebat, ia diangkat Pemerintah Belanda sebagai konsul di kota dagang yang telah tumbuh pesat itu. Dengan jabatan ini, Read mendapat hak untuk mengeluarkan visa dengan bayaran bagi setiap kaula Hindia Belanda yang ingin naik haji. Namun, bagi Pemerintah Belanda, ia tampaknya lebih diperlukan sebagai "informan" mengenai hal-hal yang bisa merugikan kepentingan Belanda. Maka timbul juga pertanyaan, jangan-jangan telegram yang dikirimkan Read tentang usaha diplomatik Aceh untuk mendekati Amerika Serikat yang menyebabkan Belanda dengan tergesa-gesa menyerang Aceh. Serangannya ini berakibat fatal bagi Belanda dan serangan yang dilancarkan kemudian menjerumuskan Belanda dalam perang kolonial terlama dan termahal. Memang benar dalam Sumatra Treaty (2 November 1871) Inggris telah memberikan hak kepada Belanda untuk menguasai Aceh, tetapi apakah semudah itu melakukannya? Maka ketika Aceh telah mengadakan usaha diplomatik, Belanda pun kehilangan perhitungan yang matang. Dalam masa 40 tahun "perang Aceh" sekian banyak nyawa melayang di kedua belah pihak. Timbul juga pertanyaan, apakah perang yang berkepanjangan ini benih yang menumbuhkan "tradisi perlawanan" dalam budaya dan masyarakat Aceh?
Perpecahan Masyarakat Aceh
Salah satu dampak struktural dari "perang Aceh" dan kekuasaan kolonial ialah terpecahnya sistem kepemimpinan Aceh-uluebalang, yang didukung pemerintah kolonial, dan ulama, yang selalu dicurigai. Ketika Jepang telah mulai mengancam, perpecahan struktural ini semakin menampakkan dirinya dalam realitas. Ketika militer Jepang masih berada di Tanah Semenanjung, pemberontakan terhadap Belanda terjadi dan di saat kekuasaan Jepang telah semakin opresif di beberapa tempat pemberontakan terhadap Jepang juga meletus.
Ketika revolusi nasional telah sampai di Aceh seorang uluebalang yang mempunyai reputasi nasionalistis, Teuku Nyak Arief, diangkat menjadi residen republik. Tetapi di saat itu pula pertempuran terbuka antara pendukung ulama dan uluebalang di Pidie terjadi. Drama "Perang Cumbok" terjadi-rakyat Aceh telah saling membunuh. Hampir semua uluebalang Pidie mati terbunuh (awal 1946). Tak lama kemudian pemuda PUSA mengadakan "revolusi sosial" di pantai timur, dari selatan menuju utara dan sepanjang perjalanan membersihkan segala unsur yang dianggap mewakili "kekuasaan feodalisme".
Akan tetapi, "revolusi dalam revolusi" bukanlah monopoli Aceh. Revolusi sosial yang dahsyat terjadi juga di Sumatera Timur-sultan-sultan yang selama ini mendapat hak-hak istimewa pemerintah kolonial jadi sasaran. Bahkan di Sumatera Barat, dengan waktu dan tingkat intensitas yang lebih rendah, revolusi sosial juga terjadi.
Sumatera sebagai Medan dan Kesempatan
Akhirnya, kalimat pertama dari Bab I buku ini baik juga kalau dikutip: "Sumatra is a frontier. Bagi peradaban lama di sekitar Lautan Hindia ia selalu merupakan sebuah pulau misterius di Timur yang dilimpahi kekayaan-Swarnadwipa, pulau mas yang menjadi pintu masuk ke semua kekayaan Asia Tenggara. Bagi Indonesia, pulau ini adalah pulau kesempatan, kekayaan alam yang melimpah dan dinamisme ekonomi".
Tetapi bukankah aneh juga kalau pulau ini tak pernah merupakan suatu kesatuan-tidak dalam sistem kekuasaan, bahkan tidak pula dalam bayangan masa depan. Sriwijaya adalah kerajaan besar, tetapi terlupakan dalam ingatan kolektif, kehadirannya dalam sejarah adalah hasil penemuan. Kekuasaan Kesultanan Aceh di luar Aceh tak berumur panjang. Islam secara bertahap memasuki daerah pedalaman, tetapi sejak akhir abad ke-19 misi Kristen mulai pula memasuki wilayah ini, khususnya di sekitar Danau Toba. Maka cita-cita ke-Sumatera-an tak lebih daripada bayangan yang lewat di atas pentas sejarah.
Jong Sumatranen Bond dan Konferensi Persatuan Sumatera di Sibolga dan Padang di awal tahun 1920-an, bahkan juga (tetapi tak diceritakan buku ini) terbentuknya Sarekat Sumatra, hanyalah episode sejarah yang perlu dicatat saja. Kesatuan administratif Provinsi Sumatera yang berpusat di Medan, dan terpisahnya Sumatera dengan wilayah Indonesia lain, di masa pendudukan Jepang-Jawa di bawah Tentara ke-16, Indonesia bagian timur di bawah angkatan laut, sedangkan Sumatera di bawah kekuasaan Tentara ke-25-tidak mengubah kecenderungan akan keterikatan Sumatera dengan wilayah lain. Malah yang terjadi ialah sekian banyak "anak Sumatera" yang tampil sebagai pelopor nasionalisme Indonesia. Rupanya perbedaan internal yang kompleks seakan-akan telah menjadikan nasib Sumatera hanya mempunyai dua pilihan: terpecah-pecah atau terikat dalam kesatuan lain di luar dirinya.
Bahkan ketika Jepang akhirnya memutuskan untuk mengikutsertakan Sumatera dalam persiapan kemerdekaan Indonesia, pemerintah militer tidak mengirim para tokoh yang telah sempat meneguhkan kedudukan mereka sebagai pemimpin Sumatera yang disegani. Pemerintah militer Jepang memilih tokoh-tokoh lain sebagai wakil Sumatera. Maka bisa diperkirakan bahwa ketika Pemerintah RI yang baru berumur dua-tiga hari mengangkat mereka sebagai gubernur dan wakil gubernur Provinsi Sumatera-TM Hassan dan M Amir-mereka sangat tergantung pada legitimasi yang diberikan Soekarno-Hatta. Tetapi sementara itu daerah-daerah yang telah mempunyai kepemimpinan yang kuat dengan segera menampilkan diri sebagai kekuatan republik.
Berbagai peristiwa di masa revolusi, seperti Konferensi Sumatera yang disponsori Negara Sumatera Timur, di Medan (1949), dan bahkan kemudian, ketika kekecewaan daerah kepada pusat telah semakin memuncak, dengan meletusnya PRRI/Permesta (1958) ternyata kekuatan nasionalisme Sumatera tak berarti apa-apa. Perbedaan internal tak bisa diabaikan. Tetapi dinamika yang langsung atau tidak didorong oleh kolonialisme penting diketahui. Keamanan relatif di bawah kolonialisme mendorong terjadinya migrasi. Kemudian ternyatalah bahwa gerak ke arah modernisasi lebih banyak berasal dari orang pedalaman, yang bertani di lembah-lembah dataran tinggi, yang bermigrasi itu. "Nenek moyangku orang pelaut" hanyalah nyanyian romantik, tetapi kemajuan dalam pendidikan digerakkan oleh orang dari pedalaman-Batak, Minangkabau, dan Minahasa secara statistik lebih maju dalam pendidikan.
Begitulah buku yang terdiri dari 15 bab ini membawa kita menjelajahi berbagai aspek sejarah Sumatera. Dengan buku ini Reid memberikan kesempatan kepada kita untuk membaca tulisan-tulisannya yang tersebar di lima belas penerbitan. Harus diakui juga bahwa kumpulan tulisan bisa menyebabkan penasaran. Coba kalau hal-hal ini dan itu dibicarakan juga, bukankah kita akan mendapatkan gambaran yang lebih utuh tentang tema utama? Jika aktivitas dan peranan para ulama besar seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani, Abdur Rauf al-Singkili, dan Nurruddin ar-Raniri dibicarakan, barangkali arti Aceh dalam sejarah "dunia Melayu" akan semakin kelihatan. Kalau Reid juga membicarakan komposisi etnis dan interpenetrasi etnis bukankah pengetahuan kita tentang Aceh semakin mendalam, karena Aceh pun hanyalah kesatuan etnis terbesar saja di daerah yang disebut Aceh itu? Dan seterusnya.
Tetapi sebaliknya, kumpulan tulisan memberikan kita pengetahuan yang relatif utuh tentang hal-hal tertentu tanpa harus mengikatkannya dalam suatu kesatuan besar. Keterpenggalan dalam mengupas masalah ternyata mempunyai fungsi penting juga dalam pengerjaan keilmuan. Maka begitulah, sebuah buku yang sangat berharga bagi mereka yang ingin memperdalam pengetahuan sejarah, bukan saja tentang Sumatera dan Aceh, tetapi bahkan juga Indonesia dan Asia Tenggara, telah dihasilkan. Dengan buku ini Reid kembali membuktikan dirinya sebagai sejarawan yang lebih tertarik pada penemuan fakta yang sahih daripada berspekulasi tentang bagaimana "masa lalu itu semestinya" dipahami
mendambakan masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda, pada masa Aceh menjadi Negara Islam. Di zaman itu, pemerintahan memiliki dua cabang, sipil dan militer. Keduanya didirikan dan dijalankan menurut ajaran agama Islam. Pemerintahan semacam itu mampu memenuhi semua kebutuhan zaman moderen. Sekarang ini kami ingin kembali ke sistem pemerintahan semacam itu". (Boyd R. Compton, Surat-Surat Rahasia Boyd R.Compton, Jakarta: LP3ES, 1995)
Siapakah Dia?
Teungku M. Daud Beureueh dilahirkan pada 15 September 1899 di sebuah kampung bernama "Beureueh", daerah Keumangan, Kabupaten Aceh Pidie. Kampung Beureueh adalah sebuah kampung heroik Islam, sama seperti kampung Tiro. Ayahnya seorang ulama yang berpengaruh di kampungnya dan mendapat gelar dari masyarakat setempat dengan sebutan "Imeuem (imam) Beureueh". Teungku Daud Beureueh tumbuh dan besar di lingkungan religius yang sangat ketat. Ia tumbuh dalam suatu formative age yang sarat dengan nilai-nilai Islam di mana hampir saban magrib Hikayat Perang Sabil dikumandangkan di setiap meunasah (masjid kampung). Ia juga memasuki masa dewasa di
bawah bayang-bayang keulamaan ayahnya yang sangat kuat mengilhami langkah hidupnya kemudian.
Orang tuanya memberi nama Muhammad Daud (dua nama Nabiyullah yang diberikan kitab Alquran dan Zabur). Dari penamaan ini sudah terlihat, sesungguhnya yang diinginkan
orang tuanya adalah bila besar nanti ia mampu mengganti posisi dirinya sebagai ulama sekaligus mujahid yang siap membela Islam. Karena itu, pada masa-masa usia sekolah,
ayahnya tidak memasukkan beliau ke lembaga pendidikan resmi yang dibuat Belanda seperti: Volkschool, Goverment Indlandsche School, atau HIS. Namun lebih mempercayakan kepada lembaga pendidikan yang telah lama dibangun ketika masa kerajaan Islam dahulu semodel dayah/zawiyah. Yang menjiwai ayahnya adalah semangat anti-Belanda/penjajah yang masih sangat kuat. Apalagi ketika itu Aceh masih dalam
suasana perang di mana gema Hikayat Perang Sabil masih nyaring di telinga masyarakat Aceh.
Dalam pusat pendidikan semacam ini, Daud ditempa dan dididik dalam mempelajari tulis-baca huruf Arab, pengetahuan agama Islam (seperti fikih, hadis, tafsir, tasawuf, mantik, dsb), pengetahuan tentang sejarah Islam, termasuk sejarah tatanegara dalam dunia Islam di masa lalu, serta ilmu-ilmu lainnya. Dari latar belakang pendidikan yang diperolehnya ini, tidak disangsikan lagi, merupakan modal bagi keulamaannya kelak.
Sekalipun tidak mendapatkan pendidikan Belanda, namun dengan kecerdasan dan kecepatannya berpikir, beliau mampu menyerap segala ilmu yang diberikan kepadanya itu, termasuk bahasa Belanda. Kebiasaannya mengkonsumsi ikan, yang merupakan kebiasaan masyarakat Aceh, telah membuatnya menjadi quick-learner (mampu belajar cepat).
Kemampuan yang luar biasa ini, sebagian besar karena ia merasa menuntut ilmu adalah wajib. Maka belajar tentang segala sesuatu, dipersepsikannya hampir sama dengan
"mendirikan shalat". Dalam usia yang sangat muda, 15 tahun, ia sudah menguasai ilmu-ilmu Islam secara mendalam dan mempraktekkannya secara konsisten. Dengan segera pula ia menjadi orator ulung, sebagai "singa podium." Ia mencapai popularitas yang cukup luas sebagai salah seorang ulama di Aceh. Karena itu, beliau mendapat gelar "Teungku di Beureueh" yang kemudian orang tidak sering lagi menyebut nama asli beliau, tetapi nama kampungnya saja. Ketenaran seorang tokoh di Aceh senantiasa melekat pada kharisma kampungnya. Kampung adalah sebuah entitas politik yang pengaruhnya ditandai dengan tokoh-tokoh perlawanan. Dari kenyataan ini, seorang yang terlahir dari sebuah entitas resisten, tidak akan pernah berhenti melawan sebelum cita-cita tercapai. Kendatipun pihak lawan menggunakan segala daya dan upaya untuk membungkam perlawanan tersebut.
Dari PUSA Menuju Darul Islam
Untuk membungkam dan memadamkan perlawanan Muslim Aceh, Belanda, atas saran Snouk Hourgronje, melakukan pengaburan konsep tauhid dan jihad. Belanda membuat aturan pelarangan berdirinya organisasi-organisasi politik Islam. Restriksi ini membuat para ulama di Aceh berang dan ingin mengadakan pembaruan perjuangan melawan penjajah Belanda. Maka atas inisiatif beberapa ulama yang dipelopori oleh Teungku Abdurrahman, dibentuk sebuah organisasi yang bernama PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) di Matang Glumpang Dua. Dalam kongres pembentukannya, dipilihlah Teungku Muhammad Daud Beureueh sebagai ketua. Aceh adalah negeri sejuta ulama, dan mengetuai organisasi politik ulama berarti juga secara de facto menjadi "Bapak Orang-Orang Aceh".
Semenjak itu, Daud Beureuh memegang peranan sangat penting di dalam pergolakan-pergolakan di Aceh, dalam mengejar cita-citanya menegakkan keadilan di bumi Allah dengan dilandasi ajaran syariat Islam. Sehingga, umat Islam dapat hidup rukun, damai dan sentosa sebagaimana yang dulu pernah diperbuat oleh raja-raja Islam sebelum mereka. Menurut catatan Compton, "M Daud Beureueh berbicara tentang sebuah Negara Islam untuk seluruh Indonesia, dan bukan cuma untuk Aceh yang merdeka. Ia meyakinkan, kemerdekaan beragama akan dijamin di negara semacam itu, dengan menekankan contoh mengenai toleransi besar bagi penganut Kristen dalam
negara-negara Islam di Timur Dekat. Kaum Kristen akan diberi kebebasan dan dilindungi dalam negara Islam Indonesia, sedangkan umat Islam tidak dapat merasakan kemerdekaan sejati kalau mereka tidak hidup dalam sebuah negara yang didasarkan atas ajaran-ajaran Alquran."
Langkah awal dalam upaya itu adalah mengusir segala jenis penjajahan yang pernah dipraktekkan Belanda, Jepang, dan zaman revolusi fisik (1945-1949) pada awal kemerdekaan, maupun ketika Aceh berada di bawah kekuasaan Orde Lama Soekarno dan Orde Baru Soeharto. Sejak saat itulah, Teungku Daud Beureueh diyakini oleh orang-orang sebagai "Bapak Darul Islam".
Daud Beureueh dikenal luas sebagai Gubernur Militer Aceh selama tahun-tahun revolusi. Tetapi ketika jabatannya sebagai Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo dicabut oleh PM Mohammad Natsir, ia hidup tenang-tenang di desanya --tampaknya seperti pensiun.
Setelah Aceh masuk ke dalam Republik Indonesia Komunis (RIK) di bawah panji Pancasila, Daud Beureueh diberi jabatan Gubernur Kehormatan dan diminta menetap di Jakarta sebagai penasihat di Kementerian Dalam Negeri. Ia tidak menerima penghormatan ini. Satu-satunya tindakan pentingnya yang diketahui umum adalah pada saat ia mengetuai Musyawarah Ulama Medan, April 1951. Setelah musyawarah itu, Daud
Beureueh melakukan tur singkat keliling Aceh, memberikan ceramah-ceramah provokatif bernada mendukung ide Negara Islam. Ia kemudian kembali ke desanya, dan --membuat takjub penduduk Medan yang sudah maju-- membangun sebuah tembok besar dan masjid sungguhan dengan tangannya sendiri. Daud Beureueh lebih tampak sebagai pensiunan perwira militer ketimbang sebagai ahli agama, meskipun ia menyandang gelar teungku.
Teungku Daud Beureueh adalah "Bapak Orang-Orang Aceh" yang tetap tegar meski dikecewakan oleh kaum fasiqun di Jakarta. Dengan postur tubuhnya yang kurus tapi kuat, ia adalah tipe manusia ideal. Sebagaimana dicatat oleh Compton, dari bawah pecinya, rambut kelabunya yang dipangkas pendek kontras dengan wajahnya yang muda dan coklat kemerahan. Bicaranya lugas, bahkan pernyataannya banyak yang blak-blakan. Misal: "Saya tanya, apakah pemerintahan seperti itu mampu mengatasi masalah-masalah Aceh sekarang ini? Ya, ambillah pengairan sebagai contoh. Pada zaman Iskandar Muda,
dibuat saluran dari sungai yang jauhnya sebelas kilometer dari sini menuju laut. Daerah Pidie menjadi sangat makmur. Dibuat pula saluran lain tak jauh dari yang pertama, keduanya dikerjakan oleh ulama. Beda dengan ulama zaman sekarang, pemimpin-pemimpin di masa itu tak takut sarung mereka kena lumpur. Sekarang saluran-saluran itu sudah rusak, dan hasil panen padi merosot. Sebelum terjadi perang, Aceh biasa mengekspor beras untuk kebutuhan seluruh wilayah Mardhatillah Sumatera Timur. Sekarang kita mengimpor beras dari Burma".
Dalam impiannya, ia melihat sebuah Aceh yang sejahtera di bawah pimpinan kelompok ulama yang ditampilkan kembali. Di masa keemasan itu, hanya orang-orang yang benar-benar berpengetahuan yang dapat menjadi ulama. Sedangkan di zaman modern ini, hampir setiap orang dengan bermodalkan "taplak meja dililitkan di leher" bisa mengaku berhak untuk disebut ulama.
Daud Beureueh bicara dengan gelora dan kesungguhan tentang perlunya pembaruan. Setelah semua kemungkinan terbentuknya sistem politik Islam sirna dan janji-janji
Soekarno akan menjadikan Indonesia sebagai Negara Islam tidak pernah ditepati, maka jiwa jihad Teungku Daud Beureueh pun bergolak. Ia kemudian menjadikan Aceh sebagai "Negara Bagian Aceh-Negara Islam Indonesia" (NBA-NII) dan berjuang hingga tahun 1964 di gunung-gemunung Tanah Rencong. Soekarno, meskipun terkenal hebat di mata orang-orang Aceh, namun karena penipuannya terhadap orang Aceh, nama Soekarno
identik dengan berhala yang harus ditumbangkan.
Compton bisa memahami mengapa orang-orang membandingkan Daud Beureueh dengan Soekarno yang cemerlang sebagai orator massa. Seandainya keduanya berpidato di sebuah acara yang sama, konon Soekarno akan menjadi juara kedua jika pendengarnya orang Aceh, terutama kalau sang "Singa Aceh" sudah mulai gusar dan marah.
Sementara ia terus bicara tentang pemerintahan Islam di Aceh, Compton merasa bahwa aneka kasak-kusuk yang ia bawa dari Medan menjelang Pemilu 1955 telah sangat
menyesatkannya. Ketika Compton menanyakan apakah sikap ini tak mengandung semacam kontradiksi, Teungku Daud Beureueh menandaskan, sebagai sebuah negara demokrasi, Indonesia harus tunduk pada kehendak-kehendak mayoritas Muslim. Ia yakin partai-partai Islam akan menang besar dalam sebuah pemilihan umum.
Daud Beureueh melihat ada tiga kelompok di Indonesia dewasa ini: kaum komunis yang menginginkan negara Marxis-ateistik, umat Islam yang menghendaki Negara Islam, dan golongan nasionalis tertentu yang mau menghidupkan kembali Hinduisme-Jawa (Negara Pancasila). Ia cemas bahwa golongan Hindu dan Marxis sedang mengakar, tapi mereka
sendiri khawatir kalau pemilihan umum diadakan, sebab mereka pasti kalah. Karena alasan ini, menurut Daud Beureueh, mereka akan berusaha habis-habisan untuk menunda-nunda pelaksanaan pemilu. Ketika itu Teungku Daud Beureueh masih berharap dengan Pemilu, namun setelah ia sendiri terjungkal oleh seorang Perdana Menteri yang merupakan output dari sistem pemilu, ia kemudian melabuhkan harapan hanya pada
perjuangan fisik. Islam telah dikalahkan secara diplomatis oleh kemenangan-kemenangan Partai Islam yang tidak memberi manfaat apapun bagi asersi politik Islam.
Akibat sikapnya ini, Teungku Abu Daud Beureueh kemudian dilumpuhkan secara sistematis oleh Pemerintah Orde Baru. Ia kemudian meninggal pada tahun 1987 dalam keadaan buta --buta yang disengaja oleh Orde Baru-- dan dalam suatu prosesi
pemakaman yang sangat sederhana, tanpa penghormatan yang layak dari orang-orang Aceh yang sudah terkontaminasi oleh ide-ide sekuler. R William Liddle yang sempat menghadiri upacara pemakaman Teungku Daud Beureueh menggambarkan
bagaimana mengenaskannya saat-saat terakhir dan pemakaman pemimpin Aceh yang terbesar di paruh kedua abad keduapuluh. "Saya hadir di situ, antara lain, sebagai ilmuwan sosial dan politik untuk mengamati sebuah kejadian yang bersejarah, yang mungkin akan melambangkan sesuatu yang lebih besar dan penting dari upacara pemakaman biasa. Namun, --menurut penglihatan Liddle sebagai pengamat asing-- dalam kenyataannya, meninggalnya Teungku Abu Daud Beureueh adalah "meninggalnya seorang suami dan ayah yang dicintai, seorang alim yang disegani, dan seorang pemimpin masyarakat sekitar yang dihormati." Tidak lebih dari itu. Seakan-akan dan
memang inilah kesimpulan Liddle waktu itu bahwa zaman kepahlawanan Teungku Abu Daud Beureueh telah berlalu, hampir tanpa bekas. Bersamaan berpulangnya "Bapak Orang-Orang
Aceh", maka Aceh kemudian memasuki babak baru pembangunan dan modernisasi yang gempita di mana kemaksiatan dan sekulerisme adalah agama baru yang disambut kalangan terpelajar perkotaannya secara sangat antusias.
Al Chaidar
Copyright© Suara Hidayatullah, 1999
Namun, dalam kurun waktu kira-kira empat abad, ajaran-ajaran Fanshuri dan Ar-Raniri dapat diwariskan rakyat Aceh dalam wacana sastra lisan (Oral History). Oral history itu terformat dalam banyak bentuk pola karya sastra berupa haba (baca: khabar) dan hikayat. Hikayat merupakan satu bentuk oral history yang paling populer di Aceh dan paling membangkitkan semangat perjuangan melawan kolonial di Aceh.
Lewat hikayat ini pulalah rakyat Aceh menerima warisan "Martabat Tujuh" dari ajaran Hamzah Fanshuri dan Ar-Raniri. Ini salah satu dasar yang mengilhami perjuangan Aceh sampai munculnya hikayat paling terkenal Hikayat Perang Sabil. Yang dikarang Haji Muhammad Pantekulu. Ia lebih dikenal dengan panggilan Cik Pantekulu.
Sebelum memulai tulisan ini lebih lanjut, ada baiknya penulis ingin mengutarakan landasan Kebudayaan Islam yang menopang kehidupan dan gerak maju umat ini di setiap wilayah (negeri) kaum Muslimin. Penulis sangat tertarik dengan sebuah judul tulisan Roger Garaudi berjudul "Segala Seni Membawa Kepada Mesjid dan Segala Mesjid Membawa Kepada Shalat" dalam bukunya Promeses de l'lslam ('Janji-janji Islam'). 40 tahun lalu, Sidi Gazalba juga pernah menulis judul semacam ini, namun dalam tinjauan yang berbeda. Dari tulisan Garaudi tersebut, dalam gambaran kebudayaan Islam, masjid demikian mulia artinya. Dapatlah dimengerti, mengapa umat Islam Aceh demikian sangat marah tatkala orang-orang Belanda membakar Masjid Raya Banda Aceh pada tahun pertama 1873 aneksasi Beollanda terhadap Aceh. Setiap orang Aceh yang sadar arti masjid mengamuk dan menghantam menyerang Belanda dengan sengitnya di ibu kota Banda Aceh Darus-Salam yang setelah ditaklukkan Belanda menjadi Kutaraja.
Dalam Islam, kebudayaan (termasuk kesenian) bukanlah tujuan dalam praktik hidup mereka. Kebudayaan selalu diletakkan di bawah agama. Ini akan menjadi jelas bila kita ambil pola pembagian kebudayaan oleh antropolog Barat begitu juga sebagian antropolog Timur seperti Kuntjaraningrat dan Gazalba. Dalam pebagian sub-sub kebudayaan itu, agama dijadikan tujuan hidup. Bagi kalangan Muslim, agama sebagai praktik hidup boleh ditaruh di antara sub-sub kebudayaan, sedangkan sub-sub kebudayaan harus dilandasi agama sebagai tujuan terakhir. Dengan bahasa lain, secara makro agama menguasai sub-sub kebudayaan.
Dalam mahkota kebudayaan Islam, selalu tercantum Alquran pada tingkat tertinggi, Hadis pada tingkat kedua dan Qiyas pada tingkat ketiga. Di bawah tiga mahkota inilah sub-sub kebudayaan diletakkan, antara lain: Kehidupan sosial, ekonomi, politik, iptek, filsafat, seni, dan agama. Ketujuah sub kebudayaan ini mengacu kepada 4 (empat) nilai, antara lain, nilai historis, nilai estetik, nilai etik, dan nilai makna atau tujuan akhir. Inilah jawaban dari sebuah pertanyaan dari artikel seminar Historiografi Karl A. Stenbrink, di IAIN Sunan Kalijaga tahun 1985 yang termaktub "Bagaimana Menentukan Unsur Agama Dalam Kehidupan Sosial Politik?" (Lihat Muin Umar, Dua Dimensi, Yogyakarta, Mei 1985).
Rasa cinta agama
Mr. S.M. Amin dalam karanganya "Sejenak Meninjau Aceh, Serambi Mekah", memaparkan bahwa rasa cinta agama dan kemerdekaanlah yang menjiwai masyarakat Aceh melawan kafir (kaphee) Belanda dalam perangnya melawan kolonialisme Belanda. (Bunga Rampai Tentang Aceh hal; 46, Bhratara Jakarta, 1980)
Tidaklah asing jika seorang kopral marsose, seorang veteran Perang Aceh, H.C. Zentgraaff, yang kemudian menjadi direktur utama surat kabar berbahasa Belanda terbesar di Hindia Belanda Java Bode melaporkan tulisan-tulisannya yang sangat fair pandangan matanya tentang perlawanan dan kepahlawanan rakyat Aceh. Suatu penilaian yang sama sekali berbeda dengan kebanyakan penulis Belanda yang menaruh atau melemparkan seluruh sifat jelek dan kebinatangan kepada rakyat Aceh. Zentgraaff memiliki kekaguman yang luar biasa kepada rakyat Aceh yang sungguh heroik. Ia menulis bukan berdasar suatu tinjauan selintas (seketika) sebagaimana kebanyakan wartawan memotret satu kejadian dengan sekali jepret tanpa pendalaman lebih jauh ke dalam peristiwa. Zentgraaff meninjau segala-galanya (hampir dari semua sisi) suatu kejadian yang ditemuinya di medan perang Aceh yang besar dan banyak menghabiskan kas negara Belanda itu. Catatan-catatan Zentgraaff disatukan menjadi buku dengan judul De Atjeh yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berjudul Perang Aceh.
Aceh di abad ke-19, tepatnya sejak awal aneksasi Belanda terhadap wilayah ini 24 Januari 1873, menjadi daerah yang paling banyak dibicarakan dalam peta politik internasional saat itu. Kengerian Belanda terhadap Aceh sama dengan kengerian Amerika terhadap Vietnam tahun 1960-1975 yang menyebabkan Amerika menyerah sebelum pertempuran resmi berakhir. Sebagaimana Aceh, Vietnam juga sangat menguras kas negara Paman Sam pada tahun 1960-an itu.
Catatan bagi banyak penulis Orientalis, ibadah ritual Haji sangat mengilhami banyak perlawanan umat Islam di negeri-negeri terjejah sejak terbukanya jalan ke Timur yang dimulai oleh perjalanan sukses Vasco da Gama dan Colombus melewati Tanjung Harapan di Afrika Selatan. Hal ini juga tak terelakkan bagi Cik Pantekulu, (Haji Muhammad Pantekulu) yang berkenalan dengan Gerakan Wahabi di Tanah Suci di abad ke-18 atau awal abad ke-19. Selain itu, ia juga berkenalan dengan tokoh kebangkitan Islam Jamaludin al-Afghani, Sayid Qutb, Sayid Rasyid Ridha, dan lain sebagainya.
Cik Pantekulu adalah seorang ulama, yang pada waktu berada di Makkah banyak membaca epos perang di zaman Rasul, antara lain Hikayat Perjuangan Hasan bin Tsabit, Hikayat Pejuang Khalid Bin Walid Perjuangan Kaab bin Zubair, Kepemimpinan Umar bin Khaththab, yang kesemua cerita tersebut tertuang dalam syair-syair berbahasa Arab yang bercita rasa sastra tinggi dan kehalusan bahasa yang sulit ditandingi saat itu.
Dianeksasi Belanda
Pada waktu itu Cik Pantekulu sudah tahu bahwa bulan Januari 1873 Aceh dianeksasi penjajah Belanda dan membakar Masjid Raya Banda Aceh Darussalam. Nama kota Banda Aceh diganti kolonial dengan nama Kutaraja. Ulama Aceh yang cukup besar pengaruhnya di Aceh, Syekh Abdus Saman (lebih dikenal Syekh Saman) mengumpulkan para ulama lainnya untuk membangkitkan semangat juang rakyat Aceh melawan Kaphee Belanda. Syekh Saman menciptakan satu tari perang yang disebut "tari Saman" yang diselingi pembacaan selawat (puji-pujian kepada Nabi) dan disampirkan pula dengan syair berbahasa Aceh agar dapat dimengerti oleh pejuang-pejuang Aceh pesan yang disampaikan Syekh Saman kepada pemuda dan pemudi Aceh. Syair-syair yang diselipi di antara selawat nabi dalam tari Seudati yang menggelora itu, mengajak pejuang-pejuang Aceh berjuang tanpa henti melawan penjajah, memerangi musuh-musuh Allah yang tak pernah henti-henti mencoba menghancurkan agamanya di mana-mana. Satu dari syair yang diselipi di antara selawat dalam tari seudati itu berbunyi:
"Jak tamurang hai boh atee
mujak matee beuta ridla
hudon adoe gulam beuda
jak prang kaphee cang belanda
artinya:
Pergi berperang wahai jantung hatiku
relakan walau pun mati akhirnya
bangunlah dik, sandang senapan
pergi perangi kafir belanda laknat ilahi
Cik Pantekulu yang sudah lama bermukim di Tanah Suci melaksanakan ibadah haji dan menuntut ilmu, 28 tahun setelah belanda menganeksasi Aceh, memutuskan untuk pulang ke tanah airnya dengan menumpang kapal laut. Dalam perjalanannya antara Mekah-Banda Aceh, ia menulis banyak syair-syair pembangkit semangat perang melawan penjajah kaphe Belanda yang akhirnya dikenal dengan kumpulan syair Hikayat Perang Sabil atau (Hikayat Perang Sabee) di tahun 1881. Kita tak perlu heran dengan kemapuan Cik Pantekulu mencipta puisi-puisi "Hikayat Perang
Sabee" atau kemapuan Syekh Saman menciptakan tari Seudati yang menggelorakan setiap darah pemuda Aceh mengingatkan kezaliman penjajah Belanda di masa lalu.
Aceh jauh sebelum kedatangan Belanda di Tanah Rencong merupakan gudang para ulama sekaligus gudang pemikir keagamaan, tokoh sufi yang punya kemampuan menulis, baik masalah agama, tasawuf, maupun sastra. Hamzah Fanshuri dikenal sebagai bapak "Pantun Melayu" yang pertama menciptakan pantun yang diakui di Indonesia, Malaysia, Brunei, dan Singapura. Kemudian Aceh dalam masa Pergolakan menentang kolonial Belanda, menemukan dimensi baru penciptaan syair-syair perlawanan penuh semangat menentang kezaliman kaphee Belanda.
Inilah bentuk perkembangan syair (kesusastraan) Aceh 4 (empat) abad setelah ditinggalkan bapak Kesusasteraan Melayu Hamzah Fanshuri yang banyak bermuatan tasawuf, filsafat, agama, kini berubah menjadi syair penuh gelora yang menyalakan semangat perang karena musuh bukan lagi dalam bentuk wacana, tapi secara fisik sudah di depan mata dan mendahului mereka menyerang umat Islam. Berarti, setelah terputusnya persajakan Aceh selama kurang lebih 4 (empat) abad kemudian barulah diteruskan warisan kepenyairan Aceh yang besar itu oleh Cik Pantekulu yang melahirkan kumpulan puisi Hikayat Perang Sabil. Dalam antologi ini, gambaran surga menjadi jelas dan nyata di mata rakyat Aceh, rasa berada di sisi Tuhan apabila syahid di medan juang, kegembiraan menemui maut di medan jihad adalah harapan yang terus bergaung dan dipompakan kepada rakyat.
Dalam syair tersebut terungkap bahwa kemenangan Aceh pasti ada di tangan Allah SWT. Hal ini membuat seluruh rakyat Aceh tak kenal lelah untuk berjuang. Inilah satu karya Ci Pantekulu yang diciptakannya dalam perjalanan pulang dari Makkah ke tanah air yang dicintainya yang sedang dirundung malang dijajah oleh Kaphee Belanda:
Dalam seuruga na saboh ayoen
me alon-alon, mengisa-gisa
soe teumeeneng ek lam ayoen nyan
seulamat iman atee lam dada"
artinya:
Dalam surga ada sebuah ayunan
beralun-alun berputar-putar
siapa yang naik dalam ayunan
selamat iman dalam dada
Syair-syair itu dibacakan malam-malam oleh para ulama kepada pemuda-pemudi, sebelum besok pagi bersiap-siap menyerang Belanda di markas-markas pertahanan mereka di kota seperti Kutaraja, Pidie, Singkel, dsb. Sering syair tersebut dilagukan sambil maragakan tari "Seudati" yang kian menambah semangat mereka untuk bertempur menjemput kemenangan. Para pemuda yang dipimpin para ulama sangat yakin bahwa surga ada di sisi Allah sebagai imbalan jerih payah mereka mengadakan perlawanan sengit (baca: berjihad) melawan kezaliman Belanda.
Bila banyak penulis Belanda dalam banyak bukunya (terkecuali H. C. Zentgraaff) menggambarkan orang Aceh itu sejenis binatang buas, tak beradab, tak memiliki sopan santun, para ulama Aceh juga menyebarkan persepsi yang juga sama terhadap penjajah yang dianggap sebagai anjing, sekelompok manusia kelas rendah, atau hewan buruan yang layak ditombak dan disantap dagingnya ramai-ramai. Suatu paradoks dalam perjuangan antara dua pihak, penjajah dan bangsa yang berjuang tak mau dijajah. Untuk ucapan para ulama terhadap kaphee Belanda yang dianggap anjing, dikukuhkan oleh ungkapan seorang ulama muda, Teungku Abdul Jalil (32 tahun), yang berasal dari Aceh Utara di tahun 1942 di mana Jepang baru saja masuk ke Aceh yang lebih hina lagi martabatnya dibanding Belanda: Tale Ase, jitamong bui/ (Kita usir anjing, yang masuk babi) Lihat Nourouzzaman As-Shidqi, dalam Muin Umar, Dua Dimensi, Yogyakarta, 1985. Anjing adalah simbol bagi penjajah Belanda, sedangkan kedatangan Jepang yang masuk ke Aceh disimbolkan sebagai babi. Berikut lanjutan Hikayat Perang Sabil dari Cik Pante Kulu:
Jak kutatak ayak kudangdi
ie mon hayati ie krueng kaukousa
nyang teumeng jieb ie man hayati
nyang prang sabi asoe seuruga
tulong Allah majizat Nabi
nyang cang kaphe asoe seuruga
yang artinya
mari kutatak ayak kudang di
air perigi hayati serupa sungai kausar
yang dapat minum air perigi untuk hidup
hanya yang berperang sabil
tolong ya Allah mukjizat Nabi
yang bukan kafir, pasti isi surga
Tak terbayang, bagaimana hebatnya daya juang rakyat Vietnam saat melawan Yankewe (Amerika) di tahun 1960-1975-an. Begitu juga kita membayangkan kenberanian pemuda-pemudi Palestina yang mengantongi bom dalam ranselnya, lalu meledakkan diri di tengah komunitas Yahudi Israel yang sudah setengah abad menjajah bangsa Palestina. Agaknya gambaran seperti itu tak melebihi apa yang diperankan pemuda-pemudi Aceh melawan Belanda dari 1873 sampai masuknya Jepang ke tanah Aceh 1942. Dalam hal ini, Cik Pantekulu mengingatkan pemuda-pemudi Aceh bahwa jangan lagi ingat kenikmatan dunia, demi surga di sisi-Nya,
Bungong kayee le putik han jimat
alamat kilat ujeuen keuneung sa
nuntulong lon he malaikat
tak le teu ingat ke nekmat donya
Tentara Bentukan Kolonial Belanda DiIndonesia
9:04 PM | Kolonial Belanda DiIndonesia Untuk mendukung kekuasaannya di Indonesia, selain mendatangkan balatentaranya sendiri, Belanda juga membentuk berbagai pasukan di Indonesia yang prajuritnya berasal dari penduduk setempat atau pribumi, tujuannya adalah untuk lebih mengenali karakter rakyat Indonesia selain tentu untuk mengadudomba, agar persatuan dan kesatuan rakyat Indonesia terpecah belah.
Berbagai Pasukan tersebut diantaranya adalah :
Mardijkers, Sejak zaman VOC, keturunan dari mereka yang telah bebas dari perbudakan, atau yang dapat membeli kemerdekaannya, dan kemudian bersedia menjadi serdadu “Kumpeni”, dinamakan Mardijkers. Mereka kebanyakan keturunan serdadu-serdadu pribumi yang ditawan oleh Spanyol dan Portugis, ketika Belanda perang melawan kedua negara tersebut. Setelah dibebaskan, mereka bertugas kembali di ketentaraan VOC, dan secara tradisional, keturunan merekapun menjadi serdadu “kumpeni.” Kemudian masuk juga mantan budak-budak yang berasal dari India dan Afrika, yang becampur dengan budak-budak yang berasal dari Sulawesi, Bali dan Melayu. Hampir seluruhnya menganut agama kristen. Mereka berpakaian seperti orang Portugis dan menggunakan bahasa Portugis-Kreol. Sampai abad 18 orang-orang Mardijkers tinggal di kampung-kampung di Batavia.Tahun 1777 masih terdapat 6 kompi Mardijkers (sekitar 1.200 orang) di dinas ketentaraan VOC yang bertugas menjaga perumahan Belanda di dalam kota. Tahun 1803 masih trsisa satu kompi, dan kompi terakhir dibubarkan tahun 1808.Ketika masih berlangsung perbudakan di India-Belanda di mana diberlakukan passenstelsel (semacam kartu tanda penduduk-KTP), di tempat-tempat di mana diminta untuk menunjukkan KTP, mereka biasanya mengangkat satu tangan ke atas sambil mengatakan “mardijkers”, yang lama kelamaan diartikan sebagai “merdeka”!
Marechaussée, Marechaussée sendiri sebenarnya merupakan unit pasukan kepolisian, yang berakar pada masa penjajahan Prancis di Belanda. Berdasarkan dekrit Republik Bataaf yang didirikan oleh Prancis, pada 4 Februari 1803 dibentuk unit kepolisian yang dinamakan Marechaussée, namun tidak langsung dilaksanakan. Pada 1805 dibentuk satu unit Gendarmerie (semacam Brigade Mobil - Brimob), dan baru pada 26 Oktober 1814, setelah Republik Bataaf diganti dengan Kerajaan Belanda (wangsa Oranye), berdasarkan dekrit no. 498 yang dikeluarkan oleh Raja Belanda, Willem I, secara definitif dibentuk Koninklijke Marechaussée.Kata Marechaussée sendiri mempunyai akar yang sangat panjang, yaitu sejak masa pengadilan kuno di Paris tahun 1370 yang dinamakan “Tribunal of Constables and Marshals of France”. Constable dan Marshall ini kemudian menjadi anggota Gendarmerie, yang merupakan kekuatan kepolisian untuk Belanda dan Belgia.Marechaussée yang dikenal di Indonesia sebagai Marsose berkembang menjadi kekuatan tempur untuk mengamankan wilayah dan jalanan di Kerajaan Belanda. Selain tugas-tugas kepolisian, Marechaussée juga ditugaskan untuk membantu angkatan perang, terutama di waktu Perang Dunia I, tahun 1914 - 1918. Di masa ini juga Marechaussée ditigaskan di India-Belanda, antara lain dalam perang Aceh dan perang melawan Si Singamangaraja XII di Sumatera Utara, di mana kemudian pada tahun 1917, satuan Marechaussée berhasil mengalahkan dan menewaskan Si Singamangaraja XII.
Tentara Bayaran, Belanda yang kecil dengan penduduknya yang juga relatif sedikit, tentu tidak dapat membangun tentara yang besar, yang hanya terdiri dari orang Belanda dan pribumi saja. Mereka juga memerlukan perwira yang handal untuk memimpin pertempuran, yang tidak dapat diharapkan dari pribumi pada waktu itu. Untuk membangun tentara yang tangguh di India-Belanda, di samping merekrut pribumi untuk menjadi serdadu –dan paling tinggi bintara- mereka juga menyewa perwira dan serdadu dari negara-negara Eropa lain, terutama dari Jerman. Belanda bahkan tidak tanggung-tanggung, yaitu mengontrak satu resimen dari Jerman. Tahun 1790-1808 terdapat Regiment Württemberg yang terdiri dari orang-orang Jerman asal Württemberg yang berjumlah 2000 (!) tentara. Semula mereka mengabdi pada VOC, kemudian setelah VOC dibubarkan, mereka berada di bawah Pemerintah India-Belanda. Regiment Württemberg ini dibubarkan pada tahun 1808. Banyak dari mantan serdadu dan perwira Jerman yang kemudian tinggal dan berkeluarga di Indonesia. Hal ini yang menerangkan bahwa di Indonesia sejak beberapa generasi ada keluarga Indonesia yang mempunyai nama keluarga Jerman.
4. KNIL (Koninklijk Nederlands-Indisch Leger)
Dan yang paling terkenal adalah KNIL, ketika berlangsung Perang Diponegoro (1825 – 1830), tahun 1826/1827 pemerintah India Belanda membentuk satu pasukan khusus. Setelah Perang Diponegoro usai, pada 4 Desember 1830 Gubernur Jenderal van den Bosch mengeluarkan keputusan yang dinamakan "Algemeene Orders voor het Nederlandsch-Oost-Indische leger" di mana ditetapkan pembentukan suatu organisasi ketentaraan yang baru untuk India-Belanda, yaitu Oost-Indische Leger (Tentara India Timur) dan pada tahun 1836, atas saran dari Willem I, tentara ini mendapat predikat “Koninklijk.” Namun dalam penggunaan sehari-hari, kata ini tidak pernah digunakan selama sekitar satu abad, dan baru tahun 1933, ketika Hendrik Colijn –yang juga pernah bertugas sebagai perwira di Oost-Indische Leger- menjadi Perdana Menteri, secara resmi tentara di India-Belanda dinamakan Koninklijk Nederlands-Indisch Leger, disingkat KNIL.
Undang-Undang Belanda tidak mengizinkan para wajib militer untuk ditempatkan di wilayah jajahan, sehingga tentara di India Belanda hanya terdiri dari prajurit bayaran atau sewaan. Kebanyakan mereka berasal dari Prancis, Jerman, Belgia dan Swiss. Tidak sedikit dari mereka yang adalah desertir dari pasukan-pasukannya untuk menghindari hukuman. Namun juga tentara Belanda yang melanggar peraturan di Belanda diberikan pilihan, menjalani hukuman penjara atau bertugas di India Belanda. Mereka mendapat gaji bulanan yang besar. Tahun 1870 misalnya, seorang serdadu menerima f 300,-, atau setara dengan penghasilan seorang buruh selama satu tahun.
Dari catatan tahun 1830, terlihat perbandingan jumlah perwira, bintara serta prajurit antara bangsa Eropa dan pribumi dalam dinas ketentaraan Belanda. Di tingkat perwira, jumlah pribumi hanya sekitar 5% dari seluruh perwira; sedangkan di tingkat bintara dan prajurit, jumlah orang pribumi lebih banyak daripada jumlah bintara dan prajurit orang Eropa, yaitu sekitar 60%. Kekuatan tentara Belanda tahun 1830, setelah selesai Perang Diponegoro adalah:
603 perwira bangsa Eropa
37 perwira pribumi
5. 699 bintara dan prajurit bangsa Eropa
7.206 bintara dan prajurit pribumi.
Tahun 1936, jumlah pribumi yang menjadi serdadu KNIL mencapai 33 ribu orang, atau sekitar 71% dari keseluruhan tentara KNIL, di antaranya terdapat sekitar 4.000 orang Ambon, 5.000 orang Manado dan 13.000 orang Jawa.
Apabila meneliti jumlah perwira, bintara serta prajurit yang murni orang Belanda terlihat, bahwa sebenarnya jumlah mereka sangat kecil. Juga stigmatisasi bahwa orang Ambon adalah tumpuan Belanda dalam dinas ketentaraan adalah tidak benar, karena ternyata jumlah orang Ambon yang menjadi serdadu Belanda jauh lebih kecil dibandingkan dengan jumlah orang Jawa. Juga pribumi yang mencapai pangkat tertinggi di KNIL bukanlah orang Ambon, melainkan Kolonel KNIL R. Abdulkadir Wijoyoatmojo, yang tahun 1947 memimpin delegasi Belanda dalam perundingan di atas kapal perang AS Renville, yang membuahkan Persetujuan Renville.
5. Belanda Hitam (zwarte Nederlander)
Tahun 1950, setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Republik Indonesia Serikat, jumlah orang Indonesia yang masih menjadi serdadu KNIL diperkirakan sekitar 60.000 (!) orang, dan sebagian besar dari mereka diterima ke dalam tubuh Tentara nasional Indonesia (TNI). Jumlah orang Ambon diperkirakan sekitar 5.000 orang, yang sebagian besar ikut dibawa ke Belanda dan tinggal di sana sampai sekarang.
Dengan merekrut tentara yang berasal dari pribumi serta politik divide et impera-nya, menjadi tulangpunggung yang memungkinkan Belanda menang dalam banyak pertempuran melawan kerajaan-kerajaan di India-Belanda, dan di beberapa daerah –seperti di Jakarta- mereka dapat berkuasa selama sekitar 300 tahun.
Hal tersebut terjadi karena juga ditunjang oleh keserakahan dan egoisme para raja dan sultan serta pribumi lain yang bersedia bekerjasama dengan penjajah.
Turki bantu Aceh lawan Portugal
8:58 PM | Turki bantu Aceh lawan Portugal
Menara masjid yang kelihatan di mana saja di kota itu menggambarkan pengaruh Islam yang kuat sepanjang 471 tahun era Uthmaniyah di Istanbul.
Sejak 1453 hingga 1924 iaitu dari detik Muhammad Al-Fateh membuka kota Constantinople hingga ke saat Mustafa Kamal Atarturk mengisytiharkan berakhirnya institusi Khalifah Uthmaniyah di Turki, 1001 peristiwa tercatat di lembaran sejarah Islam.
Keagungan Sultan Sulaiman Al-Qanuni, pembina empayar Uthmaniyah yang mewariskan kemegahan Islam melalui perluasan jajahan takluk dan penyebaran agama Islam, masih disebut hingga hari ini.
Mungkin kejayaan itulah yang menjadi inspirasi kepada Sultan Aceh, Sultan Alauddin Riayat Syah Al-Qahhar, hingga merangsang beliau menghantar wakil diplomatik ke Istanbul.
Rombongan Aceh tiba di Istanbul dengan kapal bermuatan lada, komoditi paling berharga zaman itu ditugaskan Sultan Alauddin mempersembahkan lada yang dibawa kepada Sultan Sulaiman.
Lada yang dibawa itu juga menjadi sumber perbelanjaan selama rombongan itu di Istanbul menanti dibenarkan menghadap Sultan Sulaiman yang sedang memimpin tenteranya di Hungary.
Akhirnya, Sultan Sulaiman mangkat pada 1566 dan jasadnya dibawa pulang untuk dimakamkan di Masjid Sulaimaniye, Edirne.
Cubaan rombongan Aceh untuk menghadap khalifah yang baru juga tidak pernah berjaya, sedangkan mereka sudah terlalu lama di Turki dan bekalan lada yang dibawa semakin hari semakin susut dijual di pasar.
Suatu hari khalifah melawat pasar dan kesempatan keemasan itu dimanfaatkan utusan Aceh untuk menyampaikan salam sultan mereka serta mempersembahkan hadiah kepada khalifah iaitu secupak lada, baki terakhir bekalan mereka.
Ancaman Portugis di Nusantara turut diceritakan kepada sultan, maka baginda mengerahkan armadanya bersama meriam Turki, tukang mahir membuat meriam dan senjata api pulang bersama rombongan Aceh.
Sempena peristiwa bersejarah itu, meriam Turki yang dihantar ke Aceh.
Pelabuhan Melaka bersejarah adalah kota rebutan di Selat Melaka yang menyaksikan kehadiran tiga kuasa Eropah sejak 1511 berpunca daripada perdagangan rempah yang dikuasai pedagang Islam yang berulang alik antara dunia timur dan barat.
Sebelum berdirinya kesultanan Melayu Melaka, di Samudera Pasai sudah terbina sebuah kesultanan Islam menguasai perdagangan lada yang sultannya bersambung nasab dengan Rasulullah SAW.
Samudera Pasai yang terkenal kerana sultannya menghormati ulama dan menyokong usaha penyebaran Islam menjadi tumpuan persinggahan pedagang Islam dari India, Parsi dan Yaman.
Sultan Melaka memeluk Islam dan menjadi menantu Sultan Pasai 97 tahun sebelum pencerobohan Portugis ke atas Melaka dan sejak itu ulama Pasai sering mengunjungi istana Melaka bagi membimbing sultannya.
Pada masa sama, pelabuhan Melaka semakin sibuk dikunjungi pedagang Islam selama lebih sembilan dekad berikutnya, sebelum armada Portugis tiba bersama meriam yang menghancurkan pertahanan Kota Melaka.
Senjata api dan teknik pertempuran Eropah mengatasi senjata tradisional perajurit Melaka, tetapi apabila peperangan menentang Portugis diisytihar sebagai jihad oleh ulama ketika itu, Melaka dipertahan habis-habisan.
Berikutan kejayaan delegasi Aceh ke Istanbul, dengan sokongan armada Turki, Sultan Alauddin melancarkan dua serangan ke atas Portugis di Melaka pada 1568 dan 1570.
Sekalipun tidak berjaya mengusir penjajah dari Melaka, kesultanan Aceh memberi isyarat jelas kepada Portugis bahawa Aceh bukan negara belasahan dan kerajaan Islam itu turut mempunyai sekutu disegani di Eropah.
beginilah hubungan antara negara aceh dengan istanbul...... makanya kita liat bendera negara aceh sama persis dengan bendera negara turki seperti bendera GAM sekarang......? gimana menurut rekan rekan sekalian....
Dibalik Cerita Masjid Baiturrahman, Saksi Sejarah Aceh
8:56 PM | Masjid Baiturrahman
Kita simak laporan KBR68H yang disampaikan Vivi Zabkie saat mengujungi masjid itu beberapa waktu.
Mengikuti sejarah Aceh
Panas terik kota Banda Aceh serasa langsung enyah begitu kaki menginjak halaman masjid Baiturrahman. Udara dalam masjid berkubah lima ini sejuk. Lima pintu dan jendela yang lebar, kubah tinggi serta ruang dalam masjid yang luas membuat udara bergerak bebas. Januari lalu, rumah ibadah ini baru saja tuntas berbenah dari kerusakan akibat tsunami. Sisa-sisa bencana itu tak terlihat lagi.
Tapi sejarah mencatat, sekali lagi Baiturrahman melewati satu babak sejarah masyarakat Aceh. Masjid ini merupakan simbol Aceh. Perjalanan masjid ini juga merekam sejarah Aceh. Karena itu tak lengkap rasanya bila berkunjung ke Aceh, tanpa menengok masjid berkubah lima ini dan sedikit mengenal sejarahnya.
Masjid ini sudah berada di tengah kota Banda Aceh sejak zaman kesultanan. Ada dua versi hikayat pendiriannya. Ada yang menyebut Sultan Alauddin Johan Mahmud Syah membangun masjid ini pada abad ke 13. Namun versi lain menyatakan Baiturahman didirikan pada abad 17, pada masa kejayaan pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Tak ada yang bisa memastikan mana yang benar. Tapi nama Baiturahman, menurut catatan sejarah, diberikan oleh Sultan Iskandar Muda. Pada masa itu masjid ini menjadi salah satu pusat pengembangan ajaran Islam wilayah kerajaan Aceh.
Perubahan fisik masjid menurut salah satu ketua koordinator masjid Baiturrahman Sanusi Hanafi, mengikuti sejarah bumi serambi mekah. Bangunan sekarang bukan lagi bangunan zaman kesultanan. Pada masa kesultanan, gaya arsitektur Baiturahman mirip masjid-masjid tua di Pulau Jawa. Bangunan kayu dengan atap segi empat dan bertingkat.
Sanudi Hanafi: “Kubahnya satu. Pada 1873, ini dibakar oleh Belanda. Mengapa dibakar, karena masjid dijadikan pusat kekuatan tentara Aceh melawan Belanda. Dan pada tahun 1873 itu terjadi pertempuran besar antara tentara Aceh dengan tentara Belanda. Terjadi tembak menembak. Sehingga demikian gugurlah perwira tinggi Belanda bernama Kohler”
Pertempuran di masjid ini dikenang lewat pembangunan prasasti Kohler pada halaman masjid. Letak prasasti di bawah pohon Geulempang, yang tumbuh di dekat salah satu gerbang masjid.
Sanudi Hanafi: “Dibakar ini tambah marahlah rakyat Aceh dan tentara Aceh. Kemudian menuntut dibikin baru. Maka dibikin barulah empat tahun kemudian, mesjid yang baru satu kubah, kemudian konstruksinya dari beton”
Dirancang arsitek Belanda
Peletakan batu pertama pembangunan kembali masjid dilakukan tahun 1879 oleh Tengku Malikul Adil, disaksikan oleh Gubernur Militer Hindia Belanda di Aceh saat itu, G. J. van der Heijden. Pembangunan mesjid ini dirancang arsitek Belanda keturunan Italia, De Brun. Bahan bangunan masjid sebagian didatangkan dari Penang - Malaysia, batu marmer dari Negeri Belanda, batu pualam untuk tangga dan lantai dari Cina, besi untuk jendela dari Belgia, kayu dari Birma dan tiang-tiang mesjid dari Surabaya.
Pembangunan kembali masjid dengan satu kubah, selesai dua tahun kemudian. Pada masa residen Y. Jongejans berkuasa di Aceh masjid ini kembali diperluas.
Sanudi Hanafi: “Kemudian setelah itu, masyarakat Aceh semakin besar, untuk mengupahi dan meredakan kemarahan rakyat Aceh maka masjid diperluas lagi kiri kanannya pada tiga tahun kemudian. Ditambahlah dua kubah lagi di atasnya sehingga menjadi tiga kubah” Belanda kemudian meninggalkan Aceh. Bumi Nangroe beralih pada Indonesia.
Berubah lagi
Pada 1957, masa pemerintahan Soekarno, masjid ini kembali berubah. Dua kubah baru dibuat di bagian belakang. Dibangun pula dua menara dengan jumlah tiang mencapai 280 buah. Karena perluasan ini, menurut koordinator pengurus masjid Sanusi Hanafi, sejumlah toko di pasar Aceh yang berada di sekeliling mesjid tergusur.
Kembali koordinator pengurus masjid Baiturrahman Sanusi Hanafi. : “Diletakkanlah batu pertamanya oleh menteri agama KH Ilyas, kemudian dibangun kira-kira empat tahun. Bangunan berikutnya itu sudah sampai pada menara yang berikut ini. Tapi kerjasamanya dengan pemerintah Aceh. Waktu itu Gubernurnya Ali Hasymi. Kemudian pada tahun 80, bagian dalam masjid, 80-82, dalam rangka MTQ nasional di perbaiki, direnovasi bagian dalamnya diberi ornamen-ornamennya. Dan di depan itu diberi plaza ”
Renovasi masjid yang dilakukan pemerintah Soekarno terjadi pada masa gerakan Darul Islam pimpinan Daud Beureueh. Sehingga banyak kalangan yang mengaitkan pembangunan itu sebagai usaha pemerintah meredam pemberontakan itu. Lima kubah juga dianggap mewakili Pancasila yang digagas Soekarno.
Pada kurun 1992-1995, masjid kembali dipugar dan diperluas hingga memiliki tujuh buah kubah dan lima menara. Setelah dipugar, masjid itu mampu menampung 10.000 hingga 13.000 jemaah. Halaman masjid juga diperluas hingga menjadi 3,3 hektar.
Mempertahankan arsitektur asli
Semua pemugaran ini, menurut pengurus masjid Sofyan Hasyim dilakukan dengan mempertahankan arsitektur dan bentuk ornamen lama pada masa Belanda. Salah satu tiang peninggalan Belanda, ketika masjid masih berkubah satu, masih dipertahankan. Arsitektur masjid ini bercorak eklektik, yaitu gabungan berbagai unsur dan model terbaik dari berbagai negeri.
Ini misalnya tampak pada tiga pintu bukaan serta jendela yang bisa berfungsi sebagai pintu masuk. Jendela ini dibentuk oleh empat tiang langsing silindris model arsitektur Moorish, yang banyak terdapat di masjid-masjid Afrika Utara dan Spanyol. Sementara bagian tengah ruang shalat berbentuk bujur sangkar, diatapi kubah utama yang bercorak bawang. Pucuknya dihiasi kubah, mirip masjid-masjid kuno di India.
Pada jendela yang sekaligus menjadi pintu terdapat ukiran yang tampak kokoh dan indah. Untuk menambah kemegahan dan keindahan, masjid ini ditempatkan di tengah lapangan terbuka, sehingga semua bagian masjid jelas terlihat juga dari kejauhan.
Saksi bencana tsunami
Masjid Baiturrahman menjadi saksi darurat militer di Aceh, ketika muncul Gerakan Aceh Merdeka. Masjid ini menjadi tempat warga Aceh mengadu kepada Tuhan atas tanggungan beban konflik. Rumah ibadah ini juga menjadi sarana singgah pejabat pusat mengunjugi Aceh yang ketika itu tak aman.
Baiturrahman yang konon merupakan salah satu masjid terindah Asia Tenggara ini juga menjadi saksi bisu bencana tsunami. Bencana memilukan itu juga merusak sejumlah bagian masjid. Sebuah video tentang kedahsyatan tsunami menunjukkan ratusan orang naik ke masjid Baiturrahman. Mereka menyelamatkan diri sembari meneriakkan nama Tuhan. Allahuakbar, Allahuakbar.
Banyak warga Aceh selamat dari bencana berkat masjid ini. Ketua koordinator III Masjid Baiturrahman Sanusi Hanafi : “Mereka tidak tahu lari ke mana, mereka larilah ke mesjid. Sehingga penuhlah masjid. Mereka yang lari ke mesjid alhamdulillah selamat. Kecuali yang tidak sampai. Ada yang di jalan, ada yang di pasar itu banyak yang jadi mayat. Masjid ini selama tiga empat hari penuh dengan orang-orang yang mencari keselamatan. Termasuk di tempat kita ini, dulu ini pakai karpet, karpetnya penuh dengan darah, kotor. Orang masuk ke masjid dengan ketakutan dan tak tahu lagi membasuh kaki, tidur di sini”
Sedikit retak
Pada halaman masjid inilah berdiri posko bencana pertama pasca tsunami Desember 2004 tersebut. Masjid ini tangguh bertahan dari gempa dan terjangan air laut yang naik ke daratan. Hanya sedikit bangunan yang retak akibat gempa.
Sanudi Hanafi: “Kemudian masjid secara struktural tidak mengalami kerusakan, tetapi kalau diteliti lebih lanjut, akibat gempa, bukan akibat tsunami itu terjadi keretakan-keretakan pada dak, sehingga kalau hujan besar terjadi kebocoran”
Kerusakan juga terjadi di ruang perpustakaan. Ribuan buku koleksi perpustakaan hampir sebagian besar hanyut atau terendam lumpur. Beberapa buku yang hanyut ke halaman belakang masjid, sempat diselamatkan. Gempa juga mengakibatkan pondasi mesjid turun pada beberapa tempat. Namun tidak begitu terlihat.
Kerusakan parah hanya terjadi pada menara di halaman masjid, yang dikenal dengan sebutan tugu modal. Tugu modal merupakan sebuah monument yang menunjukkan Aceh pernah dinyatakan sebagai daerah modal dalam perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Saksi perdamaian
Pasca tsunami perdamaian datang. Masjid ini kembali menjadi bagian sejarah itu. Di masjid inilah warga menggelar doa khusus ketika delegasi Indonesia bertemu dengan wakil Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki, Finlandia.
Masjid ini pula yang menjadi saksi ketika pasca perjanjian damai, Aceh menggelar pemilihan kepala daerah secara langsung. Uji membaca Al Quran bagi para calon Gubernur digelar di masjid ini.
Pasca tsunami, kerusakan-kerusakan Masjid Baiturrahman diperbaiki. Sebagian dilakukan lewat sumbangan masyarakat tak lama setelah bencana. Perbaikan besar-besaran dilakukan lewat sumbangan lembaga donor, di antaranya Saudi Charity Campaign. Pengurus The Saudi Charity Campaign, Imo Wibowo.
Imo Wibowo: “Membuat fasilitas umum seperti tempat wudhu di sisi utara, bangunan barum penataan lansekap di sekitar bangunan, kolam, dan kolam itu juga sebagai monumen”
Semua itu menghabiskan dana Rp. 20 milyar. Pada 15 Januari lalu proses perbaikan dinyatakan resmi selesai. Kini masjid Baiturahman seolah habis bersolek, tampil cantik menawan.
Masjid Baiturrahman menyaksikan perubahan Aceh pasca tsunami dan perjanjian damai. Ketika syariah Islam berlaku di Serambi Mekah, kawasan masjid Baiturahman dinyatakan sebagai area terbatas. Hanya pengunjung yang menutup aurat sesuai hukum syariah boleh masuk halaman masjid. Namun dengan daya tarik dan keindahannya, pengunjung biasanya rela mematuhinya asal bisa melihat magnet Aceh ini dari dekat
HASAN DI TIRO MENDEKLARASIKAN NEGARA ACEH SUMATERA 4 DESEMBER 1976
8:51 PM | Hasan Tiro , SeJaRaH AceH (Versi Singkat)
"To the people of the world: We, the people of Acheh, Sumatra, exercising our right of self-determination, and protecting our historic right of eminent domain to our fatherland, do hereby declare ourselves free and independent from all political control of the foreign regime of Jakarta and the alien people of the island of Java....In the name of sovereign people of Acheh, Sumatra. Tengku Hasan Muhammad di Tiro. Chairman, National Liberation Front of Acheh Sumatra and Head of State Acheh, Sumatra, December 4, 1976". ("Kepada rakyat di seluruh dunia: Kami, rakyat Aceh, Sumatra melaksanakan hak menentukan nasib sendiri, dan melindungi hak sejarah istimewa nenek moyang negara kami, dengan ini mendeklarasikan bebas dan berdiri sendiri dari semua kontrol politik pemerintah asing Jakarta dan dari orang asing Jawa....Atas nama rakyat Aceh, Sumatra yang berdaulat. Tengku Hasan Muhammad di Tiro. Ketua National Liberation Front of Acheh Sumatra dan Presiden Aceh Sumatra, 4 Desember 1976") (The Price of Freedom: the unfinished diary of Tengku Hasan di Tiro, National Liberation Front of Acheh Sumatra,1984, hal : 15, 17).
DESEMBER 1962 DAUD BEUREUEH MENYERAH KEPADA PENGUASA DAULAH PANCASILA
8:50 PM | Daud Beureueh , SeJaRaH AceH (Versi Singkat)
Bulan Desember 1962, 7 bulan setelah Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo Imam NII tertangkap (4 Juni 1962) di atas Gunung Geber di daerah Majalaya oleh kesatuan-kesatuan Siliwangi dalam rangka Operasi Bratayudha, Daud Beureueh di Aceh menyerah kepada Penguasa Daulah Pancasila setelah dilakukan "Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh" atas prakarsa Panglima Kodam I/Iskandar Muda, Kolonel M.Jasin. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1950-1964, Sekretariat Negara RI, 1986)
MAKLUMAT NII ACEH OLEH DAUD BEUREUEH
8:49 PM | Daud Beureueh , NII Aceh , SeJaRaH AceH (Versi Singkat)
Isi Maklumat NII di Aceh adalah,
Dengan Lahirnja Peroklamasi Negara Islam Indonesia di Atjeh dan daerah sekitarnja, maka lenjaplah kekuasaan Pantja Sila di Atjeh dan daerah sekitarnja, digantikan oleh pemerintah dari Negara Islam.
Dari itu dipermaklumkan kepada seluruh Rakjat, bangsa asing, pemeluk bermatjam2 Agama, pegawai negeri, saudagar dan sebagainja.
1. Djangan menghalang2i gerakan Tentara Islam Indonesia, tetapi hendaklah memberi bantuan dan bekerdja sama untuk menegakkan keamanan dan kesedjahteraan Negara.
2. Pegawai2 Negeri hendaklah bekerdja terus seperti biasa, bekerdjalah dengan sungguh2 supaja roda pemerintahan terus berdjalan lantjar.
3. Para saudagar haruslah membuka toko, laksanakanlah pekerdjaan itu seperti biasa, Pemerintah Islam mendjamin keamanan tuan2.
4. Rakjat seluruhnja djangan mengadakan Sabotage, merusakkan harta vitaal, mentjulik, merampok, menjiarkan kabar bohong, inviltratie propakasi dan sebagainja jang dapat mengganggu keselamatan Negara.
Siapa sadja jang melakukan kedjahatan2 tsb akan dihukum dengan hukuman Militer.
5. Kepada tuan2 bangsa Asing hendaklah tenang dan tentram, laksanakanlah kewadjiban tuan2 seperti biasa keamanan dan keselamatan tuan2 didjamin.
6. Kepada tuan2 yang beragama selain Islam djangan ragu2 dan sjak wasangka, jakinlah bahwa Pemerintah N.I.I. mendjamin keselamatan tuan2 dan agama jang tuan peluk, karena Islam memerintahkan untuk melindungi tiap2 Umat dan agamanja seperti melindungi Umat dan Islam sendiri. Achirnja kami serukan kepada seluruh lapisan masjarakat agar tenteram dan tenang serta laksanakanlah kewadjiban masing2 seperti biasa.
Negara Islam Indonesia
Gubernur Sipil/Militer Atjeh dan Daerah sekitarnja.
MUHARRAM 1373
Atjeh Darussalam
September 1953
Pada tanggal 14 Agustus 1950 Parlemen dan Senat RIS mengesahkan Rancangan Undang-Undang Dasar Sementara Negara Kesatuan Republik Indonesia hasil panitia bersama.
Pada rapat gabungan Parlemen dan Senat RIS pada tanggal 15 Agustus 1950, Presiden RIS Soekarno membacakan piagam terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada hari itu juga Presiden Soekarno kembali ke Yogya untuk menerima kembali jabatan Presiden RI dari Pemangku Sementara Jabatan Presiden RI Mr. Asaat. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1950-1964, Sekretariat Negara RI, 1986)
PENGAKUAN BELANDA KEPADA KEDAULATAN RIS TANPA ACEH
8:43 PM | SeJaRaH AceH (Versi Singkat)
Belanda dibawah Ratu Juliana, Perdana Menteri Dr. Willem Drees, Menteri Seberang Lautnan Mr AMJA Sassen dan ketua Delegasi RIS Moh Hatta membubuhkan tandatangannya pada naskah pengakuan kedaulatan RIS oleh Belanda dalam upacara pengakuan kedaulatan RIS pada tanggal 27 Desember 1949. Pada tanggal yang sama, di Yogyakarta dilakukan penyerahan kedaulatan RI kepada RIS. Sedangkan di Jakarta pada hari yang sama, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Wakil Tinggi Mahkota AHJ Lovink dalam suatu upacara bersama-sama membubuhkan tandangannya pada naskah penyerahan kedaulatan. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-1949, Sekretariat Negara RI, 1986)
Dimana ternyata Aceh tidak termasuk negara bagian dari federal hasil ciptaan Van Mook yang meliputi seluruh Indonesia yaitu yang terdiri dari,
1. Negara RI, yang meliputi daerah status quo berdasarkan perjanjian Renville.
2. Negara Indonesia Timur.
3. Negara Pasundan, termasuk Distrik Federal Jakarta
4. Negara Jawa Timur
5. Negara Madura
6. Negara Sumatra Timur, termasuk daerah status quo Asahan Selatan dan Labuhan Batu
7. Negara Sumatra Selatan
8. Satuan-satuan kenegaraan yang tegak sendiri, seperti Jawa Tengah, Bangka-Belitung, Riau, Daerah Istimewa Kalimantan Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan Tenggara dan Kalimantan Timur.
9. Daerah.daerah Indonesia selebihnya yang bukan daerah-daerah bagian.
Yang terpilih menjadi Presiden RIS adalah Soekarno dalam sidang Dewan Pemilihan Presiden RIS pada tanggal 15-16 Desember 1949. Pada tanggal 17 Desember 1949 Presiden Soekarno dilantik menjadi Presiden RIS. Sedang untuk jabatan Perdana Menteri diangkat Mohammad Hatta. Kabinet dan Perdana Menteri RIS dilantik pada
tanggal 20 Desember 1949.
SURAT PERJANJIAN PENDEK TANDA MENYERAH CIPTAAN VAN HEUTZ
8:42 PM | SeJaRaH AceH (Versi Singkat)
Van Heutz telah menciptakan surat pendek penyerahan yang harus ditandatangani oleh para pemimpin Aceh yang telah tertangkap dan menyerah. Dimana isi dari surat pendek penyerahan diri itu berisikan, Raja (Sultan) mengakui daerahnya sebagai bagian dari daerah Hindia Belanda. Raja berjanji tidak akan mengadakan hubungan dengan kekuasaan di luar negeri. Berjanji akan mematuhi seluruh perintah-perintah yang ditetapkan Belanda. (RH Saragih, J Sirait, M Simamora, Sejarah Nasional, 1987)
Taktik berikutnya yang dilakukan Belanda adalah dengan cara penculikan anggota keluarga Gerilyawan Aceh. Misalnya Christoffel menculik permaisuri Sultan dan Tengku Putroe (1902). Van Der Maaten menawan putera Sultan Tuanku Ibrahim. Akibatnya, Sultan menyerah pada tanggal 5 Januari 1902 ke Sigli dan berdamai. Van Der Maaten dengan diam-diam menyergap Tangse kembali, Panglima Polem dapat meloloskan diri, tetapi sebagai gantinya ditangkap putera Panglima Polem, Cut Po Radeu saudara perempuannya dan beberapa keluarga terdekatnya. Akibatnya Panglima Polem meletakkan senjata dan menyerah ke Lo' Seumawe (1903). Akibat Panglima Polem menyerah, banyak penghulu-penghulu rakyat yang menyerah mengikuti jejak Panglima Polem.
Taktik selanjutnya, pembersihan dengan cara membunuh rakyat Aceh yang dilakukan dibawah pimpinan Van Daalen yang menggantikan Van Heutz. Seperti pembunuhan di Kuta Reh (14 Juni 1904) dimana 2922 orang dibunuhnya, yang terdiri dari 1773 laki-laki dan 1149 perempuan.
Taktik terakhir menangkap Cut Nya' Dien istri Teuku Umar yang masih melakukan perlawanan secara gerilya, dimana akhirnya Cut Nya' Dien dapat ditangkap dan diasingkan ke Cianjur.
Dimana isi nasehat Snouck Hurgronye kepada Gubernur Militer Belanda yang bertugas di Aceh adalah, Supaya golongan Keumala (yaitu Sultan yang berkedudukan di Keumala) dengan pengikutnya dikesampingkan. Menyerang terus dan menghantam terus kaum ulama. Jangan mau berunding dengan pimpinan-pimpinan gerilya. Mendirikan pangkalan tetap di Aceh Raya. Menunjukkan niat baik Belanda kepada rakyat Aceh, dengan cara mendirikan langgar, masjid, memperbaiki jalan-jalan irigasi dan membantu pekerjaan sosial rakyat Aceh.
Ternyata siasat Dr Snouck Hurgronye diterima oleh Van Heutz yang menjadi Gubernur militer dan sipil di Aceh (1898-1904). Kemudian Dr Snouck Hurgronye diangkat sebagai penasehatnya.
Perang kedua, dibawah Jenderal Van Swieten berhasil menduduki Keraton Sultan dan dijadikan sebagai pusat pertahanan Belanda.
Ketika Sultan Machmud Syah wafat 26 Januari 1874, digantikan oleh Tuanku Muhammad Dawot yang dinobatkan sebagai Sultan di masjid Indragiri.
Perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi'sabilillah. Dimana sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1904.
Dalam perang gerilya ini Teuku Umar bersama Panglima Polem dan Sultan terus tanpa pantang mundur. Tetapi pada tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van Der Dussen di Meulaboh Teuku Umar gugur. Tetapi Cut Nya' Dien istri Teuku Ummar siap tampil menjadi komandan perang gerilya.
1. Belanda menduduki daerah Siak. Akibat dari perjanjian Siak 1858. Dimana Sultan Ismail menyerahkan daerah Deli, Langkat, Asahan dan Serdang kepada Belanda, padahal daerah-daerah itu sejak Sultan Iskandar Muda ada dibawah kekuasaan Aceh.
2. Belanda melanggar Siak, maka berakhirlah perjanjian London (1824). Dimana isi perjanjian London adalah Belanda dan Inggris membuat ketentuan tentang batas-batas kekuasaan kedua daerah di Asia Tenggara yaitu dengan garis lintang Sinagpura. Keduanya mengakui kedaulatan Aceh.
3. Aceh menuduh Belanda tidak menepati janjinya, sehingga kapal-kapal Belanda yang lewat perairan Aceh ditenggelamkan Aceh. Perbuatan Aceh ini disetujui Inggris, karena memang Belanda bersalah.
4. Di bukanya terusan Suez oleh Ferdinand de Lessep. Menyebabkan perairan Aceh menjadi sangat penting untuk lalulintas perdagangan.
5. Dibuatnya Perjanjian Sumatera 1871 antara Inggris dan Belanda, yang isinya, Inggris memberika keleluasaan kepada Belanda untuk mengambil tindakan di Aceh. Belanda harus menjaga keamanan lalulintas di Selat Sumatera. Belanda mengizinkan Inggris bebas berdagang di Siak dan menyerahkan daerahnya di Guinea Barat kepada Inggris.
6. Akibat perjanjian Sumatera 1871, Aceh mengadakan hubungan diplomatik dengan Konsul Amerika, Italia, Turki di Singapura. Dan mengirimkan utusan ke Turki 1871.
7. Akibat hubungan diplomatik Aceh dengan Konsul Amerika, Italia dan Turki di Singapura, Belanda menjadikan itu sebagai alasan untuk menyerang Aceh. Wakil Presiden Dewan Hindia Nieuwenhuyzen dengan 2 kapal perangnya datang ke Aceh dan meminta keterangan dari Sultan Machmud Syah tengtang apa yang sudah dibicarakan di Singapura itu, tetapi Sultan Machmud menolak untuk memberikan keterangan.
Ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis, kembali Aceh bangkit dibawah pimpinan Sultan Ali Mukayat Syah (1514-1528). Yang diteruskan oleh Sultan Salahuddin (1528-1537). Sultan Alauddin Riayat Syahal Kahar (1537-1568). Sultan Ali Riyat Syah (1568-1573). Sultan Seri Alam (1576. Sultan Muda (1604-1607). Sultan Iskandar Muda, gelar marhum mahkota alam (1607-1636). Semua serangan yang dilancarkan pihak Portugis dapat ditangkisnya oleh Sultan-sultan Aceh ini.
Selama periode akhir abad 17 sampai awal abad 19 keadaan Aceh tenang.
Akibat dari perang saudara ini Majapahit menjadi lemah dan mundur dan titik lemahnya adalah ketika Girindrawardana memegang tapuk pimpinan Majapahit dan pada tahun 1525 digempur oleh Kerajaan Islam Demak yang dibangun oleh Raden Patah yang tertarik dan belajar Islam di Sunan Ngampel, yang juga sebenarnya Raden Patah ini masih keturunan raja Majapahit yaitu Brawijaya.
POLITIK SAMUDERA-PASAI-ISLAM BERTENTANGAN DENGAN POLITIK GAJAH MADA-MAJAPAHIT-SYIWA-PALAPA
8:34 PM | SeJaRaH AceH (Versi Singkat)
Ketika pelantikan Gajah Mada menjadi Mahapatih Majapahit inilah keluar ucapannya yang disebut dengan sumpah palapa yang berisikan "dia tidak akan menikmati palapa sebelum seluruh Nusantara berada dibawah kekuasaan kerajaan Majapahit".
Ternyata dengan dasar sumpah palapanya inilah Gajah Mada merasa tidak senang ketika mendengar dan melihat bahwa Samudera-Pasai-Islam di Aceh makin berkembang dan maju.
Pada tahun 1350 Majapahit menggempur Samudera-Pasai dan mendudukinya. 27 tahun kemudian pada tahun 1377 giliran Sriwijaya digempurnya, sehingga habislah riwayat Sriwijaya sebagai negara buddha yang berpusat di Palembang ini.
KETIKA SRIWIJAYA-PALEMBANG-BUDDHA LEMAH, MUNCUL SAMUDERA-PASAI-ACEH-ISLAM
8:33 PM | SeJaRaH AceH (Versi Singkat)
Ketika Sriwijaya sedang mencapai puncak kekuatannya, ternyata mengundang raja Rajendrachola dari Cholamandala di India selatan tidak bisa menahan nafsu serakahnya, maka pada tahun 1023 lahirlah serangan dari raja India selatan ini kepada Sriwijaya.
Ternyata dinasti Syailendra ini tidak mampu menahan serangan tentara Hindu India selatan ini, raja Sriwijaya ditawannya dan tentara Chola dari India selatan ini kembali ke negerinya. Walaupun Sriwijaya bisa dilumpuhkan, tetapi tetap kerajaan Buddha ini hidup sampai pada tahun 1377.
Disaat-saat Sriwijaya ini lemah, muncullah kerajaan Islam Samudera-Pasai di Aceh dengan rajanya Malik ul Saleh dan diteruskan oleh cucunya Malik ul Zahir.
SEBELUM DINASTI USMANIYAH DI TURKI BERDIRI, KERAJAAN ISLAM SAMUDERA-PASAI DI ACEH TELAH BERDIRI
8:31 PM | SeJaRaH AceH (Versi Singkat)
Sebelum Dinasti Usmaniyah di Turki berdiri pada tahun 699 H-1341 H atau bersamaan dengan tahun 1385 M-1923 M, ternyata nun jauh di belahan dunia sebelah timur, di dunia bagian Asia, telah muncul Kerajaan Islam Samudera-Pasai yang berada di wilayah Aceh yang didirikan oleh Mara Silu yang segera berganti nama setelah masuk Islam dengan nama Malik ul Saleh yang meninggal pada tahun 1297. Dimana penggantinya tidak jelas, namun pada tahun 1345 Samudera-Pasai diperintah oleh Malik ul Zahir, cucu Malik ul Saleh.
Kuburan Belanda Kerkhoff, Situs Sejarah Banda Aceh
8:00 PM | Kuburan Belanda Kerkhoff Banda Aceh hari ini memasuki usianya yang ke 803 tahun. Usia yang relatif muda jika dibandingkan dengan kota-kota tua di dunia namun juga termasuk sangat tua jika dibanding dengan kota-kota lain di Indonesia yang baru tumbuh. Layaknya kota tua tentu banyak sekali situs bersejarah yang terdapat di kota memproklamirkan diri sebagai Bandar Wisata Islami ini. Salah satunya yang cukup terkenal adalah Kuburan Belanda Kerkhof Peucut yang terletak di Kelurahan Blower Kecamatan Baiturrahman. Lokasinya mudah dijangkau karena terletak di depan Lapangan Blang Padang Banda Aceh.
Makam ini sendiri keberadaannya sudah sangat lama. Menurut catatan yang diperoleh dari Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA) di Banda Aceh dikatakan bahwa terdapat tidak kurang dari 2.200 makam orang Belanda, dari serdadu biasa sampai Jenderal, berbagai suku bangsa yang tergabung dengan tentara kolonial, bahkan ada juga sekelompok makam orang Yahudi yang dulu tinggal di Aceh! Diantara kuburan-kuburan itu masih dapat dibaca mengenai nama-nama dan pangkat mereka serta tahun-tahun dan tempat2 dimana mereka tewas. Ada terdapat berbagai tugu nama-nama legendaris yang diukir demikian indah.
Jika kita melihat pada nisan-nisan yang tersebar maka penanggalan tertua yang didapati adalah pada kuburan seorang prajurit angkatan laut Belanda yang tewas karena terkena penyakit kolera pada tanggal 27 Desember 1873. Kuburan Belanda Kerkhof atau yang lebih dikenal dengan sebutan kuburan Peucut dikelola oleh Yayasan Dana Peutjut yang dirikan tanggal 29 Januari 1976, setelah kunjungan seorang Kolonel pensiunan tentara Marsose J.H.J. Brendgen.
Selama kunjungannya ditemukan bahwa kuburan militer Peutjut dan bekas kuburan militer lainnya pada tempat-tempat tertentu di Aceh berada dalam kondisi yang mengenaskan alias tidak terawat. Yayasan ini dimaksudkan untuk melestarikan kuburan militer Peutjut agar dapat dipelajari oleh generari mendatang. Sedangkan dana untuk perawatan dan perbaikan berasal dari para donatur negeri Belanda. Banyak hal-hal menarik yang dapat di temui dalam perkuburan Kerkhof . Kisah-kisah tentang sang prajurit yang terkubur diceritakan sekilas pada batu nisan. Kuburan-kuburan ini seolah bercerita kepada pengunjung tentang masa hidup penghuninya.
Jika pengunjung teliti maka akan ditemukan berbagai kisah mengharukan dan konyol pada batu nisan. Mulai dari yang tewas secara heroik dalam perang tertembus kelewang hingga yang mati konyol ditusuk rencong saat jalan-jalan sore. Ada juga kisah mengharukan dari seorang Letnan muda De Bruyn yang rela meninggalkan acara perkawinannya di pendopo Aceh yang megah menuju medan perang yang ganas di Seunagan dan menemui ajalnya di sana tahun 1902. Namun sayangnya, banyak tulisan-tulisan di nisan yang telah dirusak oleh tangan-tangan jahil tidak bertanggung jawab.
Salah satu petugas pemelihara makam, Nurhabibah, mengatakan saat ini sedang berlangsung renovasi atas kuburan-kuburan tersebut. Bunga-bunga seperti Melati, Keupula, bouegenvilee, bunga pisang dan lainnya tersebar memenuhi kawasan perkuburan. Batu-batu nisan sedang dicat kembali.
"Makamnya lagi di cat dan ditanami bunga. Kemarin ada orang Belanda yang datang dan menyuruh untuk menanam bunga-bunga itu"katanya sambil menunjuk makam.
Pak Ridwan, Sekretaris Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA), kantor yang menangani dokument-dokument sejarah Aceh memberikan informasi berkenan dengan kuburan Belanda Kerkhof Peutjut. Banyak sekali buku-buku yang berkaitan dengan Kerkhof tersimpan di PDIA, walaupun sebagian telah rusak terkena tsunami namun masih sangat bermanfaat.
"Yayasan Peutjut baru saja menerbitkan buku panduan tentang makam yang berisi berbagai informasi menarik"katanya sambil memperlihatkan buku tebal yang dicetak luks tersebut. Selain buku ini ada juga buku-buku karangan pecinta sejarah Aceh juga seperti buku karangan Tjoetje, yang pernah diterbitkan Juni 1972, dalam rangka peringatan 100 tahun perang Aceh melawan Penjajahan Belanda katanya lagi. "buku-buku ini dapat dibaca di perpustkaan PDIA" ia melanjutkan.
Ketika ditanya kepada Pak Ridwan, siapa yang bertanggung jawab atas pemeliharaan makam Peutjut, ia menjawabnya sambil tersenyum kecut. "Seharusnya seperti dalam UU no.5 tahun 1992 tentang Cagar Budaya dan juga PP no.10 tahun 1993 tentang Benda Cagar Budaya, kewajiban pemeliharaan ada di tangan pemerintah". Namun selama ini Yayasan Peutjut lah yang selalu membantu dana pemeliharaan. "Seharusnya malu kita sama orang Belanda. Situs milik kita kok mereka yang ngurusin" ujar Pak Ridwan yang ramah ini.
Saya yang mengamati suasana makam melihat kenyataan bahwa makam ini tidak banyak pengunjungnya. Dari buku tamu yang sempat dilihat tampak rata-rata pengunjung dalam sehari hanya berbilang jari alias bisa dihitung dengan jari. Apalagi ketika mencari-cari dimana pemandu wisata makam berada yang ternyata tidak ditemukan, entah kemana.
Selamat Ulang Tahun Kota Banda Aceh, umurmu yang tua ini menyimpan banyak sejarah. Kamilah penerus yang akan melanjutkannya, bukan orang Belanda.
“Aceh Sepanjang Abad” Jadi Buku Induk Sejarah Aceh
7:46 PM | Aceh Sepanjang Abad
Buku “Aceh Sepanjang Abad” karangan Muhammad Said harus dijadikan buku induk sejarah Aceh, karena isinya sangat lengkap menceritakan fakta yang pernah terjadi mulai abad ke-16 sampai abad ke-19, kata Anggota DPR Aceh, Ameer Hamzah, pada seminar bedah buku “Aceh Sepanjang Abad” di Banda Aceh, Senin [12/11].
“Ketika saya masih kuliah di IAIN, buku ini sudah dibaca. Jadi, buku tersebut sangat baik sebagai buku panduan bagi mahasiswa dan dosen untuk belajar sejarah Aceh,” kata Ameer Hamzah. Dosen sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh, Drs. Rusdi Sufi juga menyatakan, buku tersebut sudah cukup standar untuk Aceh, karena penulis yang merupakan wartawan legendaris itu memadukan sumber-sumber dari dalam dan luar negeri.
“Kalau bicara tidak lengkap, memang setiap buku yang menulis tentang sejarah tidak pernah lengkap, tapi keberadaan buku ‘Aceh Sepanjang Abad’ tersebut telah menambah referensi sejarah Aceh yang dinilai cukup lengkap,” katanya.
Hal yang sama juga dikemukakan Kepala Museum Banda Aceh, Drs. Nurdin, yang menyatakan, buku tersebut merupakan buku sejarah terlengkap yang mengungkapkan peristiwa demi peristiwa sejarah Aceh dalam periode klasik hingga peristiwa sejarah Aceh kontemporer.
Bila dibandingkan buku “Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda” karangan Danys Lombard, maka buku “Aceh Sepanjang Abad” jauh lebih lengkap. Buku Lombard hanya mengungkap sejarah Aceh dalam periode 1607-1636, sedangkan buku Muhammad Said sampai perjuangan Aceh sampai tahun 1945.
Tribuana Said, putra pertama Muhamamad Said menyatakan, lahirnya buku tersebut untuk meluruskan sejarah sesuai fakta yang sebenarnya terjadi di Aceh, karena sebelum buku itu terbit banyak buku tentang Aceh yang ditulis oleh penulis asing terutama bangsa Belanda hanya mengisahkan keadaan Aceh sesuai versi mereka.
Buku yang pernah diterbitkan pada tahun 1962 tersebut mengulas tentang keberadaan Aceh sejak awal Masehi sampai abad XIX Masehi di awal kemerdekaan RI. Buku itu terdiri dari dua jilid. Jilid pertama terdiri dari 19 bab dan jilid kedua 16 bab.
Buku yang pernah dicetak ulang tahun 1980 itu menguraikan tentang pemikiran penulis, Mohammad Said tentang Aceh dari berbagai referensi dan sumber bacaan terbitan lokal dan internasional berbahasa Inggeris dan Belanda.
Tribuana Said menyatakan, melalui seminar ini diharapkan akan muncul ide-ide dan usulan baru untuk menambah kesempurnaan buku tersebut.
Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Pendidikan Doktor Soetomo (LPDS) Jakarta itu, buku tersebut masih banyak kekurangan yang belum sempat ditulis oleh almarhum ayahnya. Dikatakan, sebenarnya masih banyak peristiwa sejarah yang pernah dilakukan rakyat Aceh pada masa lalu, khususnya kaum wanita, namun belum tertuang dalam buku tersebut.
Oleh karenanya, sebelum buku tersebut dicetak secara permanen, perlu adanya kritikan dan penambahan, sehingga keberadaan buku itu lebih lengkap lagi, kata Tribuana Said.
Perbanyak Literatur Sejarah Aceh
Pemerintah Provinsi (Pemprov) Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) kini memperbanyak literatur sejarah, termasuk upaya mencetak ulang berbagai buku sejarah yang berkaitan dengan pergolakan bersenjata dengan penjajahan Belanda tempo dulu.
“Buku-buku sejarah Aceh memang penting untuk dipelajari kembali oleh generasi sekarang dan yang akan datang, sehingga Pemerintah Aceh memberi dukungan penuh untuk memperbanyak kembali literatur sejarah Aceh,” kata Gubernur Irwandi Yusuf di Banda Aceh, Senin.
Ketika membuka seminar bedah buku “Aceh Sepanjang Abad” karangan Muhammad Said, Gubernur mengatakan, upaya tersebut penting sebagai bahan pengetahuan bagi generasi muda sekarang dan masa mendatang.
Dalam sambutan tertulis yang dibacakan Kepala Biro Keistimewaan Aceh Setwilprov Aceh, Bustami Usman, Irwandi berharap agar upaya seperti itu tidak hanya dilakukan pemerintah, tetapi juga berbagai pihak lainnya untuk mencetak ulang buku-buku sejarah.
“Saya berpikir, tujuan mencetak ulang buku sejarah penting dilakukan agar anak-anak bangsa dapat membaca dan memahami sejarah Aceh yang sesungguhnya,” katanya.
Banyak buku sejarah masa lalu seperti “Aceh Sepanjang Abad, Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda, Aceh Nusantara, dan Srikandi Aceh,” yang terkadang ditulis dan diterbitkan sekitar 50 tahun lalu.
Aceh dalam perjalanannya memiliki lika-liku sejarah yang panjang dan unik, seakan tidak pernah habis-habisnya untuk dikupas. Ini dikarenakan sejarah Aceh merupakan sejarah yang berhubungan langsung dengan peristiwa sejarah dunia, baik sebelum datangnya Islam maupun setelah Aceh dipengaruhi oleh agama Islam.
Secara garis besar, gerak sejarah Aceh dapat dibagi dalam beberapa periodisasi, dimana setiap periode mengandung peristiwa sejarah tersendiri, yaitu periode sejarah klasik dan periode sejarah kontemporer.
Periode klasik, tanah Aceh dimulai sejak zaman pra sejarah, kemudian zaman pengaruh Hindu, dan Budha, terus zaman msuknya agama Islam dengan berdirinya kerajaan Islam Samudra Pasai.
Periode selanjutnya adalah zaman bangkitnya kerajaan Aceh Darussalam yang disebut-sebut sebagai zaman puncaknya kejayaan peradaban Aceh. Di zaman itu, interaksi Aceh terjadi dengan berbagai dunia luar, ujar Gubernur.
Dalam bidang pengembangan ilmu pengetahuan agama, Gubernur mencontohkan, Aceh saat itu berinteraksi dengan ulama-ulama Haramain (Timur Tengah) dan Gujarat India, bidang teknologi berhubungan dengan Turki di zaman Daulah Usmaniah.
Setelah itu, Aceh memasuki periode sejarah yang menegangkan, karena dalam periode itu, Aceh mulai berhadapan dengan bangsa-angsa kolonial, Portugis, Inggris, dan Belanda, jelas Irwandi.
Periode kontemporer, dapat dibagi dalam beberapa peristiwa sejarah, terutama sejarah zaman Jepang, dan zaman awal kemerdekaan yang di dalam periode itu juga terjadi peristiwa yang sangat pedih, yaitu peristiwa perang Cumbok dan DI/TII, ujarnya.
Setelah peristiwa itu usai, lalu terjadi peristiwa bangkitnya angkatan Darussalam sebagai sejarah bangkitnya kaum intelektual baru.
Namun, di tengah-tengah kebangkitan kaum intelektual, Aceh juga membuat suatu periode lain yang dimulai dari tahun 1970-an hingga memasuki tahun 2000-an, yaitu sejarah terjadinya konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Jakarta. “Kini, Aceh sudah berada dalam periode damai, di antaranya melalui nafas MoU Damai Helsinki,” kata Gubernur Irwandi Yusuf. ( ant )
Dekonstruksi Sejarah dan Sartra Aceh Klasik
7:43 PM | Sejarah dan Sartra Aceh Oleh: Sehat Ihsan Shadiqin
Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Ar-Raniry Banda Aceh
Melihat sejarahnya, Aceh merupakan sebuah bangsa dan memiliki kedaulatan dan kemandirian, mengurus rumah tangga sendiri dan mampu membangun kerja sama dan hubungan dengan bangsa lain. Inggris, Turki, Spanyol dan Belanda meruakan beberapa negara yang pernah menjalin kerja sama dengan Kesultanan Aceh masa lalu. Hubungan dengan bangsa lain bukan hanya dalam bidang ekonomi, namun juga dalam bidang politik, agama dan ilmu pengetahuan, persenjataan dan lainnya. Kekuasaan yang luas dan sistem pemerintahan yang sudah teratur semakin memungkinkan Aceh tumbuh dan berkembang menjadi sebuah bangsa.
Oleh: Sehat Ihsan Shadiqin
Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Ar-Raniry Banda Aceh
Kehidupan sebuah bangsa amat dipengaruhi oleh sejauh mana masyarakatnya memiliki kesadaran sejarah akan bangsanya. Bangsa yang besar adalah mereka yang mau belajar dari masa lalu, mengambil manfaat dari kesuksesan dan tidak mengulangi kesalahan. Dengan demikian sebuah bangsa akan berjalan ke arah yang lebih maju dan membangun peradaban semakin tinggi dan bermanfaat bagi kehidupan mereka.
Melihat sejarahnya, Aceh merupakan sebuah bangsa dan memiliki kedaulatan dan kemandirian, mengurus rumah tangga sendiri dan mampu membangun kerja sama dan hubungan dengan bangsa lain. Inggris, Turki, Spanyol dan Belanda meruakan beberapa negara yang pernah menjalin kerja sama dengan Kesultanan Aceh masa lalu. Hubungan dengan bangsa lain bukan hanya dalam bidang ekonomi, namun juga dalam bidang politik, agama dan ilmu pengetahuan, persenjataan dan lainnya. Kekuasaan yang luas dan sistem pemerintahan yang sudah teratur semakin memungkinkan Aceh tumbuh dan berkembang menjadi sebuah bangsa.
Kemajuan Aceh dalam bidang politik juga diikuti dengan perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan, terutama pengetahuan agama. Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani, Nuruddin ar-Raniry dan Abdurrauf as-Singkili merupakan empat nama yang menjadi icon perkembangan pengetahuan agama di Aceh masa lalu. Berkat usaha Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani, maka bahasa Melayu menjadi bahasa ilmu pengetahuan di Nusantara yang kini menjadi bahasa Nasional. Mereka menggunakan bahasa Melayu dalam karya puisi dan prosa yang mereka buat, sehingga sedikit demi sedikit bahasa tersebut berkembang di seluruh Indonesia. Peran yang sama juga dimainkan oleh Nuruddin ar-Raniry dan Abdurrauf as-Singkili yang telah mewariskan pengetahuan agama untuk umat Islam dewasa ini. Bahkan banyak informasi sejarah Aceh kita ketahui dari “ensiklopedi” Bustan al-Salatin yang ditulis oleh Ar-Raniry.
Pudarnya Kesadaran
Dewasa ini banyak anggota masyarakat Aceh yang tidak mengenal dan merasa asing dengan sejarah yang benar mengani daerahnya sendiri. Demikian juga banyak kaum terpelajar Aceh lebih mengenal Syekh Siti Jenar daripada Hamzah Fansuri. Padahal kalau dilihat dari realitas sejarah, Syekh Siti Jenar tidak meninggalkan tulisan sendiri dan tidak mendeskripsikan dengan jelas konsepsi-konsepsi beragamanya. Dilain pihak, Hamzah Fansuri, memiliki karya sendiri, terstruktur dalam prosa dan puisi, berperan dalam masyarakat dan Kesultanan Aceh, akan tetapi kurang dikenal oleh masyarakta Aceh sendiri. Ini terlihat dari minimnya sastrawan dan akademisi Aceh yang mengangkat kembali pemikiran dan ajaran-ajaran yang telah dikemukakan oleh Hamzah Fansuri dalam kehidupan beragama dan dunia sastra Aceh modern. Demikian juga halnya dengan kebesaran Syamsuddin al-Sumatrani, Nuruddin ar-Raniry dan Abdurrauf as-Singkili.
Hal yang sama juga berlaku dalam hal masalah sejarah Aceh. Dilihat dari realitas keilmuan saat ini, kebanyakan sejarah Aceh ditulis oleh sarjana asing. Selain memiliki keunggulan metodologi, mereka juga memiliki akses yang mudah untuk mendapakan data dan manuskrip peninggalan sejarah Aceh masa lalu. Catatan dan bukti kebesaran Aceh masa lalu, kini tersimpan di Museum Negeri Belanda, Inggris, Rusia dan Malaisya. Hanya sedikit tersisa di Museum Negeri Aceh dan beberapa Museum dan Pustaka Pribadi di Aceh. Apalagi catatan mengenai sejarah Aceh juga dilakukan oleh sarjana dan penjelajah asing yang sempat singgah dan menyaksikan perkembangan Aceh masa lalu. Dengan kenyataan ini studi terhadap Aceh dapat saja dilakukan meskipun tidak pergi ke Aceh.
Kondisi lain yang memprihatinkan adalah kajian-kajian budaya yang transformatif dan minim sehingga budaya Aceh seolah tidak relevan untuk kontek perkembangan modern. Hal ini menyebabkan salah pandang mengenai masyarakat dan struktur budaya Aceh, dan salah pula dalam menafsirkan sistem sosial yang berkembang di Aceh. Salah satu contoh adalah masalah gender. Beberapa gerakan perempuan –termasuk organisasi perempaun di pemerintahan- tidak berusaha menggali konsep hubungan dan relasi gender yang mengakar dalam masyarakat Aceh. Kebanyakan konsep yang dibawa justru konsep impor yang kadang kala tidak sesuai dengan kultur keacehan. Konsepsi budaya yang mandiri dan berakar dalam masyarakat juga ada dalam masalah child protection. Konsepsi perlindungan berbasis kawoem dalam budaya Aceh sebenarnya menjadi dasar yang kuat bagi permasalahan sosial mengani pengemis dan anak terlantar.
Melihat kenyataan di atas, sungguh ironis jika selama ini pemerintah, akademisi, bdan dan pihak terkait di Aceh lainnya tidak memperhatikan masalah sejarah dan budaya Aceh. Meskipun kita sadar kalau setiap orang, darimana dan berbangsa apapun ia berhak menulis masalah Aceh, namun sudah sewajarnya dan seharusnya pula, sejarah Aceh juga ditulis oleh orang Aceh sendiri yang memiliki keterikatan budaya dan mewarisi prinsip-prinsip budaya yang tidak ditulis dalam catatan sejarah, namun dipraktekkan turun temurun dalam masyarakat. Dengan demikian tentunya catatan dan kajian yang akan dilakukan oleh orang Aceh akan lebih hidup dan sesuai dengan perkembangan sosial masyarakat Aceh sendiri. Dan akhirnya akan lebih memberikan spirit untuk masyarakat Aceh dalam membangun kehidupan masa kininya.
Kontruksi sejarah dan Sastra Aceh klasik semakin nniscaya dilakuakn untuk Aceh kontemporer dengan beberapa pertimbangan. Pertama, keinginan masyarakat Aceh untuk mengulang kesuksesan masa lalu dalam pemerintahan kesultanan Aceh dalam konteks kehidupan modern. Hal ini hanya dapat diakukan dengan memiliki konstruksi yang jelas mengenai Aceh masa lalu. Dengan demikian akan ditemukan struktur dan pola yang dapat dipakai dan digunakan untuk konteks pemerintahan saat ini. Kedua, keinginan masyarakat untuk dapat menerapkan ajaran Islam sebagaimana dalam sejarah Aceh. Hal ini juga hanya dapat dilakukan dengan adanya sebuah paparan yang jelas mengenai sejarah agama dia ceh masa lalu yang tertulis dalam karya-karya sastra, prosa dan buku ilmiah agama yang dtulis oleh ulama Aceh.
Selama ini, banyak pihak –yang umumnya dari luar- sadar akan kondisi ini dan berusaha melakukan penyelematan naskah dan pengaturan sumber naskah sejarah Aceh. Sementara masyarakat Aceh dan tidak memberikan perhatian cukup dalam masalah ini. Hal ini terlihat kurungnya perhatian pemerintah untuk menjaga dan melestarikan situs-situs sejarah yang ada di Aceh, dan perhatian yang kurang dalam uapya penyelamatan naskah klasik. Dikhawatirkan, kalau masalah ini tidak diperhatikan maka khazanah klasik Aceh tersebut akan hancur dan leyap, hilang ditelan zaman. Bhakan pasca Ali Hasjmy, Ibrahim Alfian, Isa Sulaiman, Talsya, Rusdi Sufi, Zakaria Ahmad, Amirul Hadi, maka tidak ada orang lain yang melakukan kajian serius mengenai sejarah dan budaya Aceh masa lalu sebagai bahan dalam pengembangan budaya Aceh masa depan. Sehingga cerita mengenai kebesaran Aceh masa lalu dalam bidang politik dan agama yang berkembang dalam dalam masyarakat Aceh saat ini akan lebih banyak bersifat fiktif dan dongeng daripada kenyataan sesungguhnya yang diambil dari kajian akademik yang serius. Kalau ini terjadi, maka bukannya manfaat yang dapat diperoleh, namun malah kehinaan dan rasa malu karena kita tidak mengerti dengan sejarah masa lalu kita sendiri.
Beberapa Usaha
Melihat realitass di atas, maka seharusnya Pemerintah Daerah Provinsi NAD, DPRA dan kalangan akademisi di Aceh untuk melakukan berbagai upaya dalam rangka “penyelamatkan” manuskrip dan catatan sejarah Aceh masa lalu, melakukan penelitian dan penulisan ulang, menafsirkannya untuk konteks kehidupan modern, dengan beberapa upaya:
Selain itu diperlakukan pula untuk melakukan inventarisasi dan membuat duplikasi terhadap berbagai peninggalan sejarah Aceh, baik berupa manuskrip maupun bahan arkeologis yang ada di berbagai belahan dunia dan “membawa pulang” ke Aceh, sehingga memudahkan bagi sarja dan mahasiswa Aceh untuk mengkaji peninggalan sejarah mereka dalam usaha merekonstruksi sejarah Aceh masa lalu untuk pelajaran bagi pembangunan Aceh masa depan.
Pemerintah dan berbagai pihak yang berwewenang lainnya juga perlu melakukan usaha-usaha yang mendorong dan memotivasi masyarakat untuk mencintai dan mengerti sejarah Aceh dan menyari kebesarannya, sehingga memotivasi mereka untuk terus berkarya dan mendalami sejarah. Hal ini dapat dilakukan dengan, misalnya, melakukan peringatan dan pesta budaya yang merujuk pada sastrawan Aceh masa lalu, beasiswa studi sejarah Aceh, penerbitan manuskrip budaya dan sejarah, seminar dan diskusi sejarah dan sastra Aceh masa lalu.
Dan terakhir melakukan upaya inventarisasi dan pemugaran cagar budaya Aceh yang tersebar di berbagai wilayah Aceh yang selama ini terkesan diabaikan dan tidak diperhatikan. Beberapa cagar budaya tidak diperhatikan dan tidak diurus dengan benar, misalnya Benteng Inong Balee di Krueng Raya Aceh Besar, dan Kuburan-kuburan lama di Singkil dan Aceh Utara.
Hamzah Fansuri
7:40 PM | Hamzah Fansuri Hamzah adalah salah seorang sufi dari Barus dan mengabdikan dirinya di kerajaan Aceh Darussalam. Ia merupakan prototipe sufi yang kaya dan inovatif. salah satu hasil karyanya adalah sya’ir-sya’ir mistik dalam bahasa melayu yang khas yang masih mempengaruhi puisi-puisi spiritual sampai zaman sekarang. dalam tulisan ini saya hanya mencoba memaparkan sepintas latar belakang kehidupan sang pujangga sufi dari Aceh ini.
Hamzah nin asalnya Fansuri
Mendapat wujud di tanah Shahr Nawi
Beroleh Khilafat ‘Ilmu yang ‘Ali
Daripada ‘Abd Qadir Jailani
Nun di sana, di pelataran sungai singkil, pada masa kejayaan kerajaan Pasai hidup dua orang ulama besar bersaudara, yakni Ali al-Fansuri dan Hamzah al-Fansuri. Pada saat itu kerajaan Aceh Darussalam di bawah pimpinan Sultan Aliddin Riayat Syah Said Mukammil (997-1011 H atau 1589 – 1604). Mereka mendirikan pusat pendidikan di pantai Barat Aceh. Syaikh Ali al-Fansuri mendirikan Dayah Lipat Kajang di Simpang Kanan, sementara adiknya Syaikh Hamzah Fansuri mendirikan dayah Obah di Rundeng, Simpang Kiri. Dalam tubuh kedua kakak beradik ini masih mengalir darah Persia. Namun tidak jelas, apakah Bapak ataukah kakek mereka sebagai orang Persia asli. Menurut Ali Hasjmy, (1987:43), merekalah yang menjadi cikal bakal perkembangan pemikiran tasawuf di Aceh kemudian hari.
Kebanyakan sarjana yang mengkaji tasawuf Nusantara, khususnya yang berkaitan dengan Hamzah Fansuri, tidak mengakui keterangan Hasjmy, sebab Hasjmy tidak mengemukakan bukti-bukti otentik sejarah yang mendukung pendapatnya. Hanya Mohc. Saghir Abdullah (1996:12) yang menyatakan bahwa ada kemungkinan Hasjmy benar, sebab ia adalah sejarawan dan budayawan Aceh, selain mengenai sejarah, ia juga mengenal kultur Aceh. Karenanya boleh jadi ia mengetahui riwayat tentang Hamzah melalui cerita yang berkembang dalam masyarakat Aceh.
Dari kajian-kajian yang telah dilakukan oleh para ahli, umumnya mereka menyatakan bahwa ia lahir di Barus, sebuah daerah di kota Fansur (sekarang di Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), yang pada saat itu merupakan kota perkembangan ilmu pengetahuan keislaman di Aceh. Hal ini jelas terlihat dalam sya’ir yang penulis kemukakan di atas. Sementara “Shahr Nawi” dalam Mendapat wujud di tanah Shahr Nawi berarti Hamzah mendapatkan pengalaman ruhani atau kelahiran secara spiritual di tempat tersebut. Braginsky (1998: 450) memastikan bahwa Shahr Nawi sama sekali tidak ada kaitannya dengan tempat kelahiran secara fisik. Di sini Hamzah mengalami ‘keadaan fana’, dan menemui wujud dirinya yang sejati sehingga seakan-akan ia dilahirkan kembali.
Berkaitan dengan masa hidupnya, para sarjana banyak berpegang pada catatan laporan perjalanan Sir James Lancaster ke kerajaan Aceh Darussalam pada tahun 1602. Menurut Azyumardi Azra, Lancaster pergi ke Aceh untuk membicarakan masalah perjanjian damai antara Kerajaan Inggris dengan Kerajaan Aceh. Ia berunding dengan dua tokoh terkemuka yang ditunjuk Sultan, satu disebutnya dengan –istilah Sir James Lancaster,- chiefe of bishope (uskup kepala) dan yang lain bisho (uskup). Uskup kepala digambarkan memiliki kemulian dan dihormati oleh Raja dan masyarakat. Sementara ‘uskup’ sebenarnya tidak layak untuk mengikuti pertemuan formal seperti itu, karena penampilannya yang acak-acakan dan informal, meskipun ia mengerti bahasa Arab sebagai bahasa pengantarnya. (1990: 167). Ali Hasyimy meyakini kalau ‘uskup kepala’ yang ada dalam laporan itu adalah Hamzah Fansuri, sebab ia pada saat itu telah menjadi tokoh yang menonjol dan terkenal dalam masyarakat.
Kalau pendapat ini diterima, maka diperkirakan Hamzah Fansuri hidup antara pertengahan abad ke-16 hingga awal abad 17. Dengan kenyataan ini berarti Hamzah Fansuri hidup pada masa kerajaan Aceh di bawah kepemimpinan Sultan Alauddin Riayat Syah Sayid al-Mukammal (1589 – 1604) sampai periode awal kepemimpinan Sultan Iskandar Muda. (w. 1936). Karenanya dapat pula dipastikan ia menyaksikan masa-masa keemasan dan kejayaan pemerintahan Kerajaan Aceh Darussalam dan otomatis memberikan andil besar dalam perkembangan pemikiran dan praktek keagamaan, khususnya tasawuf.
Pendidikan dasar Hamzah diperolehnya di daerah Fansur. Sebagaimana dikatakan Hasjmy bahwa Fansur pada masa itu, selain dikenal sebagai kota perdagangan kapur barus, di sana juga menjadi kota pendidikan. Karenanya tidak heran kalau di sana pula Hamzah Fansuri belajar di masa kecilnya.
Kemudian, dengan bertujuan mengenal inti sari ajaran tasawuf Hamzah lama mengembara ke berbagai negara di dunia, misalnya ke Baghdad pusat pengembangan tarekat Qadiriyah, Makkah, Madinah dan berbagai kota ilmu pengetahuan lainnya. Bahkan dalam muhibah encarian ilmu pengetahuannya, Hamzah Fansuri juga mengembara ke Banten (Jawa Barat) dan keseluruh tanah Jawa. Ia juga menjajaki semenanjung tanah Melayu, India, Parsi, Arab. Karenanya disebut juga Hamzah Fansuri mahir dalam ilmu fiqh, tasawuf, filsafat, mantiq, ilmu kalam, sejarah, sastera daln lainnya. Demikian juga ia juga menguasai bahasa Arab, Urdu, Parsi, Melayu dan bahasa Jawa.
Ia adalah sufi pengembara. Ini pula yang menjadi salah satu sebab Nuruddin Ar-Raniry tidak memasukkan nama dan aktifitas Hamzah dalam buku sejarah Aceh yang dikarangnya, Bustanul Salatin. (Ada juga kemungkinan disebabkan oleh alasan politis, di mana Ar-Raniry adalah penentang keras ajaran-ajaran tasawuf yang dibawa Hamzah Fansuri, karena dianggap sebagai ajaran Wihdatul Wujud yang panteistik).
Namun demikian keterlibatannya dalam pembangunan dan pengembangan kerajaan Aceh Darussalam tidak bisa disangkal. Ia merupakan Syaikhul Islam pada masa awal kepemimpinan Sultan Iskandar Muda. Dalam sistem kesultanan Aceh, Syaikhul Islam adalah orang terbesar kedua dan memiliki pengaruh besar dalam kerajaan setelah Sultan. Bahkan tidak jarang Sultan sendiri secara defacto berada di bawah pengaruh Syaikhul Islam.
Kluet merupakan salah satu suku kecil di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. suku ini mendiami hulu sungai Kluet di Aceh Selatan. mereka tersebar di empat kecamatan, Kecamatan Kluet Utara, Kluet Timur, Kluet Selatan dan Kluet Barat. Mata pencaharian utama mereka adalah bertani. namun saat ini sudah banyak orang kluet yang mendapatkan penidikan yang layak sehingga kehidupan mereka juga semakin maju.
kluet memiliki keunikan tersendiri, yang berbeda dengan suku aceh lainnya, setidaknya dalam bahasa. mereka memiliki bahasa sendiri yang dekat-dekat dengan bahasa Alas, Karo dan Batak. bahkan seorang orang kluet dapat berbicara dengan orang Alas dan Karo dengan sedikit mengubah intonasi suara dan beberapa kosa kata.
Dakota RI-001 Seulawah
7:48 PM | Dakota RI-001 Seulawah
Dakota RI-001 Seulawah adalah pesawat angkut pertama milik Republik Indonesia yang dibeli dari uang sumbangan rakyat Aceh. Pesawat Dakota RI-001 Seulawah ini adalah cikal bakal berdirinya perusahaan penerbangan niaga pertama, Indonesian Airways. Pesawat ini sangat besar jasanya dalam perjuangan awal pembentukan negara Indonesia.
Pesawat Dakota DC-3 Seulawah ini memiliki panjang badan 19,66 meter dan rentang sayap 28.96 meter, ditenagai dua mesin Pratt & Whitney berbobot 8.030 kg serta mampu terbang dengan kecepatan maksimum 346 km/jam.
Sejarah
KSAU Komodor Udara Suryadarma memprakarsai pembelian pesawat angkut. Biro Rencana dan Propaganda TNI-AU yang dipimpin oleh OU II Wiweko Supono dan dibantu oleh OMU II Nurtanio Pringgoadisuryo dipercaya sebagai pelaksana ide tersebut.
Biro tersebut kemudian menyiapkan sekira 25 model pesawat Dakota. Kemudian, Kepala Biro Propaganda TNI AU, OMU I J. Salatun ditugaskan mengikuti Presiden Soekarno ke Sumatra dalam rangka mencari dana.
Pada tanggal 16 Juni 1948 di Hotel Kutaraja, Presiden Soekarno berhasil membangkitkan patriotisme rakyat Aceh. Melalui sebuah kepanitiaan yang diketuai Djuned Yusuf dan Said Muhammad Alhabsji, berhasil dikumpulkan sumbangan dari rakyat Aceh setara dengan 20 kg emas.
Dana tersebut kemudian digunakan untuk membeli sebuah pesawat Dakota dan menjadi pesawat angkut pertama yang dimiliki bangsa Indonesia. Pesawat Dakota sumbangan dari rakyat Aceh itu kemudian diberi nama Dakota RI-001 Seulawah. Seulawah sendiri berarti "Gunung Emas".
Kehadiran Dakota RI-001 Seulawah mendorong dibukanya jalur penerbangan Jawa-Sumatra, bahkan hingga ke luar negeri. Pada bulan November 1948, Wakil Presiden Mohammad Hatta mengadakan perjalanan keliling Sumatra dengan rute Maguwo-Jambi-Payakumbuh-Kutaraja-Payakumbuh-Maguwo.
Di Kutaraja, pesawat tersebut digunakan joy flight bagi para pemuka rakyat Aceh dan penyebaran pamflet. Pada tanggal 4 Desember 1948 pesawat digunakan untuk mengangkut kadet ALRI dari Payakumbuh ke Kutaraja, serta untuk pemotretan udara di atas Gunung Merapi.
Pada awal Desember 1948 pesawat Dakota RI-001 Seulawah bertolak dari Lanud Maguwo-Kutaraja dan pada tanggal 6 Desember 1948 bertolak menuju Kalkuta, India. Pesawat diawaki Kapten Pilot J. Maupin, Kopilot OU III Sutardjo Sigit, juru radio Adisumarmo, dan juru mesin Caesselberry. Perjalanan ke Kalkuta adalah untuk melakukan perawatan berkala. Ketika terjadi Agresi Militer Belanda II, Dakota RI-001 Seulawah tidak bisa kembali ke tanah air. Atas prakarsa Wiweko Supono, dengan modal Dakota RI-001 Seulawah itulah, maka didirikanlah perusahaan penerbangan niaga pertama, Indonesian Airways, dengan kantor di Birma (kini Myanmar).
Monumen
Seiring dengan perkembangan teknologi, khususnya di bidang kedirgantaraan, beberapa jenis pesawat terbang generasi tua pun dinyatakan berakhir masa operasinya. Salah satunya adalah jenis Dakota.
Namun, karena jasanya yang dinilai besar bagi cikal bakal berdirinya sebuah maskapai penerbangan komersial di tanah air, TNI AU memprakarsai berdirinya sebuah monumen perjuangan pesawat Dakota RI-001 Seulawah di Banda Aceh.
Pada tanggal 30 Juli 1984, Panglima ABRI Jenderal L.B. Moerdani pun meresmikan monumen yang terletak di Lapangan Blang Padang, Banda Aceh.
Monumen ini menjadi lambang bahwa sumbangan rakyat Aceh sangatlah besar bagi perjuangan Republik Indonesia di awal berdirinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih telah Berkunjung Ke Blog Ini
Yang Mau Memberi Situs MP3 Coment Di Coment Box
Horas.......